Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Dila terpaku di pinggir tempat tidur, ia sebenarnya tidak bisa bersikap pura-pura, apa lagi kepada orang tua. Tetapi terlalu beresiko apa bila membantah Abdullah. Tatapan mata Abdullah itu menyiratkan kebencian.
Hingga beberapa menit Dila merenung, akhirnya berubah pikiran. Memang sebaiknya harus berbicara dari hati ke hati, apa yang Abdullah inginkan agar masalahnya tidak berlarut-larut.
"Kak, saya juga tidak mau pernikahan ini terjadi, seandainya tahu jika pria yang akan dijodohkan dengan saya itu kamu. Kak Abdullah kan tahu, selama beberapa bulan ini saya memilih pergi dari kehidupan Kakak. Semua itu saya lakukan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan Kak Abdul dan juga Silfia. Lalu kenapa Kakak marah, menyalahkan saya?" Dila menjelaskan panjang lebar, setelah shalat tadi pikirannya sedikit tenang.
"Jangan banyak bicara, saya mau tidur!" Abdullah menarik selimut, menutup wajahnya dengan bantal. Namun, Dila mengangkat bantal tersebut karena ingin masalahnya selesai malam ini juga.
"Lancang kamu!" Abdullah mendelik merah.
"Kak, Istigfar. Aku yakin ini bukan sifat kamu. Kak Abdullah yang aku kenal tidak pernah marah apa lagi kepada wanita."
"Iya, tapi kamu yang sudah merubah saya, ngerti kamu!" Abdullah melempar selimut ke samping menatap Dila tajam.
"Astagfirullah... apa salah saya Kak? Jika kamu tidak terima dengan pernikahan ini, tolong jawab dengan jujur. Apa yang ingin Kak Abdul lakukan? Mau menceraikan saya sekarang juga... Ok, saya siap. Walaupun sebenarnya saya tidak mau mempermainkan pernikahan yang sudah mengucap janji suci di hadapan Allah. Tapi, apa gunanya kita mempertahankan rumah tangga jika saling menyakiti. Asal Kak Abdullah tahu, saya menerima pernikahan ini atas permintaan Tuan Ahmad, entah apa alasannya saya tidak tahu. Sebaiknya Kak Abdul tanyakan sendiri kepada beliau" Dila mencoba untuk meluruskan, karena ia tidak mau dianggap wanita yang tidak punya malu, karena cinta lantas memaksa orang tuanya untuk menikahkan.
Abdullah diam dengan wajah masam.
"Kak, seperti yang kamu bilang bahwa pernikahan ini hanya status, aku tidak akan protes. Tapi saya mohon, jangan ada pertengkaran di antara kita, bukankah Kak Abdullah dulu pernah berjanji, akan menjadikan saya sahabat kamu selamanya? Tolonglah Kak, saya tidak mau kita bermusuhan" Dila memohon, air mata bening pun jatuh.
"Diam, banyak ngomong kamu!" Tandas Abdullah.
"Saya tidak akan diam sebelum Kakak menjawab salah satu permintaan saya. Menceraikan saya saat ini juga, atau kita tetap bersama dan menjadi sahabat" tegas Dila.
"Diam! Saya bilang!"
Buk!
Abdullah melempar guling ke arah Dila, namun gadis itu berkelit, hingga guling menimpa lemari.
Dila menjauh meninggalkan tempat tidur, ia terpuruk di lantai pinggir sofa. Tangannya meraba dadanya yang berdebar kencang. Bentakkan Abdullah dan lemparan guling membuat air matanya bercucuran.
Baru beberapa jam menjadi istri, tapi sudah merasakan kecewa dan sakit hati. Mengapa Abdullah seolah menyalahkan dirinya? Kemarahan Abdullah itu membuatnya tidak berharga. Dila tahu pernikahan ini bukan karena cinta, tapi seharusnya Abdullah bisa memahami bahwa ia pun melakukan ini hanya terpaksa. Dila menarik napas berat, sekarang ini ia merasa sedang mimpi buruk, tidak tahu caranya keluar dari situasi ini.
Dila baru tahu, beginilah sikap asli Abdullah yang ia kenal baik hingga membuatnya jatuh cinta, tapi lagi-lagi kecewa karena ternyata berbeda jauh dengan penilaiannya selama ini.
Waktu terus berjalan, hingga jam mendekati tengah malam, Dila masih betah merenungi takdirnya yang begitu kejam. Dila rebahkan tubuhnya di sofa, ia cukup tahu diri untuk tidak ikut tidur bersama Abdullah yang sudah nyata-nyata membencinya.
Hawa dingin yang berasal dari ac kamar terasa menusuk pori-pori, hingga membuat Dila terjaga dari tidurnya. Ia bingung, padahal sebelum tidur ac itu tidak sedingin ini. Dengan mata menyipit ia tengok jam dinding. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. "Ya Allah... kok aku tidak mendengar adzan subuh" gumamnya. Secepatnya ia berjalan keluar, kamar mandi dapur lah yang akan dia tuju. Begitu melewati tempat tidur Abdullah, ia berhenti. Pria itu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Perlahan-lahan Dila membuka pintu agar tidak berisik, pagi-pagi begini tidak mau bertengkar yang pada akhirnya akan menjauhkan rezeki.
"Kok terburu-buru, Non?" Tanya Munah yang sudah memasak di dapur. Ketika Dila sudah berada di depan kamar mandi.
"Iya Mbak, saya kesiangan, belum shalat jadinya" jawabnya sambil berlalu ke kamar mandi.
"Hihihi... pasti Non Dila sama Den Abdul tadi malam kebanyakan anu, jadi kesiangan" Munah berbicara sendiri sambil tertawa cekikikan.
Tidak lama kemudian, Dila keluar dari kamar mandi, menggosok rambutnya yang masih basah sebelum menggunakan kerudung. Ia tidak tahu jika Munah memperhatikan.
"Hihihi... tukan... benar, habis keramas" Munah memperhatikan Dila yang sudah menjauh ke kamar.
"Kenapa kamu tertawa sendiri Munah?" Ghina yang sudah wangi, ambil cangkir hendak membuat kopi untuk suaminya.
"Anu, Nyonya, Non Dila sudah keramas" Munah kembali tertawa.
Ghina menoleh, menatap Munah. "Kamu ini, ya biar saja mereka kan suami istri."
"Benar Nyonya, semoga Nyonya cepat punya cucu," Munah lanjut menumis bawang entah mau membuat apa.
"Aamiin..." Ghina tersenyum, sambil mengaduk kopi ia bahagia. Ternyata Abdullah tidak sekeras apa yang ia duga.
Sementara Dila sudah selesai shalat subuh. Doa untuk kedua orang tuanya, terutama minta sang bapak agar segera sembuh, doa untuk dirinya sendiri agar kuat menghadapi gempuran mahligai rumah tangganya yang begitu dahsyat. Semua doa itu itu ia ucap dengan diiringi tetesan air mata.
Shalat pun selesai, ia berdiri di samping tempat tidur, memandangi wajah Abdullah. Rupanya wajahnya tidak lagi ditutup selimut. "Kak Abdullah sudah subuh belum ya" Dila bermaksud membangunkan tetapi rasa takut mencengkeram relung hati. Tidak mau mencari masalah lebih baik ke dapur.
"Saya bantu ya, Mbak" ujar Dila, ketika sudah sampai dapur.
"Sudah matang kok, Non,"
"Kalau gitu, saya buat kopi untuk Kak Abdullah saja" Dila menyeduh kopi tanpa gula, Dila sudah paham bahwa Abdullah sukanya kopi pahit.
Pagi itu semua sudah berkumpul di meja makan, kali ini Abdullah membiarkan Dila melayani makanan selayaknya suami istri, tentu untuk menutupi sandiwara nya.
"Dila... kenapa mata kamu bengkak sayang..." Ghina menatap mata Dila, lalu pindah ke wajah Abdullah minta jawaban. Ia khawatir Abdullah menyakiti Dila.
Abdullah yang sedang menyeruput kopi pun tersedak.
"Abdullah memperlakukan kamu dengan baik kan Nak? Jika Abdullah kasar sama kamu, segera laporkan sama Papa" Ahmad menatap wajah Abdullah tajam.
"Biasanya kalau lagi anu pertama kali, kan suka sakit Nyonya, iya kan, Non" sambar Munah.
Hening di ruang makan, semua menatap ke arah Munah. Dila yang paling malu, namun begitu ia merasa ucapan Munah membantunya untuk tidak berbohong.
...~Bersambung~...
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author
semngattttt
Faiz, sementara ajak Dila ke rumah orang tuamu agar Dila menemukan kebahagiaan & kedamaian dirinya & keluarganya