Deskripsi Novel: Batu Rang Bunian
"Batu Rang Bunian" adalah sebuah petualangan seru yang membongkar batas antara dunia kita yang penuh cicilan dan deadline dengan alam Bunian yang misterius, katanya penuh keindahan, tapi faktanya penuh drama.
Sinopsis Singkat:
Ketika seorang pemuda bernama Sutan secara tidak sengaja menemukan sebongkah batu aneh di dekat pohon beringin keramat—yang seharusnya ia hindari, tapi namanya juga anak muda, rasa penasaran lebih tinggi dari harga diri—ia pun terperosok ke dunia Bunian. Bukan, ini bukan Bunian yang cuma bisa menyanyi merdu dan menari indah. Ini adalah Bunian modern yang juga punya masalah birokrasi, tetangga cerewet, dan tuntutan untuk menjaga agar permata mereka tidak dicuri.
Sutan, yang di dunia asalnya hanya jago scroll media sosial, kini harus beradaptasi. Ia harus belajar etika Bunian (ternyata dilarang keras mengomentari jubah mereka yang berkilauan) sambil berusaha mencari jalan pulang. Belum lagi ia terlibat misi mustahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Hutan Bisikan dan Hukum Balik Alam 3
BAB 2: Hutan Bisikan dan Hukum Balik Alam
Bagian III: Ibukota yang Membeku
Pusaka Hening. Kota yang seharusnya menjadi mahakarya arsitektur Bunian, kini terlihat seperti mimpi buruk yang beku. Kota ini didominasi oleh bangunan-bangunan kristal putih keperakan yang menjulang tinggi, namun semuanya diselimuti oleh lapisan kabut tebal yang terasa dingin. Kabut itu tidak hanya membatasi jarak pandang, tetapi juga membawa serta suara-suara aneh: desahan panjang, ratapan tertahan, dan bisikan yang tak jelas artinya—semuanya terasa sangat dekat.
"Kota ini… mati," bisik Sutan. Ia masih memegang erat Batu Rang Bunian. Panas dari batu itu kini menjadi satu-satunya sumber kehangatan.
"Tidak mati, Manusia," koreksi Raja Pualam, suaranya pelan dan tegang. Ia berjalan lebih dulu, pedang kristalnya siap. "Kota ini sedang membeku karena kesedihan yang mendalam. Setiap kristal di sini adalah cerminan jiwa Bunian. Hilangnya Permata membuat jiwa kami kehilangan cahaya. Dan ketika jiwa Bunian kehilangan cahaya, mereka menjadi… dingin."
Mereka berjalan di sepanjang jalan kristal yang retak. Biasanya, jalan ini akan bercahaya oleh energi, tapi kini hanya gelap dan memantulkan sedikit cahaya biru dari Batu Rang Bunian.
Sutan melihat ke jendela-jendela kristal yang pecah. Di dalamnya, ia bisa samar-samar melihat siluet Bunian lain. Mereka tidak bergerak. Mereka duduk di kursi kristal, berdiri di ambang pintu, atau berlutut di lantai—semuanya diam membeku dalam pose aktivitas terakhir mereka. Wajah-wajah mereka tampak damai, namun pucat, ditutupi embun beku.
"Mereka… pingsan?" tanya Sutan.
"Mereka berada dalam tidur yang sangat dalam, Sutan," jawab Pualam. "Mereka menunggu kembalinya Permata untuk menghangatkan jiwa mereka lagi. Jika terlalu lama, tidur ini akan menjadi keabadian. Mereka akan menjadi patung es."
Tiba-tiba, Pualam berhenti mendadak. Ia menarik Sutan ke balik tumpukan kristal yang hancur.
"Sssshhh. Ada yang bergerak," bisik Pualam.
Sutan menahan napas. Suara gemerisik terdengar, bukan dari kabut atau angin, tapi dari langkah kaki yang menggesek lantai kristal. Langkah itu berat, tidak seanggun langkah Bunian.
Dari balik kabut, muncul sekelompok Bunian. Tapi mereka berbeda. Jubah mereka bukan zamrud atau perak, melainkan kain kasar berwarna cokelat gelap.
Wajah mereka tidak pucat karena tidur, melainkan pucat karena amarah dan kelaparan. Mata mereka merah menyala, dan di tangan mereka, bukan pedang kristal, melainkan kapak batu yang tampak primitif dan mengerikan.
"Mereka… siapa?" bisik Sutan.
"Mereka adalah Suku Gembira, Bunian yang diasingkan.
Mereka percaya bahwa kekuatan sejati terletak pada alam yang kacau, bukan pada Keseimbangan Permata. Mereka selalu mendambakan keruntuhan kota ini. Sekarang, mereka mendapatkan apa yang mereka mau."
Kelompok Suku Gembira itu bergerak perlahan, seolah sedang berburu. Mereka mengendus kabut, mencari tanda-tanda kehidupan. Sutan melihat salah satu dari mereka mendekati sebuah patung es Bunian yang duduk di bangku. Suku Gembira itu mengangkat kapak batunya.
Crasshhhh!
Patung es itu hancur berkeping-keping. Suku Gembira itu tidak menunjukkan penyesalan. Mereka tertawa, tawa yang kering dan serak, seperti gesekan batu.
"Mereka... menghancurkan rakyat mereka sendiri?" Sutan bergidik. Ini adalah kekejaman yang tak terpikirkan.
"Mereka mengklaim diri mereka sebagai pembersih. Mereka percaya yang lemah harus disingkirkan agar yang kuat dapat mengambil alih sisa energi," jelas Pualam, tangannya mencengkeram erat gagang pedang. "Mereka mencari Permata, Sutan. Dan mereka tahu itu ada di tanganmu."
Perangkap di Lorong Gelap
Pualam memberi isyarat kepada Sutan. Mereka harus bergerak. Perlahan, mereka menyelinap melalui celah sempit di antara dua bangunan.
Saat mereka melewati lorong yang gelap, Sutan melihat sebuah pemandangan yang membuat perutnya mual. Di dinding kristal, tertulis pesan-pesan dengan darah merah tua (mungkin getah pohon yang busuk):
"BATU ADALAH MILIK KITA. KESEIMBANGAN ADALAH OMONG KOSONG."
"RATU TERTIDUR. BANGUN DAN BAKAR."
Pualam mengabaikan tulisan itu. Fokusnya hanya pada satu hal: Istana Ratu.
"Jalur ini akan membawa kita langsung ke bawah Istana. Ada terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh penjaga inti," bisik Pualam.
Tepat saat ia selesai bicara, sebuah kapak batu melesat dari bayangan, nyaris mengenai kepala Pualam.
"Di sana!" teriak seorang anggota Suku Gembira.
Mereka telah terperangkap. Lorong sempit itu kini diblokir di kedua ujungnya oleh sekitar sepuluh Suku Gembira. Mereka tampak gembira dengan perburuan ini.
"Serahkan Permata itu, Manusia!" teriak pemimpin mereka, Bunian dengan bekas luka di wajah yang memancarkan kebencian murni. "Kami akan mengakhiri kebodohan Keseimbangan ini!"
"Tidak akan!" balas Pualam. Ia mendorong Sutan ke belakangnya. "Lari! Lanjutkan ke Istana! Carilah pintu batu dengan ukiran Burung Merah! Aku akan menahan mereka!"
"Kau gila?! Ada sepuluh orang! Ini bunuh diri!" seru Sutan.
"Aku seorang Prajurit Kerajaan, Sutan. Kematian terhormat lebih baik daripada hidup di bawah tiran!" Pualam mengacungkan pedangnya. "Pergi! Ingat utang kopi Pak Leman! Jangan sampai pengorbananku sia-sia!"
Sutan tahu ia tidak bisa melawan. Ia memeluk Batu Rang Bunian. Panas dari batu itu mendesak keberanian dalam dirinya. Ia menoleh ke belakang, melihat lorong lain yang lebih gelap.
"Baik! Aku pergi! Tapi kalau kita ketemu lagi, kau traktir aku kopi Bunian!" Sutan berteriak, lalu berlari sekencang mungkin.
Di belakangnya, terdengar gemerincing pedang kristal yang beradu dengan kapak batu. Jeritan Suku Gembira yang marah memenuhi lorong. Sutan tahu Pualam sedang bertarung mati-matian.
Sutan berlari tanpa arah. Ia berbelok ke kanan, lalu ke kiri. Ia berada di labirin kristal yang gelap dan dingin. Kabut semakin tebal.
Tiba-tiba, ia menabrak sesuatu.
Benda itu dingin dan keras. Sutan mendongak. Di hadapannya, berdiri seorang Bunian.
Bukan Bunian tidur. Bukan Suku Gembira.
Bunian ini tampak tua, dengan jubah abu-abu yang compang-camping dan tongkat kayu bengkok. Matanya tidak marah, tapi juga tidak bersahabat. Matanya gelap, dalam, dan penuh pengetahuan kuno.
"Kau membawanya," kata Bunian tua itu, suaranya seperti daun kering yang dihancurkan. Ia menatap lurus ke Batu Rang Bunian.
"Aku… aku tersesat," kata Sutan, mundur selangkah.
Bunian tua itu menyeringai. "Tersesat? Tidak ada yang 'tersesat' di Pusaka Hening, Anak Manusia. Kau dipanggil. Kau adalah pembawa kekacauan, tapi juga kunci."
Bunian tua itu mengulurkan tangannya yang keriput. "Serahkan. Aku adalah Tetua Kelam. Aku akan membawamu ke Ratu. Tapi kau harus melalui ujian terakhir di Kota ini. Ujian yang hanya bisa dilalui oleh orang yang berani menghadapi diri sendiri."
Sutan ragu. Ia harus percaya pada Pualam atau Tetua Kelam yang misterius ini? Di tengah kebingungannya, lorong itu mulai bergetar.
Suara Raja Pualam yang kesakitan terdengar samar. Dan di kejauhan, Sutan melihat sebuah bayangan besar merangkak di atap kristal—seperti Lindu Hening, tapi lebih besar dan dipenuhi tangan pucat.