Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Karena Aku Hancur
Seminggu berlalu, dan rapat kembali diadakan. Suasana ruang rapat lantai 12 mendadak tegang ketika Jordan memanggil nama Laura di hadapan seluruh tim pengembang.
“Saya tunjuk Laura sebagai project lead untuk game flagship kita yang akan diumumkan kuartal depan,” ujar Jordan dengan suara datar, tetapi tegas.
Seisi ruangan langsung riuh. Beberapa rekan terlihat terkejut, yang lain saling bertukar pandang penuh tanya. Laura sendiri membeku di tempatnya, menatap Jordan dengan pandangan tak percaya.
“Proyek ini akan jadi wajah baru perusahaan. Kita tidak boleh gagal,” lanjut Jordan sambil menatap Laura tajam. “Mulai minggu ini, semua laporan pengembangan langsung ke saya. Dan saya ingin kamu yang memimpin presentasi setiap Jumat.”
Tak ada ruang untuk penolakan. Suara Jordan adalah keputusan. Setelah rapat selesai, Laura mengejar Jordan di luar ruangan.
“Kenapa aku?” tanya Laura pelan.
Jordan menoleh singkat. “Karena kamu cukup pintar untuk memimpin, dan cukup kuat untuk menahan tekanan.” Jordan berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.
Tujuan utama Jordan menunjuk Laura bukanlah itu. Dia hanya ingin membuat Laura tetap dekat, sehingga bisa mencari jawaban yang selama ini menghantui pikirannya.
Hari-hari berikutnya berubah menjadi ujian emosional bagi Laura. Dia harus bekerja dalam satu tim dengan Jordan. Duduk di satu ruangan, berdiskusi, bahkan terkadang berdebat soal detail kecil dalam pengembangan game. Setiap detik bersamanya serasa mengiris luka lama yang belum kering.
Jordan bersikap profesional, tetapi dinginnya menusuk. Tatapannya selalu mengintimidasi, komentar lelaki tersebut selalu mengandung nada sinis. Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi adalah saat-saat mereka berdua harus brainstorming, dan Laura menangkap tatapan itu. Tatapan yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta.
Seolah Jordan sedang berusaha keras menahan sesuatu yang ingin dia teriakkan. Dan akhirnya, pada malam ke-tujuh sejak proyek dimulai, bom itu meledak. Mereka berdua masih di kantor pukul sepuluh malam.
Ruang kerja utama sudah kosong. Di layar besar terpampang peta dunia game yang sedang dikembangkan. Laura duduk di depan monitor, mata lelah, tetapi tetap fokus. Jordan berdiri di belakangnya, untuk menatap layar atau Laura, dirinya pun tak tahu lagi.
“Laura,” panggil Jordan pelan.
“Ya?”
Jordan mendekat, lalu bersandar di meja tepat di hadapannya. “Ada satu hal yang selama ini tak pernah aku pahami.”
Laura diam. Dia tahu ini bukan lagi tentang proyek.
“Kalau dulu kamu benar-benar mencintaiku,” suara Jordan mulai menegang, “kenapa kamu pergi tanpa penjelasan? Tanpa sepatah kata pun. Menghilang seolah aku tak pernah ada.”
Pertanyaan itu akhirnya keluar. Pertanyaan yang telah Jordan pendam selama bertahun-tahun. Laura menahan napas.
Mata perempuan tersebut menatap ke lantai, lalu perlahan kembali ke mata Jordan—mata yang dulu dia rindukan, kini terasa seperti silet di dadanya. Laura ingin menjelaskan segalanya. Tentang malam itu, tentang pengkhianatan yang dia saksikan, tentang air matanya yang tak henti mengalir saat dia memutuskan pergi, dan tentang Leon, rahasia terbesarnya.
Akan tetapi, semua itu terlalu rumit, dalam, Laura terlalu takut. Jadi, dia hanya berkata lirih, suaranya nyaris tak terdengar, “Karena aku hancur.”
Satu kalimat yang memuat begitu banyak rasa sakit. Jordan terdiam. Kata-kata itu seperti palu yang menghantam dadanya. Dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi melihat mata Laura—mata yang berkaca, rahangnya yang mengeras menahan luka—Jordan tahu ini bukan saatnya. Akhirnya dia melangkah mundur.
“Besok kita review gameplay tahap dua,” katanya datar, berusaha menarik kembali dirinya ke dunia profesional.
Laura hanya mengangguk. Saat pintu ruangan tertutup di belakang Jordan, Laura menjatuhkan wajahnya ke telapak tangan dan mengusap air mata yang jatuh diam-diam.
Di tempat lain, Leysha menatap layar CCTV yang tersembunyi di ruang kerja lantai 12. Dia menyaksikan percakapan itu dari balik layar monitor pribadinya.
Ekspresi Leysha gelap. Matanya tajam menatap ke arah Jordan dan Laura yang baru saja keluar dari satu konfrontasi emosional.
“Kamu masih belum benar-benar melupakannya,” bisik Leysha dengan getir.
Keesokan harinya, Laura tiba di kantor lebih awal. Dia memeriksa data, mengatur ulang desain karakter, dan membuat catatan teknis untuk rapat sore nanti.
Saat Jordan masuk ke ruang tim, dia sedikit terkejut melihat Laura sudah bekerja. Untuk pertama kalinya, lelaki tersebut ingin tersenyum, tetapi urung. Luka semalam masih terasa terlalu segar.
Laura menoleh, dan sejenak mata mereka bertemu. Tak ada kata. Namun, cukup satu pandang untuk menunjukkan bahwa luka mereka belum sembuh dan proyek ini bukan hanya tentang game. Ini tentang dua jiwa yang terjebak antara masa lalu, kebenaran yang terkubur, dan cinta yang belum selesai.
---
Hari presentasi besar tiba. Ruang auditorium kantor dipenuhi oleh investor, media teknologi, dan perwakilan dari perusahaan Jepang yang akan menjadi mitra distribusi utama. Lampu sorot menyorot panggung kecil yang telah dipersiapkan secara elegan. Di tengahnya, layar besar terpampang dengan logo Project “Aetherion”—game flagship baru yang akan menentukan arah masa depan perusahaan.
Laura berdiri di balik panggung, jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya menggenggam pointer presentasi dengan keringat dingin. Jordan, yang berdiri di sampingnya, mengenakan setelan jas gelap. Wajahnya tenang, tetapi mata mereka sempat bertaut sebelum panggung dimulai.
“Siap?” tanya Jordan, suaranya rendah namun bergetar samar.
Laura mengangguk. “Lebih dari siap.”
Saat namanya dipanggil untuk memulai presentasi, Laura melangkah ke panggung. Sorot lampu menyilaukan, tetapi dia menarik napas panjang dan mulai bicara.
“Selamat pagi. Saya Laura Zura Jansen, project lead dari Aetherion. Game ini bukan hanya proyek, tapi napas dari visi baru W-Ware: tentang dunia yang kita bangun, keputusan yang kita ambil, dan konsekuensi dari pilihan yang keliru ….”
Suara Laura mengalun tenang, membawakan cerita tentang dunia virtual yang dibentuk oleh pilihan moral pemain. Dia memaparkan konsep gameplay, elemen naratif, dan teknologi terbaru yang digunakan. Slide demi slide berganti dengan visual memukau dunia yang seperti hidup.
Sementara itu, Jordan menatap Laura dari sisi panggung. Ada sesuatu dalam cara perempuan itu berbicara penuh perasaan, jujur, dan menyala. Seperti setiap kata yang keluar adalah serpihan dari dirinya yang dulu.
Tepuk tangan membahana saat presentasi usai. Laura tersenyum tipis, membungkuk sedikit. Namun, sebelum dia sempat turun dari panggung, salah satu investor Jepang mengangkat tangan dan bertanya dalam bahasa Inggris beraksen berat.
“Apakah Anda yang menulis skenario utama game ini?”
Laura mengangguk. “Yes. I’m the narrative designer as well.”
“Lalu saya penasaran ….” Investor itu menatapnya dengan mata tajam. “Dari mana inspirasi Anda? Dunia dalam game ini terasa seperti kisah yang sangat personal.”