Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Mata masih sedikit sembab, tubuh terasa berat, tapi aku tak ingin terlihat rapuh di rumah ini. Aku tahu, setiap sudut mata akan kembali meniliku, setiap langkahku akan diperhatikan.
Aku mengenakan gamis sederhana berwarna krem dan menata jilbabku serapi mungkin. Saat menatap cermin, aku memaksakan seulas senyum.
Aku tak ingin mereka melihat luka di balik wajah ini.
Aku turun ke ruang makan, dan seperti yang kuduga, semua sudah berkumpul. Reyhan duduk di ujung meja, berbicara dengan pamannya. Ara duduk tidak jauh dari Reyhan, senyumnya kembali muncul saat melihatku.
Nyonya Alfarezi menatapku sesaat sebelum menyesap tehnya. “Kau bangun juga akhirnya,” katanya dingin.
Aku hanya menunduk sedikit. “Pagi.”
Tak ada balasan. Hanya suara sendok dan garpu. Hanya suara tawa kecil di antara mereka.
Aku duduk, dan saat hendak mengambil roti, sepupu Reyhan, yang kemarin menyebutku anak pengkhianat, berkata sambil terkekeh, “Di rumah ini, tamu biasanya menunggu makanan disajikan, bukan asal ambil sendiri.”
Aku membeku sejenak. Tapi sebelum aku sempat berkata apa pun, suara Reyhan terdengar.
“Dia bukan tamu. Dia istriku. Jika dia ingin mengambil sendiri, itu terserah dia.”
Semua mata menoleh ke Reyhan. Termasuk aku.
Ara tampak tak senang. Nyonya Alfarezi mengerutkan dahi, lalu meletakkan cangkirnya dengan sedikit bunyi. “Tentu saja. Tapi rumah ini punya aturan. Bahkan untuk istri sekalipun.”
Reyhan tidak menanggapi. Ia hanya kembali memakan rotinya, seolah tak ada yang terjadi.
Setelah sarapan, aku berjalan keluar ke taman belakang. Butuh udara. Butuh tempat untuk mengatur emosi yang masih tersisa sejak semalam.
Dan saat aku duduk di bangku taman itu, seseorang datang.
Ara.
Langkahnya ringan, tapi ada ketegasan dalam suaranya. “Kau pikir kau bisa tinggal di sini begitu saja?”
Aku menoleh pelan. “Aku tidak pernah ingin tinggal di sini.”
Dia tersenyum sinis. “Bagus. Karena kau tidak akan bertahan lama. Reyhan hanya sedang... marah. Dan ketika marahnya selesai, dia akan menyadari tempatmu bukan di sampingnya.”
Aku menatapnya lekat-lekat. “Kalau begitu, kenapa kau takut?”
Wajahnya berubah seketika. “Apa?”
“Kalau kau yakin dia akan kembali padamu, kenapa kau repot-repot datang ke taman hanya untuk menegaskan sesuatu yang kau sendiri ragukan?”
Ara terdiam, lalu mendekat. “Kau mungkin sudah jadi istrinya, Nayla. Tapi cintanya… milikku sejak dulu.”
Aku berdiri. “Maka biarkan waktu yang membuktikan, Ara. Apakah kau memang bagian dari cintanya, dan bagian dari masa depannya?"
Aku melangkah pergi, tak peduli lagi dengan wajahnya yang mulai marah. Tidak lagi peduli dengan siapa yang ada di belakang Reyhan dulu. Karena satu-satunya yang kupikirkan sekarang… Aku tidak akan mudah di tindas oleh siapapun di keluarga ini termasuk Reyhan sendiri.
***
Malam ini, hujan turun pelan-pelan, mengguyur halaman belakang rumah keluarga Alfarezi. Aku memilih berdiam di kamar, menatap jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Rumah ini terasa dingin, tidak hanya karena cuaca, tapi karena tatapan dan kata-kata yang menusuk setiap saat.
Ketika aku hendak berbaring, pintu kamarku diketuk. Pelan. Tapi cukup membuatku terjaga. Aku membuka pintu, dan di sanalah Reyhan berdiri. Wajahnya datar, sorot matanya seperti biasa, dingin, penuh perhitungan.
“Kita pulang,” ucapnya singkat.
Aku menatapnya heran. “Pulang?”
“Iya. Ke rumah kita.”
Aku menelan ludah pelan. Entah kenapa, kata “rumah kita” terdengar seperti jebakan. Tapi aku tak berkata apa-apa. Hanya mengangguk kecil dan bersiap dalam diam.
---
Perjalanan pulang diwarnai keheningan. Tak ada obrolan, tak ada penjelasan. Hanya suara mesin mobil dan rintik hujan di kaca jendela.
Sesampainya di rumah, semuanya masih seperti sebelumnya. Rapi. Dingin. Sunyi. Tak terasa seperti rumah, hanya bangunan besar yang dipenuhi oleh ketegangan.
Aku meletakkan tas kecilku di kamar, mencoba menarik napas panjang sebelum berbalik untuk keluar. Tapi langkahku terhenti saat melihat Reyhan berdiri di ambang pintu, menatapku tajam.
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Apa kau kira dengan aku membawamu kembali ke sini, semuanya akan membaik?” ucapnya dengan suara rendah, tapi sarat emosi. “Ini bukan tentang memberi kenyamanan padamu, Nayla.”
Aku terdiam, menatapnya penuh tanda tanya.
Dia mendekat. “Ini tentang hukuman. Tentang balasan. Dan yang baru saja kau terima di rumah keluargaku… itu belum seberapa.”
Mataku mulai berkaca-kaca. “Reyhan… sampai kapan?”
“Sampai aku puas,” jawabnya cepat. “Sampai aku melihatmu benar-benar terpuruk karena telah menghancurkan hidupku.”
Aku tersenyum miris. “Kau pikir dengan menyakitiku, lukamu akan sembuh?”
Dia membalas tatapanku, lalu berbalik. “Jangan berharap apa-apa dariku, Nayla. Karena mulai sekarang… setiap hari di rumah ini akan mengingatkanmu bahwa kau hanya wanita yang kupilih bukan karena cinta… tapi karena dendam yang harus kau bayar.”
Setelah itu dia pergi, membiarkanku berdiri sendiri di tengah kamar. Hujan di luar masih turun, tapi rasanya tak sebanding dengan hujan yang kini turun di dalam hatiku.
Aku menatap langit-langit kamar, membiarkan air mata jatuh pelan.
***
Pagi harinya, aku menyiapkan sarapan. Meski belum terbiasa berada di dapur ini, aku tetap mencoba bersikap tenang. Telur, roti, dan teh. Sederhana, tapi cukup untuk menyambut hari baru yang entah akan seburuk apa lagi. Aku tetap menyiapkan sarapan untuknya. Ini ku lakukan karena tugas istri adalah melayani suami, meskipun mungkin dia hanya akan melihat kebencian.
Saat aku sedang menuang teh ke dalam cangkir, suara langkah Reyhan terdengar dari arah tangga. Dia masuk ke ruang makan tanpa menatapku, lalu duduk di kursi paling ujung.
Aku meletakkan cangkir di depannya. “Sarapan sudah ku siapkan untukmu.”
Dia tidak menjawab. Hanya mengangkat roti dan mulai memakannya, seperti aku tidak ada di sana.
Aku duduk di seberang, mencoba mencicipi tehku sendiri.
Beberapa menit berlalu, sampai akhirnya dia berkata, “Kau masih suka teh manis, kan?”
Aku mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Masih.”
Dia mengangguk pelan. “Aneh.”
“Kau mengingatnya?”
Dia menatapku datar. “Aku mengingat semua hal yang berkaitan denganmu, Nayla. Termasuk rasa sakit yang kau tinggalkan.”
Aku menahan napas. Entah kenapa, suaranya menusuk lebih dari sekadar ejekan.
“Reyhan…” Aku mencoba bicara, tapi dia segera berdiri.
“Aku akan ke kantor. Jangan keluar rumah. Jangan kemana-mana. Dan jangan pikir untuk bertingkah macam-macam. Rumah ini punya aturan juga, Nayla. Dan aku pemiliknya.”
Dia mengambil jasnya dan melangkah ke pintu. Tapi sebelum pergi, dia berbalik sesaat. “Dan satu lagi… Kau tidak perlu memasak untukku. Aku tidak lapar karena masakanmu. Aku hanya lapar karena ingin melihatmu bekerja seperti pelayan.”
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Menahan air mata yang nyaris jatuh. Tapi aku tahu… menangis hanya akan membuatnya puas.
Saat pintu tertutup dan deru mobilnya menghilang, aku menghela napas panjang. Jantungku terasa sesak. Tapi aku tahu, ini baru permulaan.
Aku berjalan ke taman belakang, tempat yang kupakai untuk menenangkan diri. Duduk di bangku kayu, menatap langit yang masih mendung.
"Nayla, kau harus kuat. Bukan untuk membalas… tapi untuk bertahan. Karena bertahan adalah satu-satunya cara agar dia tahu… kau bukan wanita lemah seperti yang dia kira."
Aku memejamkan mata sejenak di bangku taman itu. Dedaunan yang basah oleh hujan semalam masih meneteskan sisa-sisa air. Suara alam yang tenang justru membuat pikiranku kembali ke masa lalu, ke tempat yang dulu kusebut rumah, ke kenangan yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.
Reyhan… dulu bukan seperti ini.
Waktu kecil, dia sering datang ke rumahku bersama ayahnya. Papa Reyhan adalah orang yang sangat dihormati di mata Papa. Mereka bersahabat. Papa bekerja sebagai asisten keuangan pribadi keluarga Alfarezi, dan karena kedekatan itulah hubungan kami dengan keluarga Reyhan cukup dekat.
Reyhan kecil… dia anak laki-laki yang keras kepala, tapi diam-diam perhatian. Aku masih ingat saat aku jatuh dari sepeda di depan rumah, lututku berdarah dan aku menangis. Teman-teman yang lain hanya tertawa. Tapi Reyhan... dia malah berlari ke dapur rumah kami, mengambil air dan kain bersih, lalu membersihkan lukaku.
"Aku nggak suka lihat darah," katanya waktu itu. "Tapi aku lebih nggak suka lihat kamu nangis."
Kami tertawa waktu itu. Aku masih ingat jelas senyum itu. Senyum yang hangat. Senyum yang... kini tak ada lagi.
Tapi semua berubah sejak Papa Reyhan meninggal dunia secara mendadak karena serangan jantung.
Sejak hari itu, Reyhan mulai berubah. Tatapan matanya padaku tak lagi sama. Seolah ada kebencian yang disembunyikannya, seolah kepergian ayahnya adalah awal dari semua kegelapan yang kemudian menghancurkan segalanya. Bahkan hubungan kami.
Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, atau apa yang dipikirkannya. Tapi aku bisa merasakannya. Dingin. Penuh jarak. Dan perlahan, rasa tidak suka itu tumbuh dari tahun ke tahun, hingga kini menjadi dendam yang ia siram dengan luka-luka baru untukku.
“Apa mungkin… dia menyalahkan Papa?” bisikku pelan pada diri sendiri.
Karena sejak Papa kehilangan pekerjaan setelah itu, kami tak pernah lagi dipanggil ke rumah mereka. Kami menjauh. Kami... diasingkan.
Aku menggigit bibir. Luka lama itu ternyata belum benar-benar sembuh. Bahkan kini Reyhan sendiri seolah ingin menghidupkannya kembali dengan cara yang paling menyakitkan.
Aku membuka mata. Langit mulai cerah, tapi hati ini tetap mendung. Namun satu hal yang aku tahu dengan pasti, aku harus terus bertahan. Karena jika Reyhan ingin menghukumku untuk sesuatu yang tak pernah kulakukan… maka aku akan menjawabnya bukan dengan air mata.
Aku ingin tetap menjadi Nayla… gadis kecil yang dulu pernah menangis karena terluka, tapi selalu bangkit sendiri karena dia percaya, suatu hari luka itu akan sembuh juga.