**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. HATINYA TERASA BERAT
Langkah Nadra awalnya mantap menjauh, tapi entah kenapa hatinya terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal, seperti ada suara lembut yang berbisik dari dalam dirinya, "Jangan tinggalkan dia seperti itu."
Ia menoleh perlahan. Nayaka masih berdiri, berjalan pelan ke arah pintu keluar rumah sakit, satu tangannya memegangi sisi kepala yang masih berbalut perban. Tubuhnya tampak goyah, sesekali bahunya naik-turun, menahan rasa sakit.
Nadra menatapnya. Hatinya seperti diremas. Wajah pria itu yang tadi tampak dingin dan menyeramkan, kini justru terlihat kesepian. Tanpa pikir panjang, Nadra membalikkan tubuh, berlari kecil menghampiri Nayaka.
"Nanti dulu," ucapnya, suaranya pelan, tapi pasti.
Tubuh mungil Nadra berdiri tepat di sisi Nayaka, tangannya meraih lengan pria itu, menopangnya dengan kekuatan yang pas-pasan. Nayaka langsung menoleh, refleks menepis pelan tangan Nadra dari lengannya.
"Tidak usah repot-repot membantuku," ucap Nayaka dengan nada datar. Wajahnya menunduk sedikit, suaranya terdengar enggan. "Aku bisa sendiri. Pergilah!"
Nadra tak menjawab. Ia kembali menggenggam lengan Nayaka dengan lembut tapi tak tergoyahkan.
"Dulu ibu pernah bilang," katanya lirih, "kalau kita nggak punya uang, bantu pakai tenaga. Kalau nggak punya tenaga, bantu pakai senyum atau pelukan."
Nayaka terdiam. Ia menghentikan langkahnya, menoleh perlahan ke arah wajah mungil di sampingnya. Wajah Nadra polos, matanya jernih, tapi di dalamnya terlihat letih yang dalam. Seperti orang yang terbiasa menyembunyikan luka. Detik itu, Nayaka tersenyum kecil. Senyum tipis yang tak biasa keluar dari wajah sedingin dirinya.
"Hmm," gumam Nayaka. "Begitu ya, kata ibumu?"
Nadra hanya mengangguk pelan.
Lalu dengan pelan Nayaka berkata, "Kalau gitu, bantu aku sampai ke rumah." Ia melirik ke arah luar rumah sakit. "Dan bantu aku pesan Gocar."
Nadra ikut tersenyum kecil. "Bisa, asal kamu jangan pingsan di jalan."
Keduanya berjalan pelan keluar dari gedung rumah sakit. Langit sore tampak redup, angin semilir berembus pelan, membungkus dua sosok yang berbeda dunia, namun dipertemukan oleh satu kejadian tak terduga.
^^^
Di dalam Gocar, suasana begitu hening. Hanya suara radio kecil dari dashboard yang memutar lagu-lagu nostalgia. Langit di luar sudah mulai menggelap, memudar seiring datangnya senja.
Nayaka tertidur dalam posisi duduk, tubuhnya tampak berusaha tetap tegak, meski sesekali terhuyung ke kiri dan ke kanan. Nadra duduk di sampingnya, tegang dan canggung. Matanya melirik ke arah Nayaka, tapi cepat-cepat berpaling lagi.
Dalam hati, ia berperang dengan perasaan tak nyaman dan rasa iba.
"Kepala segede itu masih juga maksa sok kuat. Gengsinya luar biasa," batin Nadra sambil mendesah pelan.
Ketika tubuh Nayaka sekali lagi nyaris tumbang ke sisi lain, Nadra akhirnya tak tahan. Ia menarik napas dalam, lalu menyentuh bahu Nayaka perlahan, membimbing tubuh pria itu agar bersandar ke arahnya.
Kepala Nayaka akhirnya jatuh perlahan di pangkuan Nadra. Ia tak sadar lagi. Wajahnya tenang, seperti bocah yang tertidur di tengah mimpi panjang. Nadra menatap wajah itu. Begitu dekat, begitu berbeda dari sosok ayah yang menakutkan baginya. Meski tadi Nayaka sempat membuatnya takut, sekarang ia bisa melihat sisi lain. Lelah, sepi, dan mungkin kesepian yang mirip dengannya.
Mobil Gocar melaju membelah jalan-jalan kota yang mulai tenang. Lampu jalan menyala bergantian, menyoroti wajah dua orang yang dipertemukan oleh takdir aneh.
^^^
Dua jam perjalanan yang panjang itu akhirnya usai ketika mobil berhenti di sebuah jalan kecil yang sunyi. Di ujung jalan itu berdiri sebuah rumah bertingkat dua, tak terlalu mewah, tapi tampak hangat dan nyaman.
"Sudah sampai, Dek," ucap sopir.
Nadra menunduk, menggoyang pelan tubuh Nayaka. "Bangun, udah sampai."
Nayaka mengerang kecil, perlahan membuka mata. Begitu sadar kepalanya bersandar di paha seseorang, dia langsung mengangkat tubuhnya dengan cepat.
"Maaf," ucapnya lirih sambil mengusap wajah. "Aku, nggak sadar tadi."
Nadra menggeleng. "Nggak apa-apa. Asal jangan pingsan lagi aja."
***
Keduanya turun dari mobil. Nayaka sedikit goyah, tapi Nadra cepat-cepat menopangnya. Mereka berjalan ke arah gerbang rumah, dan seketika pintu gerbang terbuka otomatis.
Nadra tertegun. Matanya membulat kecil melihat gerbang yang terbuka sendiri. "Wah, keren juga," gumamnya tanpa sadar.
Nayaka tersenyum kecil. Dan, Nadra tertawa pelan, pertama kalinya di hari itu.
Keduanya melangkah perlahan ke teras rumah. Belum sempat sampai, tiba-tiba seseorang muncul. Seorang pria dewasa berdiri di depan pintu, tinggi, tegap, mengenakan kemeja kasual abu-abu. Wajahnya tampak tenang tapi tajam, sorot matanya langsung tertuju pada Nadra yang masih memegang lengan Nayaka.
Nadra terkejut, langkahnya terhenti.
"Agra," gumam Nayaka pelan, suaranya terdengar sedikit malas. "Jangan lihat aku kayak gitu. Aku belum mati."
Agra, abangnya mengangkat satu alis. "Kau lagi-lagi bikin masalah? Siapa gadis yang disampingmu?"
Nayaka membuka mulut, tapi Nadra cepat-cepat melepaskan pegangan. Ia menunduk sopan, suaranya pelan.
"Aku, bukan siapa-siapa. Cuma, tadi kebetulan nolongin pas dia kecelakaan."
Agra masih menatap tajam. Ia melihat ke arah Nayaka, lalu ke Nadra. Lalu kembali ke Nayaka lagi.
"Hebat, biasanya nggak gampang ditemani orang. Tapi sekarang, sampai dibantu pulang begini."
Nayaka memutar bola matanya malas. "Aku udah cukup pusing. Jangan tambah banyak komentar."
Nadra menahan senyum. Ada hal yang hangat dan menyenangkan dari interaksi dua pria ini, meski dengan gaya bicara mereka yang terlihat ketus.
"Aku pulang, ya," ucap Nadra buru-buru.
"Terima kasih," ucap Nayaka. Di balas Nadra dengan senyuman.
Langkah Nadra sempat mantap meninggalkan teras rumah itu, namun baru beberapa meter menjauh, suara berat nan tenang menahannya.
"Nadra, apa kau nggak ingat aku?"
Nadra menoleh, mendapati Agra, pria dewasa yang sempat ia temui malam itu. Senyum tipis, berdiri santai dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Nadra terdiam sejenak, matanya menyipit, ekspresinya canggung. Tentu saja ia ingat, siapa yang bisa lupa dengan pria baik, namun muncul di malam hari yang dulu sempat ia sebut.
"Musang pandan," bisik Nadra dalam hati, lalu buru-buru menunduk, menahan senyum kaku.
"Aku ingat," jawabnya gugup. "Siapa yang nggak ingat, sama Om."
Agra tertawa singkat, ringan, hangat. "Om? Waduh, aku langsung merasa tua, nih."
Tawa Agra melayang tenang di udara yang dingin sore itu. Tapi tidak untuk Nayaka. Pria itu berdiri diam, tubuhnya masih goyah, namun wajahnya tampak tidak senang. Ia berbalik badan, memutus tatapan antara Nadra dan Agra.
Dengan nada datar, namun tajam, ia berkata tanpa menoleh. "Rasanya aku belum ngajak kamu ngobrol, Bang. Dan Nadra, kamu bisa pulang. Nggak perlu lama-lama di sini."
Nadra terdiam. Nada bicara itu membuatnya mendengus pelan, wajahnya kesal, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang dikesali.
"Huh. Dasar nggak tahu terima kasih," gumamnya cukup keras agar terdengar. "Tau gitu tadi aku tinggalin aja kamu di pinggir jalan."
Ia membalikkan badan, berjalan cepat menuju pintu gerbang otomatis yang perlahan mulai terbuka. Tapi baru beberapa langkah, Nadra berbalik lagi. Matanya masih menyimpan kekesalan, tapi langkahnya mantap.
"Om Agra," ucapnya sambil melirik cepat. "Tunggu sebentar."
Agra mengangguk, meski masih heran.
Nadra berjalan cepat ke arah Nayaka, yang kini tengah berusaha membuka kunci pintu rumah. Tangannya terulur, menepuk pelan punggung Nayaka.
"Tunggu. Aku hampir lupa."
Nayaka menoleh, wajahnya masih terlihat dingin. Tapi sebelum sempat bicara, Nadra mengangkat tangan mungilnya ke depan wajah pria itu.
"Uang. Mana uang ongkos untuk naik Gocar-nya?"
Agra menahan tawa di belakang mereka. Suaranya terdengar pelan menahan geli. "Wah, ini gadis unik juga ya."
Nayaka menatap Nadra sejenak, diam. Mata tajamnya melirik gadis itu dari ujung rambut hingga ke ujung jari. Tapi yang terlihat bukan kemarahan, melainkan heran, dan mungkin kagum yang tak bisa diungkapkan. Lalu, perlahan, tangan Nayaka masuk ke dalam dompet kecilnya. Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
"Nih."
Nadra menerimanya cepat-cepat, wajahnya masih cemberut, namun mata beningnya tampak puas. "Makasih, Om-om dingin."
Nayaka mengernyit. "Apa?"
"Nggak apa-apa," jawab Nadra cepat-cepat, lalu berjalan pergi sambil melambai ke Agra. "Om, makasih ya. Sampai ketemu lagi!"
Agra mengangguk sambil tertawa kecil. Nayaka hanya berdiri di depan pintu, menatap punggung mungil itu yang menjauh. Entah kenapa, meski langkahnya pelan dan tubuhnya lelah, hatinya terasa hangat.
"Anak itu," gumam Nayaka. "Aneh."
Agra mendekat, menepuk bahu Nayaka pelan. "Aneh, tapi jujur. Dan kamu, kelihatan beda hari ini."
Nayaka tak menjawab. Ia hanya memandang ke arah jalan yang mulai sepi. Di ujung sana, sosok mungil bernama Nadra telah menghilang dari pandangan. Namun untuk pertama kalinya setelah lama, senyum kecil menggantung di bibir dinginnya.
...Bersambung.......
...Terima kasih untuk dukungannya....
...Jangan lupa tinggalkan komen di setiap bab-nya, ya....