Asila Ayu Tahara. Perempuan yang tiba-tiba dituduh membunuh keluarganya, kata penyidik ini adalah perbuatan dendam ia sendiri karna sering di kucilkan oleh keluarganya . Apa benar? Ikut Hara mencari tahu siapa sih yang bunuh keluarga nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonjuwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kertas peringatan
Disinilah akhirnya Hara mendudukkan dirinya di ambang pintu rumah yang sudah ia buka, ia membuka tali sepatu itu dengan lambat seolah tak ingin cepat-cepat memasuki rumah. Setelahnya ia menghembuskan nafas beratnya dan menengadah ke atas menatap bulan dan bintang yang amat tentram.
Lamanya Hara menatap ke hamparan langit malam itu lalu memejamkan matanya kala angin menghembus lembut menyibak beberapa helai rambut yang mulai menipis di kepalanya.
Ia berjalan gontai dengan hati yang berat menutup kembali pintu yang sedari tadi kebuka, berjalan acuh melewati empat orang yang tengah sibuk tertawa di depan tv.
Kamarnya di belakang, paling pojok, dekat kamar mandi, dekat dapur dan naasnya itu adalah kamar bekas pembantu.
Ia mendudukkan dirinya di sisi ranjang dengan kasur kapuk yang bahkan sudah tipis, ia menghela nafas kasar lagi dan lagi. Seolah hari ini adalah hari paling melelahkan, padahal tiap harinya juga Hara sudah lelah.
Tawaan nyaring dari ruang tamu itu menggema di kuping kanan dan kiri Hara, menusuk hati kecil didalamnya, membawa ingatan akan perkataan lelaki di kantor polisi tadi
“Dan katanya di rumah itu gak ada yang namanya Tahara, kamu kasih saya alamat palsu lagi?”
Memang, mereka tak punya keluarga bernama Tahara disana.
Bahkan ia menyayangkan air mata nya jika harus menangisi kehidupan yang sekali ini, tak hanya sayang juga entah mengapa ia sudah tidak pernah menangisi hidupnya yang malang itu.
Ia bukan anak tiri, bukan anak pungut, bukan anak haram tapi Ayah dan Ibu menyebutnya anak sial.
“Udah Ayah bilang kalo ada yang tanya siapa wali kamu tuh bilang kamu gak punya wali!”
“Ayah gak mau punya anak kaya kamu!”
“Hara, Hara, hidupnya enak banget sih. Makan, mandi, tidur, maen, gak pernah bantuin Ibu sama sekali. Liat kakak-kakak kamu itu gak bantu Ibu pun gak apa karna mereka sibuk belajar karna mereka pintar”
“Sepatu kan masih bagus, ngapain minta Ayah beliin lagi. Selagi gak jebol pake ajalah Hara. Ayah gak punya duit.”
“Hara, buangin sampah tuh udah segunung”
Beberapa kilas balik ingatan-ingatan yang biasanya membuat hatinya sakit, dada nya sesak, hingga ia akan menangis sejadi-jadinya di bawah bantal.
Namun kali ini, tak terbesit sedikitpun niatnya untuk membuang air mata untuk mereka lagi.
Hara beranjak ke kamar mandi yang letaknya berseberangan dengan kamarnya, membasuh seluruh tubuhnya dengan pelan sambil sesekali meringis pedih.
Ia menghabiskan waktu hanya lima menit untuk membilas tubuhnya, lalu berdiri depan kaca dengan tubuh yang masih terlilit handuk.
Ia membelakangi kaca untuk melihat punggungnya sendiri dari pantulan kaca yang sedikit usang, wajahnya lagi-lagi meringis saat merasakan perih ketika jari telunjuknya menggores pelan luka panjang yang masih merah.
Ting tong … Ting tong
Bel rumah itu berbunyi yang Hara dengar salah satu orang berjalan ke depan mungkin untuk mengambil paket pikirnya.
“AAAAAKKKKKKK”
Teriakan keras terdengar oleh Hara yang baru saja selesai memakai baju tidur nya, ia bergegas ke ruang depan untuk ikut lihat apa yang terjadi di rumahnya.
Matanya membulat sempurna ketika sampai di ruang depan yang menyuguhkan pemandangan kantong hitam yang penuh dengan darah, ia mendekat untuk memastikan benda apa yang ada di dalamnya.
Meraih kantong itu dengan perlahan dan membukanya, yang ia lihat adalah seekor kucing lagi. Dan lagi-lagi dengan kepala dan tubuh yang hampir terputus.
Ia menatap seluruh keluarganya bergantian, raut mereka penuh dengan ketakutan saat ini namun entah apa yang ada di benak Hara ia merasakan sedikit senang ketika melihat ekspresi mereka yang sangat takut. Seolah mereka lupa dengan tampang sangar dan sombong yang tiap hari mereka tunjukkan.
Hara merogoh kantong yang penuh darah itu dan menemukan sebuah plastik di dalamnya, ia langsung mengambil dan mencuci tangan nya untuk membuka plastik yang berisi kertas note berwarna kuning muda.
Semua orang menunggu Hara membacakan kertas itu, mereka menunggu dengan wajah yang sangat lugu, takut dan gelisah.
...“...
...Sebelum mati, kucing ini baru saja melahirkan anaknya berjumlah tiga. Namun sayang sekali, anak terakhirnya terlahir dengan warna yang berbeda. Dengan teganya, kucing ini tak memberi asi sedikit pun untuk yang berbeda itu....
...Lalu kenapa saya membunuh kucing ini?...
...Karna hukuman yang pantas untuk Ibu yang pilih kasih adalah mati, agar semua anaknya sama-sama tak mendapatkan kasih sayang. Adil bukan?...
...Hara, ini adalah contoh hukuman yang benar untuk orang jahat. Sekali lagi, jangan mau terbunuh oleh orang yang menghukum mu....
...“...
Hara memberikan kertas itu pada Samuel, lalu ke Dita, lalu ke Ayah dan terakhir Ibu yang membaca surat itu.
“Apa maksudnya ini Hara?” tanya Ayah
Hara mengangkat bahunya acuh sambil memandang kucing mengenaskan di dekat kakinya.
Tiba-tiba lima jemari Samuel mencengkram kedua belah pipi nya dan membawa paksa ke hadapan wajah sang Ayah.
“Kalo bokap gue ngomong tuh di jawab anjing, punya mulut gak dipake tuh buat apa?”
Sentakan dan cengkraman Samuel sama-sama menyakitkan di hatinya, ia kembali menunduk menggenggam jari jemarinya yang sudah bergetar.
“Ini apa maksudnya Tahara?!” nada bicara Ayah nya sudah tinggi kali ini
“Gak tau Yah”
“Jelas-jelas surat itu buat elo Hara!” kali ini Dita ikut menimpali
“Aku bener-bener gak tau Kak”
“Lu neror keluarga lu sendiri?” Samuel mendekat dengan gaya yang sudah siap melayangkan tamparan
Hara memejam barangkali benar tamparan itu akan mendarat di salah satu tubuhnya.
“Hari ini aku juga liat kucing mati kaya gini pas tadi di cafe sama Dewi, terus aku anter Dewi ke rumah temen SMP dan tiba-tiba dia mati juga di hadapan aku. Aku di bawa ke kantor polisi dan katanya mereka nel-”
“Gak penting Tahara. kita gak peduli lu mau masuk penjara kek, mau terlibat pembunuhan hewan, manusia atau apalah serius gak peduli kita” kini Dita menjatuhkan dirinya di sofa
“Yang mau kita tau itu, apa maksud lu seolah kirim-kirim kaya gini hah?!”
“Kak, sumpah aku gak kirim-kirim kaya gini”
“Lu mau nakut-nakutin kita gitu?” tanya Samuel kali ini
Hara menggeleng ribut memandangi Samuel, Ayah dan Ibunya yang masih berdiri menghadap ke Hara.
Namun, rupanya mau seberapapun ia membela diri sendiri semua tak akan cukup untuk keluarga itu. Mereka menelan mentah-mentah pikiran buruk mereka pada Hara yang menyebabkan Hara di pecut lagi dan lagi oleh Ayah nya.
Lukanya belum kering, punggung nya masih penuh dengan sabitan, hatinya belum sepenuhnya sembuh, atau mungkin tak akan sembuh.
Hara pikir semuanya akan berakhir mungkin saat mereka sudah tiada, dan untuk menunggu waktunya tiba ia tak masalah jika harus menunggu seberapa lama pun sampai waktunya tiba.
Namun kali ini dalam hatinya, dalam amarahnya, ia bermonolog dalam hati seolah tengah berbincang dengan tuhan agar disegerakan kesengsaraan itu diambil ke pangkuan sang pencipta.
Malam ini ia akan tertidur dengan telungkup lagi dan lagi, punggungnya panas dan juga perih sekali.
Benar-benar tak ada air mata malam ini, ia meraih handphonenya membuka story panggilan yang menunjukkan nama Hakim di posisi paling atas
“Takut nya ini teror, jadi kalo ada yang aneh Adek bisa hubungin saya”
Kalimat itu terpecah sedikit karna Hara tak mengingat pasti kalimat Hakim saat itu, ia menatap lama nama Hakim dan ibu jarinya bergerak ragu memencet tombol panggilan atau tidak.
Ah, tidak rupanya. Ia lebih memilih membuka chat story dengan Dewi.
Hara
‘Udah tidur?’
^^^Dewi^^^
^^^‘Eh, belum nih. Kenapa?”^^^
Hara
‘Aku dicambuk Ayah lagi’
^^^Dewi^^^
^^^‘Perlu aku kesana?’^^^
Hara
‘Iya, aku pengen pergi’
Tak ada balasan lagi dari Dewi namun Hara sudah tahu pasti Dewi akan kesini menjemputnya, ia berjalan santai melewati ruang tamu yang sudah sepi. Ia membuka pintu dengan pelan dan duduk di ambang pintu menunggu Dewi.
Sembari menunggu ia merogoh kantong celana piyama nya, membuka kertas itu untuk mengingat-ingat tulisan siapa ini.
Tak berselang lama Dewi membuka pagar dengan biasa, ia menghampiri Hara yang sudah menunggunya.
“Kenapa gak tunggu di dalem aja?”
“Mau nunggu disini aja” jawab Hara
“Yaudah yuk!”
Dewi mengulurkan tangannya mengajak Hara bergandengan seperti biasa, Hara menyambutnya dengan senang hati juga sekarang ia sudah mulai terbiasa dengan Dewi.
Ia merasa tempat teraman nya hanyalah dengan Dewi.
“Fuck you!! Untuk semua orang yang ada dirumah ini! Biadab kalian semua! Anjing! Babi! Set-”
Mulut Dewi di bekap dengan keras oleh Hara, lalu menarik tubuh itu keluar dari pekarangan rumahnya.
“Hara!” Dewi merengut tak terima
“Bukan gak boleh, tapi ini udah malem Dew, takut ganggu tetangga aja”
“Kesel banget aku sama mereka, kok bisa jahat gitu ke kamu Har”
Dewi kali ini memunculkan mata kesedihannya, ia akan menjadi garda terdepan untuk Hara hari ini dan selamanya, begitulah yang Hara dengar dari Dewi saat pertama kali Dewi tau soal keluarganya.
Sesungguhnya Hara sangatlah beruntung dipertemukan dengan Dewi, di kehidupannya yang lelah itu rupanya Dewi menjadi salah satu alasan Hara agar tak menyerah.
Ia merasa bersalah karna sudah berpikiran buruk tentang Dewi, dengan senyum indahnya Hara melukiskan itu untuk ia persembahkan kepada Dewi.
Hanya kepada Dewi ia melukiskan guratan senyum di bibir manisnya yang bahkan dulu hanya bisa tersenyum di depan dirinya sendiri saat bercermin.
“Mau di obatin”
Rengek Hara.
Mata Dewi membola sempurna, sungguh ini adalah kalimat terindah yang baru ia dengar.
Terkesan lebay tapi sebenarnya Dewi sangat terharu karna lagi-lagi ia merasa sakit di hatinya melihat Hara yang mati-matian bertahan hidup sendiri di dunia yang kejam ini.
“Iya, ayo aku obatin”
Air mata Dewi lolos berjatuhan, meraih genggaman Hara agar ia bisa menggenggam lebih erat lagi. Menggenggam lengan itu dan tak akan pernah ia lepaskan.
Mereka berjalan dengan hati yang sama-sama menghangat, di bawah sorot lampu jalanan Hara bisa melihat senyum yang tak pernah luntur dari wajah Dewi.
Ia baru tahu, jadi begini rasanya di sayang.