NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29

Lira keluar dari kamar mandi, hanya berbalut jubah mandi putih yang menutupi tubuh mungilnya. Rambutnya masih basah, meneteskan butiran air ke leher dan pundaknya, aroma sabun lembut memenuhi kamar. Ia baru saja menarik napas lega ketika terdengar ketukan singkat di pintu—belum sempat menjawab, daun pintu sudah terbuka.

“Yash!” seru Lira terkejut, buru-buru merapatkan ikatan jubahnya. “Jangan seenaknya kalau masuk.”

Pria itu sama sekali tak menghiraukan protesnya. Tubuh tegapnya melangkah masuk seolah ruangan itu memang miliknya. Di tangannya ada sebuah nampan, berisi semangkuk sup panas yang masih mengepulkan uap, dan segelas air bening. Tanpa bicara, ia meletakkannya di meja depan sofa.

“Duduklah.” Suaranya berat, bernada perintah.

Lira berdiri kaku di tempat, menatapnya dengan wajah setengah kesal. “Aku tidak lapar.”

Tatapan hitam Yash terangkat, menembus Lira yang berusaha keras menjaga jarak. “Bukan urusanmu lapar atau tidak,” ucapnya pelan namun tegas. “Kau baru saja menggigil di dalam kolam. Kau akan makan.”

Lira menggigit bibirnya, ingin membantah, tapi langkah pria itu sudah mendekat. Yash menahan bahunya dengan ringan namun kokoh, memaksa tubuh Lira bergerak menuju sofa. Tak ada ruang untuk melawan; genggaman itu seakan mengikat tanpa pilihan.

Ia terduduk, masih dengan raut wajah enggan. Yash lalu meraih sendok, mengaduk sup sebentar, dan menyodorkannya ke arah Lira. “Buka mulutmu.”

“Aku bisa makan sendiri,” gumam Lira, hendak merebut sendok.

Namun Yash lebih cepat menarik tangan, senyum tipisnya muncul, samar tapi tajam. “Kalau begitu buktikan. Jangan membuatku menjejalkannya sendiri ke mulutmu.”

Lira terdiam, matanya menajam ke arah pria itu. Tapi jelas, lagi-lagi Yash sudah menepis batas yang coba ia bangun.

Lira menatap sendok di depan bibirnya, lalu menghela napas. “Aku tidak butuh kau mengaturku, Yash. Aku bisa menjaga diriku sendiri.” Suaranya berusaha terdengar tenang, meski jelas ada getaran tipis di sana.

Yash tidak menggerakkan sendoknya. Justru matanya makin tajam, mengunci pandangan Lira tanpa berkedip.

“Menjaga diri sendiri?” Ia terkekeh rendah, namun tanpa nada gembira. “Kalau aku tak menarikmu tadi, kau sudah tenggelam, Lira.”

Lira terdiam, wajahnya menegang. Ia memalingkan muka, tidak ingin mengakui kebenaran itu. “Itu berbeda.”

“Tidak ada bedanya,” potong Yash dingin. Ia meletakkan sendok kembali ke mangkuk dengan gerakan perlahan, lalu mencondongkan tubuhnya. Jemarinya menyentuh dagu Lira, memaksa wajah gadis itu kembali menatapnya.

“Kau boleh menolak dengan kata-kata, tapi tubuhmu selalu bicara yang sebenarnya. Kau rapuh, Lira. Dan aku tidak akan membiarkanmu berpura-pura kuat di hadapanku.”

Lira menepis tangannya, berdiri tergesa. “Aku tidak rapuh! Aku hanya… tidak suka dikendalikan.”

Yash ikut berdiri, gerakannya jauh lebih tenang, tapi setiap langkahnya mendekat membuat Lira mundur setapak. “Aku tidak mengendalikanmu, Lira.” Senyum samar itu kembali muncul di bibirnya. “Aku melindungimu. Itu beda.”

Lira terdesak hingga punggungnya hampir menyentuh dinding. Ia mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, meski dadanya berdebar hebat. “Aku tidak butuh kau di setiap langkahku, Yash. Aku bisa bernapas tanpa kau berada di sekitarku.”

Namun Yash menunduk, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. Suaranya merendah, bergetar seperti peringatan.

“Kalau benar kau bisa… kenapa matamu bergetar setiap kali aku mendekat?”

Pandangan Lira dan Yash terkunci begitu lama hingga udara seakan menebal di antara keduanya. Namun tiba-tiba Lira meringis. Sebuah kilatan samar muncul di dadanya—cahaya putih kebiruan yang berdenyut tak beraturan, seperti nyala yang ingin meledak keluar.

“Ahh—!” Lira terhuyung, tubuhnya condong ke dada Yash. Nafasnya memburu, tangan meremas kain baju pria itu.

Yash segera merangkulnya, merasakan kehangatan aneh yang merambat dari dada Lira. Sorot matanya berubah serius. “Cahaya itu…,” gumamnya rendah, “ia merespon semua makhluk yang mengepung rumah ini.”

Lira menggigil, suaranya bergetar. “Apa yang harus kulakukan? Rasanya seperti terbakar dari dalam…”

Yash menunduk, rahangnya mengeras. Ia menggenggam bahu Lira erat, seolah tak rela melepaskan. “Kita tidak punya pilihan, Lira. Aku harus membawamu menemui Pak Merta. Hanya dia yang mungkin tahu cara menenangkan cahaya ini.”

Mata Lira membelalak. “Apa? Tidak! Di luar ada puluhan makhluk, ratusan! Mereka semua menungguku—kalau aku keluar, mereka akan—”

“Kau pikir mereka akan berhenti hanya dengan kita bersembunyi di sini?” potong Yash, suaranya keras namun penuh tekanan. “Setiap denyut cahayamu adalah undangan bagi mereka. Semakin kau menahannya, semakin besar sakit yang harus kau tanggung.”

Lira menggigit bibir, tubuhnya masih gemetar di pelukan Yash. Ia tahu pria itu benar, tapi ketakutan menahannya. “Aku… aku tidak bisa. Mereka terlalu banyak.”

Yash menundukkan wajahnya mendekati telinga Lira, suaranya turun menjadi bisikan berat. “Maka pegang aku erat-erat. Kau tidak perlu melawan mereka… cukup biarkan aku yang membuka jalan.”

...

Lira keluar dari kamar dengan langkah goyah, tubuhnya sudah terbalut pakaian bersih namun wajahnya pucat pasi, keringat dingin masih membasahi pelipisnya. Rambutnya yang masih sedikit lembap menempel di pipi, membuatnya tampak lebih rapuh dari biasanya.

Yash sudah berdiri menunggu di depan pintu, tubuhnya tegap seakan sudah siap menantang dunia luar. Begitu melihat Lira tertatih, ia langsung sigap menahan lengannya, menstabilkan tubuh gadis itu agar tidak jatuh.

“Lira…” suaranya berat, namun terkendali. Tatapannya menelusuri wajah pucat itu, seolah ingin memastikan Lira masih cukup kuat untuk berdiri.

Lira mengangkat wajahnya perlahan, mata beningnya penuh keraguan. Suaranya lirih, nyaris bergetar. “Yash… apa kau yakin bisa menghadapi mereka semua?”

Yash menunduk sedikit, satu tangannya tetap kokoh menopang punggung Lira. Rahangnya mengeras, lalu sebuah senyum tipis namun yakin terbit di wajahnya. “Percayalah padaku, Lira.” Ia menatap tepat ke dalam mata gadis itu. “Aku tidak akan membiarkan siapapun… menyentuhmu.”

Kata-kata itu jatuh seperti sumpah, berat dan tak terbantahkan.

Lira terdiam, hanya mampu menggenggam erat lengan Yash, separuh karena butuh kekuatan, separuh lagi karena janjinya yang membuat dadanya bergetar tak menentu.

Udara malam terasa pekat dan berat ketika Yash menuntun Lira ke tengah ruang utama rumah ilusi. Ia meraih pinggang gadis itu, menahan tubuhnya yang masih limbung.

“Jangan lepaskan peganganmu padaku,” bisiknya rendah namun tegas, matanya menajam. “Peluk aku erat, Lira. Tutup matamu… dan percayakan semuanya padaku.”

Lira menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Perlahan ia mengangguk, lalu kedua lengannya melingkari leher Yash, wajahnya menempel pada bahu pria itu. Tubuhnya gemetar, tapi genggamannya kuat, seolah itu satu-satunya jangkar yang ia punya.

Yash menghela napas panjang, lalu dengan tangan kirinya ia menghunus pedang perak yang sejak tadi menggantung di punggungnya. Cahaya dingin memantul di bilahnya, membuat udara sekitar bergetar halus.

“Bertahanlah,” ucapnya singkat.

Dengan satu ayunan keras, pedang itu menebas ke atas.

CRAACK!

Atap rumah ilusi pecah, retak-retak seperti kaca, lalu runtuh terbuka ke langit malam. Dari celah itu, suara jeritan dan geraman makhluk-makhluk di luar semakin jelas, seakan mencium aroma mangsa.

Yash tidak menunggu sedetik pun. Lengan kirinya tetap menggenggam pinggang Lira dengan erat, sementara sayap-sayap kekuatannya — samar seperti bayangan hitam yang menyala perak di ujungnya — mengepak kuat.

Dalam sekejap, tubuh mereka melesat ke atas, menembus reruntuhan ilusi. Angin malam menghantam wajah Lira yang memejam erat, sementara suara gemuruh sayap Yash berpadu dengan jeritan makhluk-makhluk di bawah.

Lira mencengkeram leher Yash lebih kuat, tubuhnya terhimpit di dada pria itu. Ia tak berani membuka mata, hanya bisa mendengar desis lirih Yash di telinganya, rendah namun penuh kekuatan.

“Pegang aku erat… aku takkan membiarkan mereka menyentuhmu.”

Dan dalam hitungan detik, mereka sudah melesat tinggi menembus kegelapan malam, sementara puluhan makhluk buas berusaha mengejar dari bawah, tapi tak mampu menyentuh bayangan perak yang membawa Lira pergi.

Udara malam terbelah oleh luncuran Yash dan Lira. Sayap kekuatan Yash mengepak kuat, setiap hembusannya meninggalkan kilatan perak di langit hitam. Namun tak butuh lama sampai pekik dan raungan makhluk-makhluk kegelapan membahana dari bawah.

Bayangan-bayangan hitam melesat naik, sayap sobek mereka berkibasan, mata merah menyala menatap penuh lapar. Puluhan, bahkan ratusan, mengepung dari segala arah.

Lira merapatkan wajahnya ke bahu Yash, tubuhnya bergetar hebat. “Mereka… mereka semakin dekat, Yash!”

“Tenanglah,” gumam Yash, nada suaranya dingin namun meyakinkan. “Selama aku masih bernapas, mereka tak akan menyentuhmu.”

Tiba-tiba, dari sisi kanan, dua makhluk berbentuk menyerupai kelelawar raksasa melesat, mengayunkan cakar ke arah Lira. Dalam gerakan cepat, Yash melepaskan satu tangan dari pinggang Lira, pedangnya berkilat.

SLAASH!

Dalam sekejap, kedua makhluk itu terbelah, tubuh mereka meledak menjadi kabut hitam yang langsung menghilang ditiup angin.

Dari belakang, kawanan lain mengejar. Yash berputar di udara, melesat mundur cepat, lalu menebaskan pedangnya dalam lingkaran besar. Cahaya perak memancar, menebas bersih belasan makhluk sekaligus hingga tubuh-tubuh mereka berjatuhan seperti abu.

“Lira, jangan lepaskan aku!” teriaknya, kembali merapatkan gadis itu ke dadanya, lalu menukik cepat menembus kawanan terakhir. Suara pedangnya melengking, setiap tebasan tak memberi kesempatan bagi siapapun yang mencoba mendekat.

Beberapa saat kemudian, suara raungan di belakang mulai mereda, semakin jauh tertinggal. Hembusan angin kini lebih tenang, hanya suara sayap Yash yang masih berdenyut kuat menembus gelap malam.

Lira membuka matanya perlahan, menoleh ke bawah. “Kita… sudah menjauh?” suaranya masih bergetar.

Yash menunduk sekilas, senyumnya tipis. “Kita aman untuk saat ini.”

Tak lama, di depan mereka mulai tampak cahaya temaram, rumah-rumah kayu sederhana yang dikelilingi kabut lembut. Di tengahnya, berdiri satu rumah besar dengan atap khas panggung, lampu minyak menggantung di berandanya.

Begitu kakinya menjejak tanah Pulau Lematang, Yash langsung menurunkan Lira perlahan. Tubuh gadis itu masih limbung, jadi ia tetap menopangnya erat.

Lampu minyak di beranda rumah panggung itu berayun pelan tertiup angin laut. Aroma garam dan bau tanah basah menyambut, begitu khas pulau ini.

Pintu rumah terbuka sebelum Yash sempat mengetuk. Sosok tua dengan rambut memutih, sorot mata tajam namun penuh wibawa, berdiri di ambang pintu.

“Yash… dan kau membawa Lira lagi kemari.” Suara Pak Merta berat, seakan ia sudah menunggu kedatangan mereka. Pandangannya langsung jatuh ke dada Lira yang samar-samar berpendar. Alisnya berkerut.

Lira terhuyung, hampir jatuh, namun Yash sigap meraih pinggangnya. “Dia tidak baik-baik saja, Pak Merta. Cahaya itu semakin kuat… dan hampir menghancurkannya.”

Pak Merta menghela napas panjang, lalu memberi isyarat dengan tangannya. “Bawa dia masuk. Malam ini, penghalang di luar tak akan bertahan lama. Kita harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.”

Yash mengangguk tanpa membantah, lalu mengangkat tubuh Lira ke dalam rumah. Gadis itu hanya bisa terpejam, tubuhnya semakin lemah, sementara cahaya samar dari dadanya makin jelas berdenyut.

Di ruang tengah rumah panggung itu, Yash merebahkan Lira di atas tikar pandan. Keringat dingin membasahi kening gadis itu, napasnya terengah, tubuhnya bergetar hebat seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang berontak.

“Ahh… ughh…” rintihan Lira terdengar lirih, matanya terpejam rapat, jemari tangannya mencengkeram kain tikar hingga nyaris sobek. Cahaya samar dari dadanya berdenyut semakin kuat, membuat wajahnya meringis penuh penderitaan.

Yash menggenggam tangan Lira erat, wajahnya tegang, seakan separuh jiwanya ikut tercabik mendengar rintihan itu. “Lira… bertahanlah. Aku ada di sini.”

Pak Merta duduk bersila di sisi lain, menatap dengan sorot mata serius. Suaranya berat, sarat beban.

“Yash… cahaya itu tidak bisa ditenangkan. Satu-satunya jalan adalah melatih Lira untuk mengendalikannya. Dan sementara itu, kita semua harus bersiap menutup gerbang yang sudah terbuka.”

“Tidak ada cara lain?” Yash menoleh cepat, nada suaranya hampir putus asa.

Pak Merta menggeleng, wajahnya muram. “Tidak ada, Yash. Ini adalah takdirnya… dan kau harus siap mengikhlaskannya.”

“Tidak!” suara Yash pecah, dadanya sesak. Ia menunduk menatap Lira yang tubuhnya terus bergetar, lalu mendekap kepala gadis itu ke dadanya. “Aku… aku tidak siap…”

Lira kembali meringis, tubuhnya melengkung kesakitan. “Akhh… ” suaranya parau, terputus-putus.

Pak Merta menarik napas panjang, menundukkan kepala, lalu berkata dengan lirih tapi mantap.

“Yash… aku tidak ingin mengatakan ini padamu. Tapi kau harus tahu. Dulu, pernah ada seorang Lelepah yang ingin menjadi manusia. Ia melakukan banyak ritual… hingga akhirnya berhasil.”

Mata Yash terbelalak, sorotnya penuh kejutan sekaligus keraguan. “Apa maksudmu…?”

Pak Merta menatapnya lekat, lalu melanjutkan, “Jika kau tak siap berpisah lagi dengannya… maka buatlah dirimu sama dengannya.”

Yash terdiam. Suara rintihan Lira kembali memenuhi ruangan, tubuhnya terus bergetar di pelukan Yash. Jantung Yash berdegup keras, seolah kata-kata Pak Merta menusuk sampai ke tulang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!