Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 30
Halaman 30
Retakan di Bawah Langit Hujan
Hujan turun deras sejak sore, membuat jalanan di kota kecil tempat Nayla tinggal berubah menjadi lautan genangan. Dari jendela kamarnya, ia memandangi tetes air yang terus membentur kaca, menciptakan alunan ritmis yang biasanya menenangkan, tapi kali ini justru terasa menekan.
Sudah tiga hari ia tidak membalas pesan Arka. Bukan karena benci, melainkan karena lelah. Ia butuh ruang, butuh waktu untuk mendengar isi hatinya sendiri. Setiap kali ponselnya bergetar, ia hanya menatap layar lama, melihat nama Arka muncul berulang kali, lalu meletakkannya kembali tanpa jawaban.
Malam itu, ia duduk di meja kerjanya, membuka buku harian. Tangannya gemetar saat menulis:
“Aku mencintainya, tapi apakah cinta cukup untuk membuatku bertahan? Aku ingin dirangkul, ingin ditemani, ingin hadirnya nyata. Tapi yang kudapat hanya suara di telepon dan janji yang tertunda. Sampai kapan, Tuhan? Sampai kapan aku bisa menunggu?”
Air matanya jatuh membasahi halaman buku itu. Ia menutupnya dengan cepat, seolah takut jika isi hatinya terbaca oleh dunia.
Di Jakarta, Arka berlari kecil menembus hujan setelah keluar dari kantor. Pikirannya hanya satu: Nayla. Ia merasa kehilangan arah sejak Nayla tidak membalas pesannya. Malam itu, ia nekat menelepon kembali.
“Nay… tolong angkat, aku butuh dengar suara kamu,” bisiknya sambil menatap layar ponsel yang berdering tanpa jawaban.
Akhirnya, setelah sekian lama, panggilannya diangkat. Suara Nayla terdengar lirih di seberang, seperti habis menangis. “Ka, kenapa kamu maksa banget nelpon? Aku butuh waktu sendiri.”
Arka terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku takut kehilangan kamu, Nay. Aku tahu aku salah. Aku terlalu sibuk sama kerjaan sampai lupa kalau kamu butuh aku hadir. Tapi aku nggak pernah berhenti cinta sama kamu.”
Nayla menghela napas panjang. “Aku tahu kamu cinta sama aku, Ka. Tapi cinta aja nggak cukup. Aku capek, Ka. Aku nggak bisa terus hidup dengan bayanganmu, tanpa hadirmu. Aku butuh lebih dari sekadar janji.”
Arka tercekat. Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia menutup wajah dengan tangan, mencoba menahan tangis. “Jadi… kamu mau kita berhenti?”
Pertanyaan itu menggantung. Nayla terdiam lama, menatap jendela kamarnya yang dipenuhi butiran hujan. “Aku nggak tahu, Ka. Aku hanya tahu, aku lelah.”
Hari-hari berikutnya menjadi semakin berat. Nayla mencoba mengalihkan diri dengan mengajar di sanggar. Ia tersenyum di depan anak-anak, tapi hatinya terasa kosong. Setiap kali melihat pasangan muda berjalan bersama di bawah payung, dadanya serasa ditusuk.
Sementara itu, Arka mulai gelisah di Jakarta. Ia duduk sendirian di kafe dekat kantornya, menatap laptop yang penuh laporan, tapi pikirannya jauh melayang ke kota kecil itu. Ia ingat senyum Nayla, tawa polosnya, cara ia menyebut namanya dengan penuh kasih. Semuanya membuatnya sadar: tanpa Nayla, semua pencapaiannya terasa hampa.
Malam itu, Arka menatap langit Jakarta yang dipenuhi hujan deras. Ia memejamkan mata, lalu berbisik, “Aku harus pulang. Aku harus temui dia, sebelum semuanya terlambat.”
Keesokan harinya, tanpa banyak berpikir, Arka memutuskan mengambil cuti mendadak. Ia membeli tiket kereta malam dan berangkat menuju kota kecil itu. Perjalanan panjang ditemani hujan di luar jendela terasa seperti perjalanan ke dalam hatinya sendiri.
Setibanya di sana, ia langsung menuju rumah Nayla. Hujan masih mengguyur deras, membuat jalanan becek dan licin. Namun, Arka tak peduli. Ia berdiri di depan rumah Nayla, basah kuyup, lalu mengetuk pintu dengan penuh harap.
Nayla membuka pintu dengan wajah terkejut. Rambutnya sedikit berantakan, matanya sembab. “Arka? Kamu ngapain ke sini malam-malam, basah-basahan gini?”
Arka tersenyum getir. “Aku harus ketemu kamu. Aku nggak mau hubungan kita hancur cuma karena aku terlalu bodoh nggak ngerti apa yang kamu butuhin.”
Nayla terdiam, hatinya bergejolak. Melihat Arka berdiri di depannya dalam keadaan basah kuyup membuat perasaannya campur aduk. Marah, rindu, sedih, semuanya bercampur menjadi satu.
“Ayo masuk dulu, kamu bisa sakit,” katanya akhirnya, menarik Arka masuk ke ruang tamu.
Arka duduk dengan tubuh gemetar. Nayla memberikan handuk dan segelas teh hangat. Keheningan memenuhi ruangan itu sampai akhirnya Arka membuka suara.
“Nay, aku tahu aku udah salah. Aku terlalu sibuk ngejar karier sampai lupa kalau cinta butuh kehadiran nyata. Aku janji, mulai sekarang aku bakal berubah. Aku nggak mau kehilangan kamu. Tolong, beri aku kesempatan lagi.”
Air mata Nayla menetes pelan. “Ka, kamu tahu nggak berapa lama aku nunggu kata-kata ini? Berapa banyak malam aku nangis sendiri, berharap kamu datang? Aku cinta kamu, Ka, tapi aku nggak tahu apakah aku masih sanggup percaya sama janji-janji itu.”
Arka mendekat, menggenggam tangannya erat. “Bukan janji lagi, Nay. Aku buktiin. Aku siap pulang, ninggalin kerjaan kalau itu yang harus aku lakukan. Aku lebih butuh kamu daripada semua yang aku kejar di Jakarta.”
Nayla menatap matanya lama, mencoba mencari kejujuran di balik ucapannya. Yang ia lihat hanyalah ketulusan dan ketakutan kehilangan.
“Ka… jangan pernah bilang sesuatu kalau kamu nggak yakin bisa lakuin,” katanya pelan.
“Aku yakin, Nay. Demi kamu, aku rela mulai dari nol lagi di sini.”
Keheningan kembali menyelimuti. Di luar, hujan semakin deras, seolah ikut menjadi saksi pertemuan itu.
Nayla akhirnya berkata lirih, “Aku nggak mau kehilangan kamu juga, Ka. Tapi aku juga nggak mau terus jadi pilihan kedua setelah pekerjaanmu. Kalau kamu bener-bener siap, aku akan percaya lagi. Tapi tolong… jangan sakiti aku lagi.”
Arka menariknya ke dalam pelukan erat. “Aku janji, Nay. Aku nggak akan sakiti kamu lagi. Kita mulai lagi dari awal, di bawah hujan ini.”
Pelukan itu terasa hangat meski tubuh mereka masih basah kuyup. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nayla merasakan sedikit kelegaan di dadanya.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu perjalanan mereka masih panjang. Cinta itu nyata, tapi ujian belum berakhir.
Malam itu, saat mereka duduk berdampingan di ruang tamu, hujan masih terus turun di luar, menuliskan kisah baru di antara mereka: kisah tentang retakan yang nyaris menghancurkan, tapi juga tentang keberanian untuk memperbaiki.