Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, membelai lembut wajah Qilla yang masih terlelap. Gadis itu mengerjapkan matanya pelan, lalu menarik napas panjang, merasakan udara segar yang memenuhi paru-parunya. Rasa segar menggantikan letih yang semalam menyelimutinya, membuatnya merasa ringan dan nyaman.
Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa dia tak sedang berada di kamarnya sendiri. Pandangannya menyapu ruangan asing namun hangat. Rapi, tenang, dan nyaman. Dekorasi yang menunjukkan selera Brian yang maskulin.
Qilla menunduk, menatap tubuhnya yang masih dibalut kaus hitam kebesaran yang nyaris menutupi lututnya. Wajahnya seketika memanas saat dia menyadari itu kaus milik Brian. Qilla menggigit bibirnya gugup.
Dengan langkah pelan, Qilla membuka pintu kamar sedikit, lalu melangkah keluar mengikuti aroma harum yang menyeruak dari arah dapur yang membuat perutnya bergemuruh.
Di ruang tengah, Qilla melihat Brian berdiri di depan meja dapur. Rambut pria itu sedikit acak-acakan, kaus putih dan celana training abu-abu yang Brian kenakan memberi kesan santai, namun entah bagaimana justru membuat Qilla gugup bukan main.
Pria itu menoleh dan tersenyum begitu melihat Qilla berdiri di ambang pintu.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara serak khas orang baru bangun.
Qilla mengangguk pelan. “Pa-pagi…”
“Mau kopi? Atau susu?” tawar Brian sambil mengangkat gelas di tangannya dengan gerakan yang santai.
“Susu aja,” jawab Qilla cepat, menunduk malu.
Brian tertawa kecil, lalu membalikkan badan untuk menuangkan susu ke dalam gelas.
Qilla berjalan dan duduk di ujung sofa, memeluk lututnya pelan, mencoba menutupi bagian bawah tubuhnya yang hanya tertutup celana pendek milik Brian.
Beberapa menit kemudian, Brian datang dengan dua cangkir di tangannya, pria itu meletakkan susu di meja depan Qilla, lalu duduk di samping gadis itu. Cukup dekat untuk membuat jantung Qilla berdetak sedikit lebih cepat.
Keheningan sempat menyelimuti mereka, hanya suara pelan seruputan kopi yang terdengar dan detak jantung Qilla yang terasa semakin cepat.
Brian melirik ke arah Qilla dan tersenyum kecil. "Ternyata kamu kalau bangun tidur… imut juga."
Qilla langsung terbatuk pelan. Gelas susunya hampir jatuh dari tangannya. Wajahnya merona hebat.
"Jangan bercanda, kak," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Brian terkekeh. "Aku tidak bercanda,” ujar Brian, matanya menatap Qilla dengan pandangan jauh lebih lembut dari biasanya. “Dan kamu tidak perlu segugup itu. Biasakan dirimu ya? Soalnya setelah kita menikah nanti, kamu akan tinggal di apartemen ini bersamaku.”
Deg.
Qilla menunduk, menggigit bibir bawahnya, ragu untuk menanggapi. Tapi perlahan, dia mengangguk kecil. “Iya, Kak.”
Senyum tipis menghiasi wajah Brian. Pria itu mengusap pelan rambut Qilla, gerakannya hangat dan penuh cinta.
Dalam hati, Brian berbisik. "Aku akan belajar jadi suami yang baik untukmu, meskipun saat ini... kamu belum bisa mencintaiku."
Setelah menyesap susu hangatnya, Qilla mulai merasa lebih rileks. Suasana canggung tadi perlahan mencair.
Matanya melirik ke arah dapur yang bersih dan tertata, nyari tanpa noda. Sebuah ide kecil terlintas di benaknya.
"Masak ah. Sekalian ngebales kebaikan Kak Brian yang udah jagain aku semalaman."
Qilla melirik sekilas ke arah Brian yang tengah duduk santai di sofa. Pelan-pelan, gadis itu bangkit dan melangkah ke dapur dan mulai membuka lemari serta kulkas. Beberapa bahan sederhana tersedia: telur, nasi dingin, daging, dan sedikit sayuran cukup untuk membuat sesuatu yang sederhana.
“Nasi goreng, kayaknya cukup,” gumamnya kecil sambil mulai menyiapkan semuanya.
Dengan hati-hati, Qilla mengiris bawang, menumis, dan mencampurkan bahan seadanya. Aroma harum masakan mulai menyebar ke seluruh ruangan. Brian yang awalnya tidak memperhatikan, tiba-tiba menoleh begitu mencium bau aroma gurih yang menggoda.
"Sayang, kamu masak?" tanyanya sambil bangkit dan berjalan mendekat.
Qilla hampir terlonjak, terkejut oleh suara Brian yang tiba-tiba dan sebutan sayang yang membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Wajahnya memerah seketika, merasa sedikit tersentuh oleh perhatian Brian.
"I-iya... cuma nasi goreng biasa aja," jawabnya gugup, tanpa berani menatap langsung ke arah Brian.
Brian terkekeh melihat kegugupan Qilla, lalu bersandar santai di dinding, matanya tak lepas dari Qilla yang sibuk mengaduk nasi dengan gerakan yang sedikit gemetar.
"No need to be so nervous, darling. You always manage to make me fall more and more in love with you," ucapnya dengan nada yang lembut dan penuh perasaan, membuat Qilla merasa seperti sedang berada di dalam mimpi.
Qilla nyaris menjatuhkan sendok penggorengan karena ucapan itu, pipi dan telinganya langsung berubah merah seperti terbakar.
"Masa sih aku mulai suka sama Kak Brian? Enggak mungkin kan?" batinnya gelisah, mencoba untuk menolak perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya, tapi hatinya sepertinya sudah mulai berbicara lain. Qilla merasa seperti sedang berada di persimpangan, tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan yang mulai tumbuh ini.
Setelah selesai, Qilla menata dua piring nasi goreng di meja makan dengan tangan yang sedikit gemetar, berusaha untuk menyembunyikan kegugupannya.
Qilla menoleh malu-malu ke arah Brian, senyum kecil menghiasi wajahnya.
"Kak... Ayo makan," ajaknya dengan suara yang lembut dan penuh harap, berharap Brian akan menyukai masakannya. Brian tersenyum dan bangkit dari tempatnya, berjalan mendekati Qilla dengan langkah yang santai dan duduk di depan gadis itu.
Begitu nasi goreng buatan Qilla menyentuh lidahnya, Brian langsung mengangkat alis terkejut, ekspresi wajahnya berubah menjadi takjub.
"Enak," komentarnya singkat tapi tulus, membuat Qilla merasa bangga dan lega.
Qilla tersenyum, lalu ikut menyantap makanannya pelan-pelan, sesekali dia mencuri pandang ke arah Brian yang tampak menikmati masakannya dengan sangat puas.
"Kalau dilihat-lihat, Kak Brian ini tampan juga ya," batin Qilla terpesona dengan ketampanan Brian, mata yang tajam, hidung yang mancung, dan senyum yang menawan.
Beberapa detik kemudian, dia tersadar dari terpesonanya dan merasa sedikit malu. "Ih, aku ngomong apa sih," batin Qilla lagi sambil menggelengkan kepalanya pelan, mencoba untuk menghilangkan pikiran yang tidak perlu. Qilla kembali fokus pada makanannya, tapi pandangannya masih sering tertuju pada Brian yang duduk di depannya.
Brian sadar bahwa Qilla memperhatikannya, mata pria itu langsung menatap mata Qilla, membuat gadis itu salah tingkah sendiri karena ketahuan.
Qilla merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat mata mereka bertemu, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Brian terkekeh geli melihat tingkah Qilla yang sangat menggemaskan itu, suaranya yang hangat membuat Qilla merasa sedikit lebih nyaman.
"Ada apa, hm?" tanya Brian dengan nada yang menggoda, membuat jantung Qilla ingin melompat keluar.
Qilla menyentuh teguknya, berusaha untuk tetap bersikap biasa saja, tapi wajahnya sudah memerah. "Umm, nggak apa-apa kok," ucap Qilla sambil tersenyum kikuk, mencoba untuk mengalihkan perhatian.
Brian tersenyum, lalu mengusap lembut rambut Qilla, gerakan yang lembut dan penuh kasih membuat Qilla merasa seperti sedang berada di dalam pelukan yang hangat.
"Aku mencintaimu, sayang. Jadilah wanitaku satu-satunya, dan aku mohon, belajarlah untuk mencintaiku juga," bisiknya lembut, suara yang penuh perasaan membuat Qilla merasa dicintai.
Qilla tak sanggup membalas tatapan itu, dia hanya menunduk, mengangguk pelan sambil menggenggam erat sendoknya.
Senyum malu tersungging di wajahnya, dan dia merasa seperti sedang berada di dalam mimpi yang indah. Dalam hati, Qilla berharap bahwa cinta Brian ini akan selalu ada dan tidak akan pernah berubah.