Devandra pernah menjadi bagian dari kisah masa lalu Audrey. Pernah menjadi bahagia dan sedih hidupnya. Pernah menjadi luka yang sampai saat ini masih membekas.
Audrey sedang berusaha mengobati lukanya, menghilangkan sakitnya. Tapi disaat itu pula Devan hadir kembali.
Apakah Audrey akan menghilang kembali atau menghadapi lukanya agar ia tak lagi mengingat Devandra dihidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Audrey terbangun saat Devan menepuk bahunya pelan. Akhirnya Audrey benar-benar tertidur di perjalanan. Audrey memperhatikan sekelilingnya dan benar mereka sudah sampai di rumah sakit.
"Maaf membangunkanmu, kita turun dulu ya. Aku masih ada pekerjaan lain," ucap Devan sambil tersenyum. Audrey mengangguk dan keduanya turun. Mereka berjalan dikoridor dan sampai di ruangan yang dimaksud.
Devan mengetuk pintu dan seseorang membukakan pintu. Ternyata Ryo dan yang lainnya sudah sampai lebih dulu. Keduanya melangkah masuk dan mendekati ranjang pasien.
Audrey tak percaya dengan penglihatannya. Yang terbaring di ranjang itu adalah Hani. Salah satu sahabat Naira. Orang yang paling ingin ia jauhi selain Devan.
"Hai... Ternyata model yang kerja sama dengan kantorku teman sekolahku. Gimana keadaan kamu?" tanya Devan.
"Sakit... Maaf... Tidak... Bisa... Kerja," ucap Hani pelan, dia belum bisa bicara banyak. Mulut dan hidungnya dibantu alat. Kakinya terbalut.
"Jangan dipikirkan. Yang penting kamu sehat dulu," ucap Devan.
"Terima... Kasih," ucapnya pelan. Devan mengangguk.
"Gimana kata dokter?" tanya Devan.
"Dia akan dioperasi. Kakinya patah. Tangan dan kakinya juga ada luka," ucap salah satu kru yang ikut pemotretan. Mereka asik berbicara. Sementara itu Audrey mendekat ke ranjang.
"Hani... Semoga lekas sembuh," ucap Audrey. Hani membelalakkan matanya. Tak percaya dengan penglihatannya. Orang yang datang bersama Devan adalah musuh Naira. Dia juga kaget dengan perubahan yang ada didiri Audrey.
Tidak ada tanggapan dari Hani. Audrey hanya diam dan perlahan mundur dari sana. Ia melihat kru sudah menyiapkan buah tangan untuk Hani atas nama kantor dan juga dari Devan pribadi.
"Kamu model yang menggantikan Hani?" tanya seorang perempuan.
"Eh iya," jawab Audrey kaku, ia melirik Hani yang sempat melotot. Sepertinya Hani belum tahu kalau Audrey menggantikannya secara mendadak.
"Boleh kita bicara sebentar di luar?" tanya wanita itu, Audrey mengangguk dan mengikutinya berjalan keluar. Mereka duduk di bangku koridor.
"Kenalkan namaku Silvy, aku sekertarisnya pak Devan. Kami mau mengajukan kontrak untuk kamu sebagai model. Ini berkasnya kalau kamu berminat bisa tanda tangan di belakang sini," ia menunjuk bagian yang dimaksud.
Audrey membaca sekilas kontrak yang diberikan. Lalu menutupnya. Ia tak perlu berpikir lagi tentang kontrak ini. Apalagi mempertimbangkannya.
"Maaf mbak Silvy, saya menolak. Dunia saya bukan dimodeling. Saya belum berpengalaman. Hari ini hanya kebetulan saya menggantikan Hani," ucap Audrey.
"Oke, saya mengerti. Tapi kalau berubah pikiran, hubungi kami," ucap Silvy. Audrey mengangguk dan berterimakasih. Keduanya berjalan kembali ke ruangan Hani, Audrey ingin melihat apakah Devan sudah selesai atau belum. Dia akan pamit dan ingin segera pulang.
"Nyari Devan?" tanya Ryo yang menunggui Hani di ruangan itu.
"Iya, aku mau pamit pulang," ucap Audrey.
"Devan tadi titip pesan, kamu disuruh tunggu dia selesai. Dia msih di ruangan dokter," ucap Ryo.
"Tapi..."
"Sudah, kita duduk dulu yuk!" ajak Silvy.
Tak lama pintu terbuka Audrey kira itu Devan. Ia sudah nyaris berdiri saat seseorang masuk dengan tergesa.
"Hani! aku baru bisa datang, gimana keadaan kamu?" tanya wanita berambut lurus yang baru saja masuk. Hani menjawab pelan. Lalu wanita itu berbalik dan melihat beberapa orang di sana.
"Ryo... Apa kabar? Gimana Hani?" tanyanya.
"Baik... mungkin sore ini dia akan di operasi.," jawab Ryo. Dia adalah Naira teman dekat Hani. Sesaat ia melihat ada Audrey di sana seketika wajah sinisnya terlihat. Naira duduk di samping ranjang Hani.
"Kata dokter tidak apa-apa, jangan terlalu cemas," ucap Ryo menenangkan. Hani hanya mengangguk pelan.
"Permisi... Aku mencari Audrey!" tiba-tiba Devan masuk. Rasanya Audrey ingin menghilang ke dalam tanah. Waktunya sangat tidak pas. Kenapa Devan masuk saat sudah ada Naira.
"Devan?" Naira langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri Devan.
"Nai..? Kok bisa di sini?" tanya Devan.
"Tadi ada yang mengabari kecelakaan Hani, terus aku kesini. Gimana kata dokter?" tanyanya.
"Tidak apa-apa, Hani akan dioperasi sore ini. Semua administrasi sudah selesai. Hanya tinggal menunggu," ucap Devan.
"Syukurlah kalau begitu.. " Naira menghela napas. Naira menggandeng lengan Devan dan membawanya masuk. Audrey membuang pandangannya untuk tak melihat adegan apapun di depan matanya.
"Kamu sudah makan?" tanya Naira.
"Sudah tadi. Aku mau kembali ke kantor. Drey ayo!" ajaknya.
"Apa dia ikut dengan kamu?" tanya Naira menunjuk Audrey.
"Iya, dia menggantikan Hani jadi model. Itu juga dadakan. Aku harus antar dia balik," ucap Devan.
"Nggak harus kamu dan lagian dari sini ke rumah kamu sudah banyak angkutan. Kenapa? Masih mengharap Devan?" tanya Naira.
"Nggak, kamu salah paham. Aku..."
"Pergi!" Naira mengusir Audrey. Tapi Audrey bergeming. Dia harus meluruskan kesalahpahaman ini.
"Nai, maaf aku..."
"Pergi!" Naira kalap, ia mendorong Audrey sampai hampir terjatuh. Untung Audrey sigap berpegangan pada sofa. Belum sempat Audrey berdiri, Naira sudah menjambak rambutnya.
"Naira! Sakit!" ucap Audrey memegangi rambutnya.
"Nai, udah..." ucap Ryo.
"Nai! Lepasin tangan kamu!" bahkan Devan sedikit berteriak.
"Ini rumah sakit, sebaiknya jangan buat keributan!" ucap Ryo. Naira akhirnya melepaskan tangannya dari rambut Audrey sambil sedikit mendorongnya. Audrey nyaris jatuh menimpa Ryo, untunglah Ryo membantunya menahan.
"Kamu apa-apaan sih Nai?" Devan memarahi Naira.
"Kamu yang apa-apaan! Masih berharap dengan dia? Iya?" ucap Naira menantang Devan.
"Kamu tuh ya selalu membuat kesimpulan sendiri dari dulu. Kamu selalu benar dan semua orang dimata kamu selalu salah!" ucao Devan.
"Kan memang benar, lihat kan gimana hubungan kita akhirnya, semua gara-gara dia!" Naira menunjuk Audrey.
"Itu bukan kesalahan dia! Aku juga salah Nai. Dan semua itu sudah jadi kisah lalu. Kenapa harus diungkit?" ucap Devan.
"Kamu masih berharap dengan dia? Iya? Kamu bela dia terus. Pernah nggak sih kamu liat aku. Aku korban di sini!" ucap Naira.
"Jangan selalu mengaku korban kalau sakit itu kamu yang ciptakan!" ucap Devan.
"Memang ya, sejak kamu kenal dia aku selalu salah dimata kamu. Sebelum kenal dia, kamu nggak gitu," ucap Naira.
"Udahlah, itu masa lalu Nai. Aku berubah juga bukan salah dia. Stop menyalahkan orang lain," ucap Devan.
"Kalau kalian mau bertengkar di luar aja," ucap Ryo.
"Drey! Ayo pulang!" Devan menarik tangan Audrey.
"Tapi..." Audrey akan protes tapi Devan dengan cepat menariknya keluar.
"Devan! Devan!" panggil Naira. Tapi Devan tak menggubrisnya. Devan dengan langkah cepat berjalan keluar sehingga Audrey kesusahan mengikutinya.
"Van! Lepas!" Audrey berusaha melepaskan cengkeraman tangan Devan di pergelangannya yang kini terasa sakit.
"Devan! Lepas!" Audrey masih berusaha melepaskan. Tapi Devan seolah tak mendengar apapun. Ia berjalan dengan pasti ke parkiran. Sampai di sana ia membuka pintu dan menyuruh Audrey masuk ke mobil.
"Nggak!" jawab Audrey keras.
"Masuk!" perintah Devan.
"Aku nggak mau!" bantah Audrey. Devan sedikit memaksa dan...
*bersambung
Maaf, sekian lama vakum nulis. Semoga suka dengan cerita yang ini. Janji deh rutin up terus. Biar aku semangat kasih like, komen atau vote yah, biar aku makin semangat.😊