Demi bisa mendekati cinta sejatinya yang bereinkarnasi menjadi gadis SMA. Albert Stuart rela bertransmigrasi ke tubuh remaja SMA yang nakal juga playboy yang bernama Darrel Washington.
Namun usaha mendekati gadis itu terhalang masa lalu Darrel yang memiliki banyak pacar. Gadis itu bernama Nilam Renjana (Nilam), gadis berparas cantik dan beraroma melati juga rempah. Albert kerap mendapati Nilam diikuti dua sosok aneh yang menjadi penjaga juga penghalang baginya.
Siapakah Nilam yang sebenarnya, siapa yang menjaga Nilam dengan begitu ketat?
Apakah di kehidupannya yang sekarang Albert bisa bersatu dengan Cinta sejatinya. ikuti kisah Darrel dan Nilam Renjana terus ya...
Novel ini mengandung unsur mitos, komedi dan obrolan dewasa (Dimohon untuk bijak dalam membaca)
Cerita di novel ini hanya fiksi jika ada kesamaan nama dan tempat, murni dari kreativitas penulis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Kesenjangan Jaman
Pemakaman keenam pelajar banyak dihadiri pelayat untuk mengantarkan mereka ke tempat peristirahatan terakhir. Keluarga, kerabat, sahabat, rekanan keluarga, para guru dan rekan-rekan siswa.
Kesedihan semakin kental memenuhi udara pemakaman.
Tangisan dan raungan kembali menyala saat jenazah tersebut di masukkan ke liang lahat. Albert menatap ke enam rekannya di balik kaca mata hitamnya tanpa ekspresi, tidak ada airmata, tidak ada kesedihan di manik matanya.
Beberapa keluarga korban yang tahu kalau Darrel adalah ketua Genk, mereka menuding Darrel dan mencaci makinya. Mana dia perduli, karena yang sebenarnya Darrel sudah mati, jasadnya kini di gerakan dan di tunggangi Albert sang pangeran vampire.
"Rel, ayo kita pulang. Papa khawatir orang akan semakin agresif padamu." bujuk Sutana.
"Aku akan beri mereka semua kompensasi." desisnya dengan nada datar.
"Apa?!" Sutana terperanjat atas usul anaknya. "Heh, anak bodoh! Kamu pikir, kamu yang berhak menentukan langkah selanjutnya? Gara-gara kamu papa tidak ke kantor dan kehilangan lima Mega proyek karena harus mengurus kamu sejak kemarin. Mulai saat ini kartu debit kamu papa bekukan dan kamu hanya di beri uang jajan sekedarnya!" ancam Sutana lalu meninggalkan putranya sendiri.
Albert yang ada di tubuh Darrel belum mengetahui bagaimana. Kekuatan uang di dunia manusia begitu penting. Dia tetap berdiri di sana menatap berbagai hal yang tidak ia mengerti.
Malam pun tiba, Darrel masih berdiri di bawah tenda pemakaman. Para makhluk astral memulai aktifitasnya, para pedagang dari bangsa jin dan setan menggelar jajanannya. Darrel tertarik, ia mengelilingi satu persatu booth makanan yang di pasang di area pemakaman.
"Rel! Lu gak pulang? Nanti orang tua lu nyariin." Arwah Tino mengikuti langkah Darrel.
"Pulang? Kemana, aku bisa hidup di mana saja." ucapnya polos.
"Ke rumah Lo lah, lo tuh anak orang kaya... Setiap saat lu di pantau anak buah bokap lu." Tono masih terus mengikuti Darrel.
Seorang wanita bergelantungan di sebuah pohon sambil menimang anaknya, ia menyanyikan kidung penghantar tidur. Wanita itu menatap tajam ke arah dua pemuda itu. Tino menggigil ketakutan. Ia memegang lengan Darrel dengan erat.
Tino bisa memegang lengan Darrel? Ya, hanya Darrel yang bisa disentuh, dipegang para arwah dan bisa mendengar obrolan mereka.
"Rel, lu gak takut jalan-jalan di sini. Isinya setan semua Rel!" bisik Tino.
"Kamu kan bagian dari mereka." jawab Darrel tenang.
"Lah iya jugak ya, ngapain gue takut!" Tino berhenti berjalan lalu menegakkan tubuhnya sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal.
Seorang anak kecil berkepala botak dengan ingus yang mengalir sampai di perutnya yang buncit, berusaha menakut-nakuti Darrel. Ia menggelitik kaki Darrel dan mencakar-cakar tanah hingga terdengar seperti orang yang sedang menyapu halaman.
Darrel hanya meliriknya lalu tersenyum. "Minimal ingus mu di lap dulu kalau minta di gendong." jawab Darrel tenang tanpa ekspresi.
Makhluk yang terkenal dengan sebutan tuyul itu kena mental, ia membuat tubuhnya membulat lalu menggelinding di depan Darrel.
Suara tangisan begitu memilukan terdengar dari blok lain, gadis itu baru saja datang membawakan air mawar dan bunga tujuh rupa. Darrel dan Tino menghentikan langkah kakinya saat melihat gadis itu sedang memeluk nisan yang terbuat dari kayu.
"Papa... Apa yang harus Nilam lakukan. Mama masih di ICU, Rose selalu ngamuk di rumah sakit. Nilam capek pah, kenapa papa tidak ajak Nilam ikut papa ke syurga." suara Nilam bercampur Isak terdengar di telinga Darrel.
"Gadis itu... " gumam Darrel.
"Nilam!" pekik Tino.
Darrel dan Tino saling pandang. Mereka saling tatap seperti sedang berada di atas ring tinju, saling menunggu siapa yang lebih dulu melancarkan pukulan. Mereka memang rival untuk mendapatkan perhatian dan hati Nilam.
"Hai gadis!" sapa Darrel mendekati Nilam.
"Ka—kamu... Bukannya sudah mati?!" pekik Nilam.
"Lihatlah aku masih berdiri di sini." Darrel menunjuk kakinya yang menapak di tanah. Nilam memperhatikan Darrel dari atas hingga ke bawah.
"Gue juga mikirnya begitu Nilam, padahal dia udah terkapar di kamar jenazah kemarin. Kenapa dia bisa hidup lagi sih, dunia ini gak adil buat gue!" sesal Tino. Tentu saja ucapannya tidak bisa di dengar Nilam.
"Boleh aku temani?" bujuk Darrel.
"Gak usah! Lebih baik kamu pergi dari sini." tolak Nilam.
"Di sini banyak hantunya, gadis cantik. Biarlah aku menemanimu di sini." ucap Darrel
Tino melongo melihat sikap Darrel. "Kata-kata Lo baku banget sih Rel... Ada apa dengan Lo, Nyet?!" tanyanya kesal.
Tanpa menoleh Darrel melirik Tino dengan tatapan sinis.
Kedua pemuda itu hanya bisa terdiam mendengarkan jeritan hati Nilam di depan makam papanya. Meskipun mamanya dan Rose selalu mengatakan kalau Nilam anak pungut, Nilam anak Wewe gombel, yang Nilam tahu Rangga adalah ayah terbaik dan selalu menjaga dan membantunya.
Dari sisi lain pemakaman, seseorang juga sedang memperhatikan Nilam, ia memakai pakaian kerajaan Padjadjaran, wajahnya sangat mirip dengan dokter muda yang kemarin membantu Nilam di rumah sakit.
"Putri Nilam Renjana, lelaki itu tidak pantas kau tangisi, nduk. Dia sudah berniat memperkosa kamu malam itu. Dia pantas mendapatkan hukuman atas kejahatannya karena telah melanggar janji." ucap Raden Jaya Wisesa yang masih keturunan Sahyang Asta dewa.
Albert yang bersemayam di tubuh Darrel bisa merasakan entitas lain yang sedang menguntit gadis incarannya. Matanya tajam menghunus sosok pria yang berdiri di sebelah Utara.
Ia ingin melesat ke arah sana lalu mencekik pria yang berani menatap Nilam, namun tubuhnya kini lebih berat, ia tidak bisa melayang dan bertindak cepat seperti biasanya.
"Ah, Sial! Tubuh lemah ini tidak bisa terbang!" gumamnya dengan wajah garang.
Nilam berdiri setelah membacakan doa untuk papanya dan ia menyirami tanah kuburan Rangga dengan air mawar. "Papa Nilam pamit, besok Nilam ke sini lagi."
Nilam mengayun kakinya dengan langkah gontai, seakan tidak rela membiarkan papanya tertidur di sana.
"Gadis cantik kamu mau kemana?" tanya Darrel.
Nilam nyaris melompat saking kagetnya, "Darrel kamu ngapain sih masih di sini?!" ketus Nilam.
"Nungguin kamu lah, masa nungguin Tino." Darrel melirik Tino, sontak pemuda itu melotot ke arahnya.
Nilam tetap berjalan dan mengabaikan Darrel, cowo yang selalu bikin onar di sekolahnya. Ia menunggu di halte trans jakarta untuk kembali ke rumah sakit.
"Mas... Mas tap kartu TJ nya!" tegur pengemudi bus.
Darrel celingak-celinguk memastikan siapa yang di tegur pengemudi bus. Lalu menunjuk dadanya dengan wajah bingung.
"Iya kamu! Kamu belum tap kartu." tegur pengemudi.
Nilam yang sudah duduk nyaman, akhirnya berdiri lagi untuk membantu Darrel menempelkan kartu langganan angkutan umum miliknya. "Maaf pak teman saya ini belum pernah naik angkutan umum." Nilam melirik Darrel dengan sinis.
Mereka duduk berdampingan. "Tadi kartu apa yang kamu tempelkan di alat itu?" tanya Darrel memperhatikan lanyard yang menggantung di leher Nilam.
"Ini namanya kartu Jaklingko, tapi bayar pakai Qris, E-money card juga bisa kok. Lain hal kalau kartu yang kamu punya black card international sepertinya belum bisa." jawab Nilam dengan wajah ketus.
Darrel berusaha mencerca penjelasan Nilam, namun otaknya tidak sampai mengurai penjelasan itu; Kesenjangan jaman terjadi.
"Aku pesan satu masing-masing kartu yang kamu sebutkan tadi." jawab Darrel. Nilam menatap Darrel dengan aneh, bola matanya memutar malas.
"Darrel, kamu punya orangtua kan, minta sama orangtua kamu." sinis Nilam, gadis itu langsung membuang muka dan menatap jauh keluar jendela bus.
"Kamu tahu rumahku?" tanya Darrel dengan wajah polos, Nilam mengernyitkan keningnya.
"Kamu gegar otak ya? Sejak kapan aku tahu rumah kamu. Kita tidak sedekat itu Darrel sampai aku harus tahu rumah kamu dimana." ketus Nilam lagi.
"Ya sudah kalau gitu aku akan ngikuti kamu terus." jawab Darrel santai sambil menyandarkan kepalanya di bahu Nilam.
"Ihh.. anak ini!" Nilam mendorong kepala Darrel dengan jari telunjuknya.
"Rel, kamu beneran lupa alamat rumahmu?" Nilam menatap wajah Darrel dengan seksama, ia memperhatikan kepala Darrel yang waktu itu ia lihat terbelah kena sabetan Sajam. Darrel mengangguk polos.
Tangan Nilam terulur meraba dahi dan kepala Darrel mencari letak jahitan. Darrel menutup matanya merasakan setiap sentuhan ujung jemari Nilam. 'Aromamu sangat memabukkan, aroma rempah dan wewangian.' gumam Darrel di dalam hatinya.
B e r s a m b u n g...
Mohon dukungan like, komen dan subscribenya gaess... Terima gaji... Eh salah, terima kasih 💝🩷
aku yang polos ini... pengen ngintip dikit 🙈🤭
malah nyanyi... gw 🙈
😵