Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 7
Hari sudah berganti siang, udara panas menyengat kulit. Sekolah berakhir sekitar pukul dua siang. Naira melajukan roda duanya untuk segera pulang. Menggunakan motor matic satu-satunya yang digunakan untuk mengantar-jemput sang mama bekerja, Naira membelokkan ke jalan utama. Baru saja beberapa meter dari sekolah, motor lain menghadangnya dari samping sehingga memaksa Naira menghentikan lajunya seketika.
Beberapa pelajar tampak turun dari sana mengenakan jaket kulit, jeans, dan hoodie. Tak lupa masker yang menutupi sebagian wajah membuat Naira kesulitan mengenali mereka.
"Siapa lo?" Naira berontak ketika salah seorang dari mereka menariknya dari motor. Beruntung dia sempat menurunkan standar samping sehingga motor satu-satunya tak sampai oleng.
Tiada yang mau menjawab pertanyaannya. Mereka hanya bungkam seraya salah satu di antaranya menarik tangan Naira agar segera turun dari motor.
"Jangan kasar!"
Naira berusaha mengempaskan tangan yang menariknya. Namun, hal itu rupanya tak berguna
karena tenaganya sama sekali tak sebanding dengan tenaga mereka.
"Turuti kami kalau lo enggak mau motor buntut ini tingal bangkainya!" Mata Naira membeliak seketika. Itu adalah motor satu-satunya. Dia dan mamanya tak bisa ke mana-mana andai motor itu tiada.
"Okey! Gue nurut. Jangan apa-apain motor gue!"
"Good, Girl!"
Naira digiring ke suatu tempat sepi. Gadis berseragam itu tidak menyangka jika sejak tadi ada yang membuntuti kemudian menghentikannya saat melewati lahan gedung tua. Tubunya mendadak merinding ketika melihat rumput-rumput liar tumbuh dengan lebat, dan tanaman semak merambat mecapai hampir keseluruhan permukaan gedung tua itu. Dia masih tetap berjalan mengikuti tangan yang sejak tadi menariknya.
"Gue mau dibawa ke mana?"
Naira merasa tak tahan, sekali lagi mencoba berontak dari cekalan pria itu. Dari model rambut dan postur tubuh, Naira mengetahui jika meraka
ada dua pria dan satu wanita.
"Lepasin! Sakit tahu."
Akhirnya cekalan itu terlepas. Gadis berambut panjang dengan dikuncir keseluruhan mengusap
lengannya bekas cengkeraman cowok itu.
Perempuan yang sejak tadi menjadi perhatian Naira akhirnya membuka masker, memperlihatkan wajahnya secara keseluruhan. Detik itu juga bibir Naira ternganga menyadari siapa pelaku yang sejak tadi menyeretnya ke tempat seperti ini.
"Thalita?" Wajah syok Naira hanya ditanggapi dengan senyum Sinis Thalita. Dia bersedekap dada, berjalan memutar melihat penampilan Naira yang dianggap kampungan.
"Gue tahu lo suka caper sama Artha. Iya, kan? Ngaku aja deh lo!" Thalita langsung saja nyerocos, tak peduli apa yang dituduhkan itu bener atau salah.
"Maksud lo apa? Gue nggak ngerti!"
"Nggak usah berlagak bego deh lo. Apa yang mau lo banggain dari hidup lo? Otak kosong, miskin, atau muka? Jangan sok kecakepan, ya! Lo jauh dari kriteria Artha."
Naira menghela napas. Dia baru menyadari jika Thalita menyukai Artha.
"Kalau lo emang suka sama Artha, ngapain lo repot-repot nyulik gue kek gini. Jika lo emang jauh lebih segalanya dari gue, seharusnya lo nggak perlu takut kesaingan sama gue. Sikap lo yang kek gini itu ngebuktiin di mana posisi lo sebenernya."
"Apa lo bilang?" Suara Thalita meninggi, tak menyangka jika Naira bisa bicara membalikkan kata. Tangannya terasa gatal langsung menarik rambut Naira.
"Lo tuh cewek kere. Nggak usah sok caper sama Artha. Dia nggak selevel sama lo! Nggak usah ngimpi buat jadian sama Artha."
“Lepasin!" Naira berusaha berontak, menarik tangan Thalita yang sudah membuat kepalanya kesakitan. Namun, dua orang cowok menahan tangannya, menarik ke belakang.
"Gila! Kalian main keroyokan?" Mata Naira melebar ketika melihat gunting di tangan Thalita. Bibir Thalita tersenyum menyadarkan Naira jika dirinya sedang dalam bahaya.
"Lo mau apa, Lit?" tanya Naira sembari berusaha melepaskan cekalan di tangannya. Jangan sampai Thalita melakukan hal yang bisa merugikannya.
"Jangan apa-apain rok gue! Ini rok abu-abu satu-satunya!" Naira menegaskan dengan berteriak.
Thalita terkekeh, menggerak-gerakkan gunting di tangan. Melihat Naira ketakutan, seringai di bibirnya semakin terlihat mengerikan. Mengangkat bagian bawah rok Naira, Thalita mengguntingnya tidak beraturan. Menyobek dengan zigzag dan membiarkan sobekannya menjuntai layaknya orang gila.
"Lo gila, Lit!" Air mata Naira menetes di kedua pipi. Dia tidak menyangka Naira bisa berbuat
serendah itu.
"Gue nggak akan maafin lo!"
"Gue nggak butuh maaf dari lo!" Thalita berkata dengan arogan.
"Ini peringatan buat lo! Sekali lagi lo keganjenan deketin Artha, lo akan nerima hukuman lebih dari ini," bentak Thalita dengan menudingkan jari telunjuk di dahi Naira.
"Woy, apa yang kalian lakukan!" Seseorang yang tiba-tiba datang mengejutkan Thalita dan kedua orang pria yang mencekal tangan Naira. Sontak kedua pria itu melepaskannya karena detik itu juga Thalita menginstruksi.
"Cabut!"
Tubuh Naira yang terbebas dari cekalan langsung luruh ke bawah, duduk di tanah semak sembari menekuk kedua kaki ke belakang. Pria berseragan yang berteriak tadi menghampiri
Naira, mengusap kepala gadis itu.
"Lo nggak papa?" tanyanya hati-hati.
Naira menyeka air mata yang sempat menetes di pipi. Matanya masih berembun, tetapi dia tak sampai terisak. Melihat rok Naira sudah koyak karena ulah siswa nakal itu, si pria berjaket denim melepaskan jaketnya, lantas mengikatkan kedua lengannya pada pinggang Naira.
"Gue Julian. Lo masih inget gue?" Wajah pria itu tampak kemerahan ketika mengatakan hal tersebut. Ya, insiden memalukan awal pertemuannya dengan Naira cukup membuatnya malu setengah mati.
"Temen Artha?" tanya Naira serak.
"Heem, rok lo?"
Naira menggeleng lemah.
"Gue bisa perbaikin. Thanks buat bantuan lo."
Julian menarik tangan Naira, membantu gadis
itu berdiri.
"Gue anter pulang, ya?"
"Terus motor gue?"
Julian mendadak salah tingkah.
"Mungkin lain kali."
Naomi tak menanggapi. Setiap pria yang berdekatan dengannya pasti akan mundur teratur jika tahu siapa dirinya.
"Gue pinjam dulu jaket lo. Nanti gue titipin ke Artha."
"Enggak, enggak usah. Itu buat lo!"
"Apa?"
"Jaket itu buat lo! Anggap aja itu hadiah pertemanan kita," kata Julian memaksa.
"Gue nggak suka nerima hadiah dari cowok yang nggak gue kenal."
"Tapi gue maksa." Julian mengulurkan tangannya, sekali lagi memperkenalkan diri.
"Julian!"
Naira menatap tangan yang terulur padanya dan wajah Julian secara bergantian, lantas berakhir
menerima jabatan tangan tersebut.
"Naira."
Senyum mengembang di bibir Julian, lalu dia
berkata,
"Jadi kita resmi pacaran?"
"Hah?"
"Maksud gue temenan."
"Heem. Lepasin tangan gue!" Menyadari tangannya masih digenggam Julian membuat Naira tidak nyaman.
"Oh, sorry. Khilaf!" Tangan dilepaskan dan disambut kekehan kecil dari bibir Julian.
"Gue cabut dulu. Sekali lagi thanks buat bantuan lo!" kata Naira mengakhiri perjumpaan.
Julian menatap punggung Naira yang mulai menjauh. Bibirnya tak henti-henti menenggerkan senyum sampai punggung itu menghilang di kelokan. Terdengar suara mesin motor Naira menyala menyadarkan Julian jika perempuan itu
sudah tidak ada di tempat.
"Astaga, gue lupa minta nomor Hp-nya!" ucap
Julian seraya menepuk jidatnya.
****
Setelah mengantar Maya bekerja, Naomi tidak langsung pulang. Dia memilih mampir ke alun-alun kota, ingin menikmati keindahannya pada malam hari. Paling tidak itu bisa mengobati rasa sakit hatinya akan hinaan teman-temannya tadi siang.
Naira memang tidak pernah mengeluh pada Maya akan sikap teman-temannya yang sering kali membully. Dia tidak ingin Maya semakin terbebani. Bagaimanapun, mamanya itu sudah terlalu lelah dalam mencari uang. Dirinya masih
sanggup mengatasi masalahnya sendiri.
Sebuah kursi berbahan besi menjadi tempat Naira bersandar. Kepalanya menengadah, menatap rimbunnya pohon-pohon yang menaungi tepat di atasnya. Helaan napas berat terdengar dari bibir Naira, setelah memikirkan bagaimana kehidupan yang akan dijalaninya mendatang.
Tepat ketika Naira memejamkan mata, menyandarkan punggung secara nyaman di kursi, sebuah suara membuatnya memaksa membuka
mata.
" Nai! "
"Lo? Lo ngikutin gue?" Naira menatap kesal
pada Artha yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
"Nggak usah GR lo! Gue kebetulan nongkrong di
sini."
Naira celingukan, mencari keberadaan teman
teman Artha.
"Nggak usah bohong, deh! Kalau lo nongkrong, temen-temen lo ada di sekitar sini!"
"Cih! Gue cabut duluan."
"Terus? Ngapain lo kemari?" tanya Naira yang
semakin curiga.
"Nyokap nyuruh gue jemput lo. Makanya saat lihat lo di sini gue samperin."
Naira mengembuskan napas.
"Buat apa? Ngapain jemput gue?"
"Lo bawa ponsel, enggak?" Bukannya menjawab,
Artha malah bertanya.
Naira memeriksa semua kantong di bajunya.
Dia menggeleng kemudian.
"Enggak."
"Mereka ngehubungi lo sejak tadi."
"Mereka? Mereka siapa?" Naira masih belum mengerti dengan perkataan Artha. Pria itu kalau
ngomong tidak pernah mau repot menjelaskan.
"Gue enggak tahu. Intinya Mama nyuruh gue jemput lo sekarang." Artha menarik tangan Naira,
tetapi Jelas saja Naira segera menepisnya.
“Dijemput ke mana? Gue mau pulang!" Saat itu juga suara dering ponsel Artha berbunyi lagi sehingga tangan Naira segera dilepaskannya.
"Iya, Ma? Ini Mama bicara sendiri sama Naira."
Artha menyerahkan ponsel berlayar 6,7 inchi itu pada Naomi, dan langsung diterima oleh gadis itu.
"Ya, Tan?"
Mata Naira seketika melebar, wajahnya pucat pasi.
"Apa? Mama... masuk rumah sakit? Tapi... Mama baru saja Naira antar bekerja. Bagaimana bisa?"
Terdengar sedikit penjelasan dari seberang sana yang membuat air mata Naira tiba-tiba berlinang membasahi pipi. Saat itu juga tubuhnya yang tadi sempat berdiri langsung duduk kembali. Panggilan berakhir dengan mata Naira menatap kosong ke depan.
"Nai, lo enggak papa?" Artha Alka setelah mengambil kembali ponselnya.
Naira menggeleng. Tangannya tampak gemetar.
"Mama, Ta!"
"Gue anter lo ke rumah sakit."
"Tapi motor gue?"
"Tinggalin," jawab Artha enteng.
"Itu motor kami satu-satunya, Ta."
"Percaya sama gue. Lo pengen cepet ketemu
nyokap lo kan?" Naira mengangguk.
"Ayo, gue anter!" Tangan Artha terulur ke depan,
menyambut tangan Naira. Awalnya Naira ragu menerima uluran tangan itu. Namun, tak ingin menunggu, sebelum Naira bereaksi Artha segera menyambar tangan Naira, menggandeng perempuan itu untuk segera pergi dari sana.