Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 7 Semakin Dekat, Semakin Takut
Keesokan harinya, suasana rumah kos yang biasanya hangat berubah menjadi hening. Tak ada lagi obrolan pagi atau saling lempar candaan kecil. Saras hanya keluar kamar untuk berangkat kuliah, tanpa menyapa Galuh seperti biasanya. Sementara Galuh, meskipun masih ingin bicara, memilih memberi ruang.
Tapi di dalam hatinya, gemuruh tak bisa dibendung. Malam sebelumnya menyisakan banyak pertanyaan tentang perasaan, tentang keberadaan mereka, dan terutama: tentang ketakutannya sendiri akan kehilangan.
Di kampus, Galuh mencoba bersikap biasa. Tapi pikirannya tak bisa lepas dari wajah Saras yang terlihat begitu ragu. Ia menyapa beberapa teman sekelas dengan senyum seadanya, lalu duduk di pojok kelas.
“Lo kenapa, Gal? Loyo amat,” tanya Iqbal, teman sekelasnya yang duduk di sebelah.
Galuh menggeleng. “Nggak papa. Kurang tidur aja.”
“Kebanyakan mikirin Saras, ya?” goda Iqbal.
Galuh menoleh cepat. “Lo tahu dari mana?”
Iqbal cengengesan. “Bro, semua anak jurusan kita tahu lo tinggal bareng dia. Dan sekarang gosipnya udah kemana-mana.”
Galuh menatap ke depan, tak menjawab. Rasanya seperti dunia makin sempit, dan setiap orang hanya menunggu momen untuk menghakimi.
---
Di sisi lain, Saras duduk di kantin sendirian. Satu tangannya menopang dagu, sementara matanya menatap layar ponsel yang tak kunjung menyala. Ia ragu untuk menghubungi Galuh, padahal hatinya penuh sesak.
Ia tahu, ucapan Galuh malam itu bukan sekadar emosi. Di balik kalimatnya yang terdengar tajam, ada luka kecil yang Saras ciptakan. Ia mulai menyadari bahwa perasaan Galuh padanya bukan main-main. Tapi justru karena itulah ia takut. Takut tak bisa menjaga, takut menyakiti.
Saras terlalu terbiasa menyembunyikan luka, hingga ia lupa bagaimana rasanya mempercayai seseorang.
“Sendirian aja, Sar?”
Suara itu membuatnya menoleh. Seorang wanita tinggi, berambut sebahu, tersenyum ramah. Namanya Dinda, mahasiswa tingkat akhir sekaligus teman lama Saras yang baru kembali dari program pertukaran.
Saras mengangguk. “Baru selesai kelas. Kamu kapan balik?”
“Baru dua minggu. Aku dengar-dengar kamu sekarang tinggal bareng anak cowok?”
Saras menghela napas. Gosip itu ternyata sudah sampai ke telinga siapa pun.
“Cuma karena kesalahan administrasi,” jawab Saras singkat.
Dinda tertawa kecil. “Tapi kamu keliatan beda. Dulu kamu susah banget deket sama siapa pun. Sekarang malah tinggal satu atap?”
“Bukan keinginanku,” balas Saras cepat.
Tapi kalimat itu terasa pahit. Karena di lubuk hatinya, Saras tahu—meskipun awalnya memang karena terpaksa, kini kehadiran Galuh memberi rasa yang tak bisa ia abaikan.
---
Malam itu, saat hujan kembali turun, Galuh berdiri di dapur, memasak mi instan. Perutnya lapar, tapi yang lebih kosong adalah hatinya. Ia menyalakan kompor pelan, lalu menunggu air mendidih.
Tak lama, Saras keluar dari kamarnya.
“Laper juga?” tanya Galuh tanpa menoleh.
Saras diam sebentar, lalu berjalan mendekat. “Iya.”
“Duduk aja, aku masakin dua. Kayaknya kamu belum makan juga, kan?”
Saras duduk, memperhatikan punggung Galuh yang sibuk mengaduk mi.
“Galuh… maaf soal kemarin.”
Galuh berhenti sejenak, lalu melanjutkan aktivitasnya. “Aku ngerti, Kak. Tapi jujur aja, aku capek. Capek jadi satu-satunya yang berusaha bikin kita tetap baik-baik aja.”
Saras menunduk. “Aku juga berusaha, Galuh. Tapi caraku beda. Aku takut banget kalau kamu tahu semua sisi gelapku dan kamu berubah pikiran.”
Galuh menoleh, matanya tajam namun penuh kesedihan. “Kalau Kakak terus menutup diri, gimana aku bisa ngerti?”
Saras tak menjawab. Air mendidih di panci terdengar pelan, menciptakan ruang hening yang aneh.
“Aku nggak minta banyak, Kak. Aku cuma minta kesempatan untuk ngerti, bukan untuk menilai.”
Saras menggigit bibirnya. Di matanya, ada air yang hampir jatuh. Tapi ia tahan. Karena ia tahu, saat air mata itu jatuh, pertahanannya runtuh.
Galuh menyajikan dua mangkuk mi dan duduk di hadapan Saras.
“Aku suka Kakak,” katanya pelan. “Dan aku akan tetap suka meski Kakak belum bisa balas sekarang.”
Saras mengangkat wajah, menatap mata Galuh yang jujur dan bersinar.
“Tapi tolong… jangan nyuruh aku pergi.”
Saras mengangguk kecil. “Aku nggak akan.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka makan dalam diam yang hangat. Tak banyak kata, tapi cukup untuk mengerti bahwa hubungan mereka belum usai baru saja dimulai.
---
Keesokan harinya, kejutan datang. Saat Galuh baru saja tiba di kampus, ia dihampiri oleh seorang perempuan yang belum pernah ia temui sebelumnya.
“Hai, kamu Galuh, kan?”
Galuh menoleh. “Iya. Maaf, kamu siapa ya?”
“Aku Aluna. Temannya Kak Saras. Kita belum pernah ketemu.”
Galuh mengangguk, heran.
“Aku cuma mau bilang… hati-hati ya. Saras bukan orang yang gampang didekati. Banyak yang udah nyoba, dan gagal.”
Galuh menatapnya dalam-dalam. “Terima kasih buat peringatannya. Tapi aku bukan mereka.”
Aluna tersenyum miring. “Kita lihat aja nanti.”
Galuh menatap kepergian Aluna dengan dada yang mulai sesak. Semakin ia mendekat, semakin banyak bayangan masa lalu Saras yang ikut menghantuinya.
Dan ia sadarmencintai Saras bukan tentang mendapatkan balasan. Tapi tentang menunggu, meski hati penuh luka.