Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Proposal Pertama Mentari
*📝* Diary Mentari – Bab 10
“Kadang, mimpi tidak perlu besar. Cukup kuat untuk berdiri ketika seluruh dunia memintamu duduk.”
...****************...
Aku berdiri di depan pintu rumah dengan formulir pendaftaran SMA di tangan. Formulir yang aku isi sendiri di sekolah dengan semangat penuh, meski belum mendapat restu ibu. Aku bahkan belum tahu dari mana aku bisa membeli seragam atau buku pelajaran. Tapi aku tetap mengisinya. Namaku kutulis dengan hati-hati, seperti menuliskan masa depan.
Langkahku pelan tapi mantap memasuki rumah. Ayah duduk di beranda, sedang membenahi sabit dan parang kecil untuk ke kebun besok. Ibu di dalam rumah, seperti biasa, duduk merangkai janur untuk pesanan upacara minggu depan.
“Pak…” panggilku sambil menunjukkan formulir itu.
Ayah menoleh tanpa berkata-kata. Aku tahu ayah tidak suka banyak bicara. Tapi ayahku bukan orang yang tidak peduli. Ia hanya lelah. Tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang menghitam terkena matahari adalah bukti dari segala perjuangannya.
“Ini formulir pendaftaran SMA, Pak. Tanda tanganin ya…”
Aku tak bisa membaca pikirannya. Tapi aku tahu, di matanya ada keraguan. Lalu aku tambahkan,
“Mentari janji akan rajin belajar. Mentari bisa dapat beasiswa kalau nilai Mentari bagus. Lagian, di sekolah kemarin, Ibu Guru bilang aku punya potensi besar. Tolong ya, Pak.”
Aku bahkan menggunakan bahasa yang lebih sopan dari biasanya. Aku tahu aku sedang mengajukan sesuatu yang besar. Ini bukan minta sandal baru atau baju baru. Ini permintaan untuk tetap punya masa depan.
Ayah mengangguk pelan. Hanya itu. Lalu ia mengambil pena dari sakunya dan menandatangani formulir itu tanpa bertanya lebih lanjut. Aku merasa lega, seakan dunia berhenti sebentar untuk memberiku napas.
Namun, langkahku belum selesai.
Aku masuk ke dalam, membawa formulir yang kini sudah ada tanda tangan ayah.
“Bu, ini tinggal tanda tangan Ibu,” kataku sambil mengulurkan formulir itu.
Ibu berhenti menganyam. Tangannya kaku sesaat. “Kamu yakin mau lanjut SMA?” tanyanya tanpa memandang.
Aku mengangguk.
“Kak Raka saja susah biayanya. Dia anak laki-laki, tanggung jawab besar nanti. Kalau kamu sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga menikah dan ikut suami.”
Aku menelan ludah. Kalimat itu menamparku.
“Mentari nggak mau begitu, Bu. Mentari pengen kerja, bantu Ayah Ibu. Tapi bukan cuma di kampung. Mentari pengen keluar dari sini. Lihat dunia.”
Ibu mendesah. “Kenapa nggak langsung kursus komputer? Di kota juga banyak toko. Bisa kerja jadi kasir.”
“Toko mana yang nerima ijasah SMP, Bu? Lagian, kenapa harus berhenti di sini?”
“Karena hidup itu nggak semudah mimpi, Mentari.”
Aku menatap Ibu. Air mataku mulai jatuh tanpa aku sadari. Biasanya aku kuat. Biasanya aku tahan.
“Ibu pernah lihat Mentari minta sesuatu? Diary aja beli pakai uang saku sendiri dari jual pakis. Sekarang, Mentari cuma minta satu hal: kesempatan.”
Ibu terdiam.
Di luar, angin malam mulai berhembus. Suara jangkrik bersahutan. Rumah yang biasanya hangat terasa seperti tembok dingin hari itu.
Aku memutar tubuhku, berjalan ke kamar, duduk di dipan kayu bersama Senja yang sedang mengerjakan PR. Ia menatapku, mungkin bingung kenapa mataku merah. Tapi aku tak menjelaskan. Aku membuka diary-ku dan menulis:
“Hari ini, aku belajar bahwa tidak semua permintaan bisa diterima. Tapi aku juga belajar bahwa untuk mimpi, kadang kita harus berjuang bukan hanya pada dunia—tapi pada orang-orang yang kita cintai.”
Beberapa jam kemudian, saat semua orang tertidur, aku mendengar langkah Ibu ke kamarku. Ia duduk di ujung tempat tidur. Tidak berkata apa-apa. Hanya menyodorkan formulir yang sudah ditandatangani.
“Tapi kamu harus janji belajar sungguh-sungguh.”
Aku langsung memeluk ibu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis di pangkuannya seperti anak kecil. Aku tak peduli malam semakin larut. Aku hanya ingin mengingat momen itu: ketika ibuku menyerah pada mimpi anak gadisnya sendiri.
Esok harinya aku ke sekolah membawa formulir lengkap itu. Hatiku seperti melayang. Mungkin aku tidak tahu bagaimana aku akan membeli sepatu baru atau membayar seragam. Tapi hari ini aku punya satu hal yang lebih penting dari semua itu: harapan.
Di jalan pulang aku tersenyum sendiri. Dalam benakku, aku membayangkan mengenakan seragam SMA, membawa tas besar, duduk di kelas, membaca buku, menulis puisi di sela pelajaran, dan memandang ke luar jendela sambil membayangkan dunia yang lebih luas daripada kampung Karet.
Malam itu, sebelum tidur, aku menulis lagi di diary-ku:
“Kalau mimpi itu dosa, aku siap dihukum. Tapi kalau mimpi itu kekuatan, maka aku takkan pernah berhenti. Hari ini, aku menang sekali. Semoga besok aku bisa menang lagi.”“Kadang, mimpi tidak perlu besar. Cukup kuat untuk berdiri ketika seluruh dunia memintamu duduk.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.