NovelToon NovelToon
Terpaksa Menikah Dengan Pria Cacat

Terpaksa Menikah Dengan Pria Cacat

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Terpaksa Menikahi Suami Cacat
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Alizar

"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19

Malam itu, udara dingin menerpa ruangan, namun di bawah selimut tebal, Melody dan Arkan merasakan kehangatan yang berbeda. Di antara kesunyian malam yang hanya ditemani suara dengkur lembut, kaki Melody secara perlahan mengusap kaki Arkan, sebuah gerakan halus namun penuh makna. Itu bukan sekadar sentuhan, melainkan isyarat cinta dan terima kasih yang mendalam—bahasa rahasia yang hanya mereka berdua yang mengerti. Dalam hangatnya selimut, mereka berdua terlelap, pulas dalam dekapan yang nyaman dan aman.

***

Keesokan harinya, semangat baru menyelimuti mereka berdua saat matahari menyapa. Arkan dan Melody mempersiapkan diri untuk berkunjung ke kantor polisi, tempat Arhan, saudara kembar Arkan, ditahan untuk beberapa waktu. Kekhawatiran tentang keadaan Arhan memang selalu menggelayuti hati mereka, namun hari ini mereka berdua ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Dea dan Tony, mereka berdua, juga turut serta dalam kunjungan ini, menambah kekuatan moral bagi Arkan yang sedikit gugup dan cemas.

Perjalanan ke kantor polisi terasa singkat, mungkin karena obrolan yang mengalir di antara mereka, atau mungkin karena setiap detik yang mereka habiskan bersama selalu terasa berharga. Sesampainya di sana, wajah-wajah cemas berubah menjadi sedikit lega saat mereka melihat Arhan muncul dengan kondisi yang lebih baik dari yang mereka bayangkan.

"Bagaimana kabar mu, " Tanya Arkan dengan nada datar

"Tidak usah sok perduli dengan ku, Arkan! " Jawabnya ketus dengan wajah yang marah

"Kenapa begitu, kau kan kakakku. Kita kan saudara kembar, memangnya kenapa jika aku perduli padamu? Apa itu salah? " Tanya Arkan dengan lempeng

Arhan mengepalkan tangannya keras-keras, urat-urat di lehernya menonjol karena kemarahan yang memuncak. "Apa kau puas, apa kau puas sekarang karena sudah menjebloskan aku ke penjara!" teriaknya dengan suara yang bergema di seluruh ruangan besuk itu.

Arkan, yang berdiri di sisi lain ruangan, hanya tersenyum simpul. Senyumnya itu seolah-olah menghina, membuat darah Arhan semakin mendidih. "Woho, santai bro. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, bukan," ujarnya dengan nada mengejek, matanya tak lepas dari tatapan Arhan yang penuh kebencian.

Sejenak, ruangan besuk itu terasa seperti medan perang, di mana dua saudara kandung berubah menjadi musuh bebuyutan. Arhan terus menatap Arkan dengan tatapan yang menyiratkan kekecewaan dan pengkhianatan, sementara Arkan, dengan kepuasan yang tergambar jelas di wajahnya, menikmati setiap detik penderitaan yang dialami Arhan.

Arhan berdiri dari tempat duduknya, matanya melekat pada Arkan yang sedang duduk dengan tenang di sisi tempat nya. Arkan, dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, memainkan kartu yang telah dia simpan dalam lengan bajunya sejak awal pertemuan ini. "Kau kira, kau bisa mengambil segalanya dariku, Arhan?" ucap Arkan dengan nada mengejek.

Arhan, dengan napas yang berat, mengambil langkah maju. Wajahnya pucat, tangan gemetar menahan amarah dan rasa sakit yang mendalam. "Kau tidak punya hak untuk memiliki semua harta mama dan papa, Arkan!" balas Arhan, suaranya terdengar serak oleh emosi yang tersumbat.

Arkan tertawa, suara tawanya bergema di ruangan itu, memecahkan kesunyian yang sempat tercipta. "Oh, tapi aku sudah melakukannya, saudaraku. Dan aku menikmati setiap detiknya." Katanya, sambil membalik-balik kartu di tangannya.

Ruang itu dipenuhi oleh aura permusuhan yang kian memanas, seolah-olah oksigen di dalamnya telah digantikan oleh ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Arhan, dengan mata yang memerah dan jantung berdebar kencang, merasa seperti sedang berdiri di tengah medan perang, di mana satu-satunya musuh yang harus dia hadapi adalah darah dagingnya sendiri.

"Kau tidak bisa menikmatinya! Aku seorang kakak, hanya anak tertua yang berhak atas seluruh harta itu! " Teriaknya

Arkan menatap Arhan dengan sorot mata yang tajam, penuh kebencian dan penilaian. "Mengapa kau begitu terobsesi dengan harta, Arhan? Kedua orang tua kita masih hidup, mereka belum tiada. Lagipula tanpa kau rebut pun mereka sudah pasti telah menyiapkannya untuk kita berdua," ucap Arkan dengan nada suara yang meninggi.

Arhan hanya tersenyum sinis, matanya menyala-nyala dengan emosi yang tak terbendung. "Kau tak mengerti, Arkan. Kau hanya melihat dari sisi luarmu saja. Aku ingin lebih, aku ingin semua," balasnya dengan nada dingin.

Saat itulah Arkan mengungkapkan rahasia yang selama ini ia simpan. "Bahkan kau sampai tega melakukan kejahatan dengan mencelakaiku hanya untuk menjadi pewaris tunggal. Tapi sayangnya rencanamu itu gagal dan hanya membuatku lumpuh sesaat. Lihatlah sekarang, aku bahkan berdiri tegak di hadapanmu. Bagaimana sandiwara lumpuhku, hm?"

"Kau pikir kau bisa menguasai semuanya dengan tindakanmu yang keji itu?" lanjut Arkan, suaranya menggema di ruangan tersebut, penuh dengan kekuatan dan autoritas. "Kau salah besar, Arhan. Dan sekarang, aku akan memastikan keadilan ditegakkan."

Arhan mundur selangkah, wajahnya pucat pasi. Perlahan, kekuatan dalam dirinya mulai luntur, digantikan oleh ketakutan yang nyata. Arkan, dengan tatapan tajam dan penuh keyakinan, siap untuk mengambil langkah berikutnya dalam menghadapi saudaranya yang telah terlalu jauh tersesat itu. "Baiklah, waktu ku sudah habis. Kali ini mama yang akan menjenguk mu, bye saudara kembarku. " Arkan berdiri dengan senyum sinis yang menghiasi wajahnya

Arhan hanya diam tak menanggapi dan membiarkan Arkan keluar dari ruangan nya. "Bagaimana kondisi Arhan nak? " Tanya Dea ketika melihat Arkan telah kembali

"Dia terlihat baik ma, silahkan mama jenguk di dalam, " Balasnya. Dea mengangguk dan menatap Tony mengisyaratkan agar segera masuk.

"Kamu memarahinya? " Tanya Melody

"Aku? Tentu saja tidak. Aku hanya berbicara ringan saja dengannya di dalam,"Jawab Arkan mengusap pelan wajah istrinya

" Syukurlah kalau begitu, "

Didalam Dea menatap jeruji besi yang memisahkan dirinya dari Arhan, anaknya yang kini menjadi tahanan. Air mata mengalir deras di pipinya, tanda keharuan yang tak terbendung. Di sisi lain, Tony, sang suami, berdiri dengan raut muka yang keras, tatapan matanya penuh kemarahan.

"Bagaimana kau bisa melakukan ini pada saudaramu sendiri, Arhan?" teriak Tony, suaranya bergema di ruangan dingin itu. Arhan hanya bisa menunduk, tak berani menatap ayahnya.

Dea, dengan suara bergetar, mencoba menenangkan suaminya, "Tony, cukup. Kita di sini untuk mendukung, bukan menambah luka." Dia mendekati Tony, memegang tangannya yang mengepal di jeruji besi, berusaha menariknya agar duduk dan menenangkan diri.

Arhan akhirnya mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata ibunya yang penuh kasih namun sedih. "Maafkan aku, Ma, Pa," ucapnya lirih, suara yang hampir tenggelam oleh isak tangisnya sendiri.

Tony berdiri tegak di depan sel tahanan, matanya memancarkan amarah yang mendalam. Anaknya, Arhan, duduk di pojok sel, tatapannya kosong tanpa daya. Lampu di atas kepala mereka berkedip, seolah menambah ketegangan yang sudah terasa mencekik

"Dan kau, menggunakan barang haram! Apa yang telah kau lakukan pada dirimu dan keluarga kita?" suara Tony bergema di dinding-dinding dingin yang mengurung mereka berdua. Jari-jarinya menggenggam jeruji besi dengan erat, urat-urat di tangannya menonjol, menandakan betapa kuatnya emosi yang sedang dia rasakan.

Arhan hanya mengangkat kepala, matanya yang sembab bertemu dengan tatapan marah ayahnya. Bibirnya bergetar, ingin mengatakan sesuatu, namun hanya suara serak yang keluar.

Tony, dengan napas yang terengah-engah, melanjutkan, "Kau tidak hanya merusak hidupmu sendiri, tapi juga menghancurkan harapan dan mimpi kita." Dia menekan setiap kata, seolah tiap suku kata adalah pukulan yang ingin dia lemparkan pada anaknya.

Arhan menundukkan kepala, rasa bersalah dan malu memenuhi dadanya. Dia menggigit bibirnya, menahan tangis yang siap pecah. Di dalam hatinya, penyesalan bergolak tak terkendali, namun dia juga terlalu lemah untuk meminta maaf.

Ketegangan di ruangan itu semakin terasa, suara-suara dari sel tahanan lain terdengar samar, menambah kehampaan yang menyelimuti hubungan ayah dan anak tersebut. Tony akhirnya melepaskan genggaman pada jeruji besi, menghela napas panjang, dan berbalik meninggalkan sel dengan langkah berat, meninggalkan Arhan yang terduduk lemas, terbenam dalam kehancuran yang telah dia ciptakan.

"Papa. Kenapa malah pergi? heii! Aduh dasar pria tua itu, " Dea berjongkok mendekati Arhan yang terduduk lemah dibawah sana

"Nak, kau tidak apa apa? " Tanya Dea perhatian

Arhan menatap ibunya itu. "Mama, aku menyesal. Aku menyesal melakukan ini semua, tolong lepaskan aku dari sini ma, " Ucap Arhan dengan tatapan mata yang memohon

Dea terdiam sesaat "Maafin mama nak. Mama tau tempat ini begitu tidak enak bagimu. Tapi ini adalah jalan yang harus kau Terima atas semua kesalahan mu. Mama tidak bisa membantu mu untuk bebas dari sini, bukan mama pilih kasih. Tapi memang ini adalah hukuman yang harus kau jalani nak. Dan ini, ini adalah makanan kesukaan mu, dimakan ya. Jangan lupa dihabiskan, mama harus segera pulang sekarang juga. " Dea berdiri dan pergi begitu saja tanpa mendengarkan teriakan arhan yang terus memanggil nya

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!