"Yang kalian lakukan salah."
Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dermatologist
——
Sepertinya yang akan mengamuk di sini bukan Mas mantan, tapi Mbak Mantan.
Mbak Mantan, alias Mayra menarik sejumput baju Mas mantan agar mengikutinya—ia tak sudi menyentuh seinchi pun kulit Aldi.
Bisa aja lu mbak, kemarin-kemarin lu pake jaketnya kan?
Terima kasih sudah mengingatkan. Sepertinya ia harus pergi ke dokter kulit. Tolong ingatkan Mayra untuk itu. Btw, jangan capek-capek ingetin Mbak mantan ya.
"Kenapa lo bawa gue ke sini? Lo gak citra lo rusak di depan orang-orang?"
Mayra mendengus dan memandang sekitarnya, memastikan keadaan sekitar sepi. Tapi matanya malah menangkap hal lain, ia tersenyum sinis. "Kalau gue gila pencitraan, di hari pertama gue masuk gak akan gue bilang kalau gue pindah karena ditangkap polisi karena narkoba," ia mengacungkan jarinya di dada Aldi, "pacar lo lebih gila pencitraan daripada gue."
Aldi menggeleng. "No. Hasna lebih baik dari lo."
Mayra mengepalkan lengannya tanpa sadar. Tujuan lu bawa Aldi ke sini biar bisa ngulur waktu kan? Biar amarah lu bisa teredam kan? Jangan merasa marah untuk hal yang tak berguna. Jadi jangan pikirkan lagi mereka Mayra, ayo selesaikan apa yang ngebuat lu bawa Aldi ke lorong sepi ini.
"Gue bawa lo ke sini buat negasin, lo jangan pernah peduli lagi sama gue. Kalau lo gak ikhlas mending jangan. Seperti lo, gue juga gak suka tukang bo'ong."
Aldi memalingkan wajahnya, "Hanya kemanusiaan, jangan berharap lebih."
"Untuk orang yang udah benci gue mati-matian selama hampir dua tahun rasanya kemanusiaan itu harusnya gak ada."
"Oke."
Anjim.
Cuma ngejawab seiprit?
Tarik napas, buang. Ulangi sampe lu bener-bener tenang. Sekali lagi, jangan ngebiarin emosi nguasain lu.
"Dari awal gue gak pernah bohong sama lo. Terserah lo mau percaya apa enggak. Gue cuman kasian kalau lo terus hidup dalam kebohongan. Dan seperti kata gue tadi, gak ada kemanusiaan di antara kita. Gue bakal jauhin lo, biar gak menimbulkan salah paham."
"Btw, gue bukan perebut pacar orang, so lo jangan sembunyi di sana adik," ucap Mayra sambil pada Hasna yang sedari tadi menguping dari balik tembok.
Mayra berjalan menjauhi Mas mantan, berniat kembali ke kelasnya. Tapi ia berbalik dan mendapati Hasna sudah ada di samping Aldi.
"Oh, iya. Jangan lupa lo tanyain sama pacar lo apa yang dia lakuin tadi malam di club the blue room no 12." Mayra menyeringai jahat.
"Thanks buat waktunya, and sorry for the jacket."
Mayra tersenyum puas, ia sebenarnya hanya random saja berucap demikian. Sepertinya menyenangkan bisa pasangan itu bertengkar.
Dipercepatnya perjalanan menuju kelasnya, karena tadi sebenarnya bel sudah berbunyi pasti sudah ada guru di kelasnya. Tapi saat melewati kelas X IPA 2 ia menemukan kekasihnya yang sedang bersandar di depan jendela kelas, satu alisnya terangkat. Mayra berhenti sebentar.
"Do you have interesting news?"
"Yeah, gue kayaknya berhasil bikin mereka salah paham."
Fero paham maksud dari mereka di sini. Aldi dan Hasna. Tadi ia sempat melihat Mayra menyeret Aldi ke lorong dekat toilet.
"Good think."
"Btw, kenapa lo di luar? Padahal di kelas lo udah ada guru. Lo bolos?" Mayra mengintip ke dalam kelas X IPA 2 itu.
"Gue udah ngerjain tugas dan barusan yang ikut kuis dadakan cuma mereka yang gak ngerjain tugas."
Mayra memandang sekitarnya. "Cuma lo doang?"
Fero mengangguk. "Biasanya Bu Tuti gak terlalu mentingin ngerjain tugas, tapi sekarang beda. Untung gue ngerjain," ucapnya sambil tersenyum pongah.
Mayra menepuk kerasa bahu Fero, "Udah pinter aja pacar gue, padahal dulu bego. Peningkatan yang sangat pesat."
"Anjing," umpat Fero sambil melotot tajam. Sepertinya berkat seharian terus dipelototi Mayra, ia jadi ikut-ikutan pelatat-pelotot. Bahaya nih, lama-lama ia bisa bersikap seperti Mayra kalau gini jadinya.
Berani banget Mayra ngatain Fero bego. Kalau bukan wanita sudah ia tonjok Mayra, sekalipun itu pacarnya. Memangnya kamu berharap pacarmu pria Fero? Eh?
Gadis sipit itu cengengesan, "Gue balik dulu kayaknya di kelas gue udah ada guru."
"Kalau lo mau bolos gue temenin."
"Siap bosqu," Mayra memberikan hormat pada Fero.
Fero balas dengan mengelus kepala Mayra.
Ouh, Mayra baper.
"Kenapa saya disuruh keluar Bu?"
"Kamu sudah telat dan kamu gak dibutuhin di sini Mayra."
Mayra mengernyitkan dahinya tak paham. Apa maksud dari dibutuhkan di sini?
Saat ia sampai di kelas benar saja sudah ada guru dan ouw tebak siapa guru itu ... ternyata guru yang mengajar adalah gurunya dulu di Nusa 1, Bu Yeyen.
Bu Yeyen langsung menyuruhnya keluar bahkan saat ia baru satu langkah memasuki kelas.
"Ibu tau kamu Mayra, materi yang sedang ibu jelaskan sudah kamu pahami di Nusa 1. Pasti kamu malas dan seperti biasa kamu memilih keluar kelas. Sebelum hal itu terjadi lebih baik ibu yang suruh kamu keluar."
Padahal niatnya, sudah paham ataupun belum paham materi ia akan mengikuti kbm dari awal sampai akhir. Kalau begini jadinya Mayra jadi malas. Belum apa-apa udah disuruh keluar.
Mayra mengangguk paham. "Oke."
Setelah mengatakan itu ia langsung pergi dari kelas dan kembali menghampiri Fero yang masih dalam posisi yang sama saat terakhir kali ia lihat.
Fero mengulurkan tangannya pada Mayra dan disambut Mayra dengan senang hati.
"Quiero ir a donde, señorita?"¹
Mayra terdiam sesat lalu menjawab, "Gak tau."
"Lo tentuin gue ikut."
"Gue gak tau artinya bulee ..." ucap Mayra kesal.
Fero menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia kira Mayra mengerti saat menjawab tak tahu, ternyata yang dimaksud tak tahu di sini—Mayra tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Memangnya apa yang kamu harapkan Fero? Kamu pikir Mayra bisa berbahasa Spanyol? Sejak kapan Mayra belajar berbahasa Spanyol? Dan untuk apa?!
Bodoh lu Fer ....
"Nanti ajarin gue ya, biar gue paham kalau lo ngomong bahasa Spanyol," ucap Mayra.
"Pulang sekolah?" tanya Fero sambil mulai berjalan menyusuri lorong bersama Mayra. Lebih baik pergi ke kantin saja, kebetulan tadi ia belum sarapan.
"No. Pulang sekolah anter gue ke dokter kulit sekalian sambil jenguk Idza."
Ternyata Mayra masih ingat tentang kesehatan kulitnya setelah memakai jaket punyanya Mas mantan. Tak perlu diingetin lagi, udah mandiri lu ya, Mayra.
——
"Gimana hasilnya?"
"Baik."
"Ok."
Fero memasangkan sabuk pengaman untuk Mayra, karena sedari tadi Mayra sibuk dengan lamunannya sendiri. Ia tak tahu apa yang dilamunkan Mayra, padahal saat mereka berangkat ke rumah sakit Mayra masih bersikap seperti biasa.
Apakah ada yang salah dengan diri Mayra dari hasil pemeriksaan tadi? Tidak. Fero sangat percaya pada Mayra, ia yakin kalau ada sesuatu yang salah pasti Mayra memberitahunya. Mayra bukan pembohong. Lalu sekarang apa yang sedang dipikirkan Mayra?
Mayra memusatkan pandangannya pada Fero saat Fero tak kunjung beranjak dari posisinya—sama seperti saat memasanginya seatbelt.
Begitu mata Mayra menatapnya, Fero hanya terus memandanginya seolah menanyakan apa yang sedang dilamunkannya sejak tadi.
Mayra menggeleng pelan.
Sedikit senyuman dan ciuman di pipi diberikan Fero sebelum berpindah posisi. Setelah itu tak ada lagi pembicaraan di antara keduanya.
Fero berpikir mungkin Mayra kecapean dan memilih diam. Karena pulang sekolah mereka langsung pergi ke rumah sakit tempat Varidza dirawat dan Mayra sekalian ke dokter kulit, mau memeriksakan kesehatan kulitnya yang sudah ditempeli jaket Mas mantan, katanya. Fero hanya mengiyakan saja.
Lihat sekarang Mayra bahkan tak membalas ucapan selamat malam darinya dan menutup pintu apartemen. Fero menghela napas, mungkin juga efek datang bulan sehingga membuat mood Mayra berubah-ubah.
Sedangkan Mayra, ia melempar asal tas punggungnya ke ruang keluarga. Ia melepaskan ikatan rambutnya dan pergi ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Mayra melepaskan semua kain yang melekat di tubuhnya dan menyalakan air untuk mengisi bathup. Sepertinya berendam pilihan terbaik untuk menenanglan pikirannya—wait, kamu sedang kedatangan tamu bulanan Mayra.
Mayra mengerang kesal sambil mematikan keran lalu membuka saluran pembuangan dalam bathup. Ia masuk ke bilik shower dan mulai menyalakan shower dengan dirinya tanpa melakukan apa-apa.
Satu pertanyaan masih bercokol dalam pikirannya. Apakah Fero hanya memanfaatkannya saja agar bisa dekat dengan Varidza?
——
(Ingin pergi ke mana, nona?) ¹