Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Tiga Syarat
'Jika kamu tidak menyelamatkan aku, aku sudah menyembur wajahmu itu! pria kasar!' pekik Paula dalam hatinya.
Paula masih diam, mana mungkin dia bilang kalau donatur itu adalah dirinya sendiri.
"Tidak mau bilang?" tanya Mark yang masih terlihat kesal.
Paula masih tidak mengatakan apapun. Tapi tak juga memalingkan tatapan tajam itu dari Mark.
'Mau adu melotot, siapa takut?' batinnya.
Mark sungguh tidak percaya, bagaimana wanita di depannya itu sekarang begitu berani dan sama sekali tidak menurut padanya. Alisa adalah wanita yang tidak pernah membantah, tapi kenapa setelah kecelakaan itu, wanita itu jadi begitu berani dan terlihat sangat penuh dengan amarah.
Mark melepaskan cengkraman tangannya dari rahang Paula.
Dan duduk lagi di kursi yang ada di belakangnya.
'Nah, menyerahkan! siapa yang takut hanya adu melotot saja!' batin Paula.
"Aku akan bertanya untuk terakhir kalinya. Siapa yang memberikan uang sebanyak itu untukmu?" tanya Mark dengan nada yang lebih melunak.
Setidaknya sudah turun setengah oktaf dari caranya bicara terakhir kali.
"Aku tidak tahu!" jawab Paula asal.
"Kamu..."
Paula kembali menatap Mark dengan ekspresi menantang.
"Kenapa? mau pukul? pukul! mau tampar? silahkan!" tantang Paula.
Mark yang tadinya emosi segera mendengus kasar. Sepertinya dia memang harus bertanya pada dokter tentang apa yang terjadi istrinya itu.
"Rekaman cctv di rumah rusak..."
"Halah, paling kamu yang merusaknya!" celetuk Paula lagi.
Mark menelan salivanya dengan cepat. Sebenarnya, memang benar apa yang dikatakan oleh Alisa. Dia memang yang telah merusak rekaman itu. Karena Karina sudah memohon padanya, Karina membujuknya dan mengatakan dia tidak sengaja. Dia hanya sangat emosi, dan dia berjanji pada Mark, kalau Karina tidak akan pernah bersikap keterlaluan seperti itu lagi.
"Alisa, Karina tidak sengaja. Kasus ini sudah dilaporkan, kamu harus minta pada pihak rumah sakit. Untuk mencabut laporan ini!"
Paula melihat Mark dengan pandangan yang sangat jijik. Untung dia sudah kembali ingat semuanya. Jika tidak, jika dia masih menjadi Alisa. Dia pasti akan di permainkan dan dimanfaatkan oleh semua orang yang tak punya hati di kediaman Austin itu.
Paula terkekeh pelan.
"Maksudmu? aku harus berbohong? dan mengatakan semua itu hanya kecelakaan, kebetulan? mimpi saja sana!"
"Alisa, jangan membuatku memaksamu..."
Paula melotot dan menatap tajam Mark.
"Memangnya selama ini kamu tidak memaksa?" sela Paula bertanya pada Mark, dengan nada suara lebih tinggi satu tangga nada dibandingkan Mark.
Mark kembali menatap wanita di depannya itu. Bahkan istrinya sekarang sudah berani membentaknya.
"Apa maumu?" tanya Mark.
"Kita cerai saja!" tegas Paula.
Mark terkekeh, dan wajahnya tampak menunjukkan ekspresi menahan amarah dan kesal di saat bersamaan.
"Jangan harap!" pekiknya tegas.
Paula mendengus kesal.
"Kamu ini mau mengurungku sampai kapan? status saja istri, tapi pakaianku, lihat! apa pantas pakaian seperti ini dipakai istrinya seorang Presdir? Kamu itu pria atau bukan? kenapa hanya mau tubuhku saja, tapi tidak sama sekali mengurusku dengan benar?"
"Kamu..." kata-kata itu terjeda.
Mark ingin marah, kenapa dia merasa terkesan seperti seseorang yang sangat menginginkan tubuh Alisa.
"Kamu jangan terlalu percaya diri, siapa yang ingin tubuhmu?" tanya Mark dengan kesal.
"Kalau begitu ceraikan saja aku!" kata Paula lagi.
Dan kali ini, dia mengatakan semua itu dengan lebih tenang. Namun sebaliknya, pria yang tadinya lebih tenang di depannya itu yang kembali berasap kepalanya.
"Katakan satu syarat, agar kamu mencabut laporan itu. Kecuali perceraian!"
Paula mendengus kesal. Dia melirik tidak senang ke arah Mark.
'Pria ini, kenapa dia tidak mau bercerai? dia pikir bisa dapat penghangat tempat tidur gratisan? sorry ye. Setelah ini jangan harap kamu bisa menyentuhku. Karena tidak mau bercerai, maka jangan menyesal!' batin Paula yang sudah merencanakan sesuatu yang pastinya akan menguntungkannya.
"Tiga syarat, aku setuju!" kata Paula.
"Kamu pikir bisa bernegosiasi denganku?" tanya Mark, yang terkesan menggertak Paula.
Dan ya, kalau yang di depannya itu Alisa. Mungkin hanya dengan gertakan sambal seperti itu. Alisa akan merasa begitu takut dan menurut langsung pada mark. Dia seseorang yang tidak punya siapa-siapa di dunia ini, dan tidak punya juga tidak ingat apapun.
Tapi, di depan Mark itu Paula. Paula Anna Helmith. Dia punya mansion seluas lapangan golf. Punya pulau pribadi, pabrik seluas tambang batubara. Dan perusahaan multinasional di berbagai negara. Kenapa dia harus takut dengan gertakan semut seperti itu.
"Yang harusnya berkata seperti itu padamu, itu aku!"
Dan suasana langsung menjadi hening. Paula mengembalikan kata-kata itu pada Mark. Pria itu terdiam, dia mencoba membaca apa yang ada di tatapan tajam Paula.
Kenapa wanita di depannya itu begitu berani. Dia hanya wanita yang tidak ingat apapun, dan siapapun. Bagaimana bisa seberani itu.
Namun beberapa saat kemudian, Mark terkekeh pelan.
"Jadi, karena uang seratus juta itu kamu jadi sombong! kamu pikir apa yang bisa kamu lakukan dengan uang sebanyak itu. Itu tidak seberapa..."
"Setidaknya, ini aku punya uang. Hidup bersamamu satu tahun lebih bahkan aku tidak punya seratus ribu pun di tanganku!" sela Paula lagi.
Harga diri Mark benar-benar seperti di injak-injak. Tapi itu kenyataan.
"Katakan!" kata Mark, pada akhirnya yang mengalah.
Sebenarnya, lebih tepatnya bukan mengalah. Tapi memang dibuat kalah oleh Paula.
"Aku mau pindah ke halaman belakang!"
Mata Mark langsung memancarkan tatapan tidak senang.
"Kamu, tidak tahu terimakasih. Aku membuatmu lebih layak tinggal di rumah utama..."
"Tapi kamu juga membuatku celaka!" sela Paula lagi.
Ini sudah entah keberapa kalinya, Paula menyela Mark. Padahal sebelumnya, mana pernah istrinya itu menyela apapun yang dikatakan dan dilakukan Mark.
"Yang kedua?" tanya Mark yang pada akhirnya tidak bisa menolak syarat dari Paula.
"Setelah aku kembali ke kediaman Austin. Aku tidak mau lagi mengerjakan semua pekerjaan pelayan!"
"Apa katamu? apa selama ini aku memperlakukanmu seperti pelayan?" tanya Mark.
"Kamu memang tidak! tapi ibumu, adik-adikmu dan wanita simpananmu itu, iya! pokoknya aku tidak mau melakukan pekerjaan pelayan! tidak mau di suruh-suruh!" kata Paula sambil melipat tangannya di depan dada.
"Terakhir!" kata Mark dengan enggan.
Paula menunjukkan senyum mencurigakan. Tapi dia langsung berkata,
"Yang ketiga, jangan pernah sentuh aku lagi!"
"Alisa!" pekik Mark yang sepertinya tidak terima.
"Terserah! kalau mau ikuti. Jika tidak mau cari saja pengacara untuk membela wanita simpananmu itu!" katanya dengan santai.
Mark menatap Alisa.
'Wanita ini, apa yang sudah terjadi dengan otaknya. Kenapa dia sangat berubah. Atau mungkin, dia... sudah ingat semuanya. Apakah ingatannya benar-benar telah kembali!' batin Mark curiga.
***
Bersambung...