Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Cahaya lampu meja jatuh lembut di wajah Milea yang berseri. Ia berbaring di sofa empuk, jari-jari lentiknya menari-nari di layar ponsel, sebuah senyum mengembang di bibirnya.
Akhirnya, ia bisa kembali terhubung dengan teman-temannya, dan yang terpenting, dengan Alessandro, kakaknya. Namun, sebuah pesan yang belum terbaca menggantung di layar, membuat senyumnya sedikit memudar.
"Kak, apa besok kamu akan menemui aku lagi di mansion?" Pertanyaan itu terkirim, dua tanda centang abu abu muncul, menandakan pesan telah sampai, namun tak kunjung di baca. Kecemasan mulai menggerogoti hatinya.
"Apa Kak Ales sangat kecewa padaku?" Gumamnya, suara lirihnya hampir tak terdengar.
Di kamar mandi, Gio baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah, meneteskan buih-buih air.
Ia mengenakan piyama sutra berwarna gelap, menonjolkan tubuh atletisnya. Melihat Gio, Milea meletakkan ponselnya, sebuah ide muncul di benaknya.
"Sini, aku bantu meringankan rambutmu," ucap Milea, suaranya lembut, menawarkan bantuan dengan senyum hangat. Ia menuntun Gio duduk di depan cermin besar.
Dengan cekatan, Milea mengeringkan rambut Gio menggunakan hairdryer. Sentuhan jari-jarinya yang ringan, mengusap-usap lembut kulit kepala Gio, menciptakan sensasi yang tak tertahankan.
"Terima kasih," ucap Gio, suaranya berat, mengungkapkan rasa syukur yang tulus. Ia menggenggam tangan Milea, jari-jarinya bertaut erat.
"Hmmm," Milea hanya bergumam, tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya, mengeringkan rambut Gio yang masih setengah basah. Sentuhannya semakin lembut, membuat Gio merasakan getaran yang tak biasa.
Beberapa menit kemudian, rambut Gio kering sempurna. Milea meletakkan hairdryer. "Sudah," katanya, suaranya sedikit bergetar.
"Apa kamu mau Melakukan nya malam ini?" Gio bertanya, tatapannya menggoda, menembus jiwa Milea. Ada hasrat yang tak tertahankan dalam tatapannya.
Milea mengangguk, senyumnya merekah. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia sangat ketagihan akan sentuhan Gio, akan permainan cinta yang selalu membuat tubuhnya bergetar.
Gio mulai mencium bibir Milea, lembut dan penuh gairah. Ciumannya begitu dalam, menarik Milea ke dalam pusaran kenikmatan.
Milea terbuai, merasakan cinta dan penghargaan yang selama ini ia rindukan. Gio tak lagi memperlakukannya seperti barang, melainkan sebagai wanita yang diinginkan nya.
Perlahan, Gio menarik Milea ke ranjang. Tubuh mereka bersentuhan, kulit bertemu kulit, menciptakan percikan api yang membakar hasrat.
Ciuman Gio turun ke leher Milea, menelusuri setiap lekuk tubuhnya yang indah. Tangannya menjelajahi setiap inci kulit Milea, hingga mencapai titik-titik sensitif yang membuat Milea mendesah.
Mereka bercinta tanpa sehelai benang pun, tubuh mereka saling bertaut, menyatukan jiwa dan raga. Hentakan demi hentakan Gio, membuat Milea meronta, mengeluarkan desahan-desahan yang penuh kenikmatan.
"Ahhhhh…"
"Panggil namaku, Milea," Gio berbisik, suaranya serak karena gairah.
"Ahhh… Gio… yaahhhh… ahhhhh…" Milea meracau, nama Gio terlontar dari bibirnya, mencampur adukkan kenikmatan dan kepuasan.
"Argghhhh… sayang… aku mencintaimu, Milea," Gio meracau, suaranya bercampur dengan desahan, menyatukan cinta dan gairah dalam satu kesatuan yang sempurna.
Milea membalasnya dengan penuh gairah, menikmati setiap sentuhan dan hentakan Gio, menyatukan cinta dan hasrat dalam satu harmoni yang indah.
*
*
*
Mentari pagi menyelinap lembut melalui celah tirai, menyentuh kulit Milea yang masih tertidur lelap.
Tangan kekar Gio, hangat dan kokoh, masih melingkari pinggangnya seperti ikatan tak kasat mata.
Ia membuka mata, menatap wajah lelaki yang kini mengisi setiap ruang hatinya. Cinta, sebuah perasaan yang baru saja ia sadari sepenuhnya, bersemi begitu kuat dalam dadanya.
Namun, bayangan kata-kata Gio—bisikan-bisikan panas semalam—masih menghantui pikirannya. Benarkah itu kejujuran, atau hanya sekadar hasrat sesaat yang terucap di antara napas dan gairah?
Milea menarik napas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan keraguan yang mengusik. Perlahan, ia melepaskan tangan Gio. Namun, belum sempat tangannya sepenuhnya terlepas, Gio telah terbangun.
Lelaki itu menariknya kembali ke dalam pelukan hangat, aroma maskulinnya membuai indra Milea.
"Terima kasih, Milea," bisik Gio, suaranya berat dan serak khas bangun tidur, matanya masih terpejam.
"Hmm, sudahlah, aku harus mandi. Dominic pasti mencariku sebentar lagi," jawab Milea, sedikit terburu-buru.
"Kamu seperti ibunya saja," gumam Gio, kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa dipikirkan.
Pertanyaan itu muncul begitu saja, tanpa Milea sadari, "Memang aku tidak boleh menjadi ibu Dominic?"
Mata Gio terbuka lebar, menatap Milea dalam-dalam. Rona merah merekah di pipi Milea. Ia buru-buru melepaskan pelukan Gio dan berlari ke kamar mandi, jantungnya berdebar kencang.
"Astaga, Milea! Bisakah kau mengendalikan perasaanmu?!" Milea menggerutu pada dirinya sendiri di balik cipratan air. Ia membasahi tubuhnya, memilih wewangian favoritnya. Hari ini, entah kenapa, ia ingin tampil lebih dari biasanya.
Setelah mandi, ia keluar dari kamar mandi. Gio sudah tidak ada di sana. Milea merias wajahnya dengan tipis, kecantikan alaminya semakin terpancar, terlihat elegan dan memesona. Ia mengenakan dress mini tanpa lengan, rambutnya terurai, menciptakan perpaduan yang sempurna.
Baru saja ia akan melangkah keluar kamar, pintu terbuka. Gio berdiri di ambang pintu, terpaku. Ia terpesona oleh penampilan Milea yang begitu segar dan cantik.
"Kamu cantik," ucap Gio, suaranya terdengar tak percaya, seakan terhipnotis oleh kecantikan Milea.
"Terima kasih," jawab Milea, pipinya kembali merona.
"Tante Milea!" Suara Dominic memecah lamunan Gio. Bocah kecil itu berlari menghampiri Milea, menggegam tangannya.
"Waaaah, Tante, cantik sekali!" seru Dominic, matanya berbinar.
"Terima kasih, sayang," jawab Milea, berjongkok agar sejajar dengan Dominic.
"Ayo ke taman, Tante!" Dominic menarik tangan Milea, mengajaknya bermain.
Milea berlari kecil mengikuti langkah Dominic, meninggalkan Gio yang hanya bisa memandang mereka berdua, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya..
"Apa reaksimu jika tahu Dominic adalah keponakanmu, Milea?" Gio menggumam, suaranya hampir tak terdengar, lebih seperti bisikan.
Pertanyaan itu menggantung di udara, sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja
Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya gelisah. Ia ingin sekali menceritakan semuanya pada Milea, menumpahkan beban yang selama ini ia pendam.
Namun, ini bukan waktu yang tepat.
Alessandro, bayangan gelap masa lalunya, menghantui pikirannya. Gio tak ingin Alessandro tahu tentang Dominic, anak kecil yang tak pernah diinginkan oleh ayahnya sendiri.
Baginya, Alessandro tak berhak tahu, bahkan tak berhak untuk sekadar mengenal Dominic, Alessandro malah lebih memilih menjadi seorang polisi daripada harus bertanggung jawab atas Berlin dan Dominic.
Pikirannya dipenuhi dilema, antara kejujuran dan perlindungan, antara cinta dan rahasia.
Gio benar benar dilema akan hal itu
.. mampir juga thor ke ceritaku kasih saran dan kritik nya terimakasih 😊
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰