"Jadilah adik maduku Lia!" Satu permintaan Alina kepada Melia yang membuat kisah persahabatan mereka diwarnai dengan perdebatan. Dan dari sinilah kisah mereka dimulai.
Alina terus berusaha mendesak Melia untuk memenuhi permintaannya itu. Berbagai penolakan yang dilakukan oleh Melia membuat Alina menghindarinya. Lalu bagaimanakah Melia menanggapi sikap Alina? Akankah Melia menyetujui permintaan Alina tersebut?
Ikuti terus kisah mereka yang ada dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ieie fla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Raka - Bertemu Melia
POV Raka
___
Sudah berbagai cara kulakukan agar Alina kembali seperti sedia kala, namun sikapnya masih saja dingin kepadaku. Kuyakinkan pada Alina bahwa Lia pasti bisa mencari kebahagiaannya sendiri, namun Alina tak setuju. Ah sial, kenapa sih si Bara malah menghilang, menambah bebanku saja! Seharusnya kan dia yang menjadi pendampingnya Lia. Andai saja mereka masih bersama, sudah pasti mereka akan menikah. Tentunya Alina tidak mungkin meminta diriku untuk poligami. Apa aku harus menemui Melia ya? Pikirku lagi.
***
Hari ini ku putuskan untuk menemui Melia, siapa tahu ada solusi dari permasalahanku dengan Alina. Dia pasti tahu sesuatu tentang apa yang terjadi dengan istriku itu.
Kuparkir mobilku di pelataran parkir disamping kantor Melia. Setelahnya aku segera masuk melangkah ke arah resepsionis depan untuk bertanya keberadaan Melia. Tapi tak ku sangka, dari tempatku saat ini berdiri, dapat kuliah langsung sosok Melia yang sedang melamun di toku buku yang ada tepat di samping ruang resepsionis. Akupun berjalan menghampirinya, tapi tampaknya Lia masih tak menyadari keberadaanku. Aku tahu jika Lia sudah berada di toko buku, biasanya dia akan fokus dan mengabaikan sekitarnya.
"Assalamu'alaikum Lia", sapaku untuk membuyarkan lamunannya.
"Walaikumsalam Mas!" Jawabnya, tampak sekali jika dia terkejut dengan kedatanganku.
Akupun mengajaknya berbicara di Cafe sebelah, dia pun menyetujui dan akan segera menyusulku katanya.
Aku berlalu menuju Cafe tempat kami akan bertemu. Sukurnya Cafe ini belum terlalu banyak pengunjung, jadi akupun memilih tempat duduk di sudut ruangan agar nyaman tuk berbincang. Tak lupa aku langsung memesan minuman Jus Alpukat untuk Lia dan kopi untukku. Yah memang aku tahu minuman kesukaan Melia karena sudah seringnya kami bertemu, tentu saja Alina juga sering bercerita tentang sahabatnya itu.
Tak berselang lama Lia pun datang menemuiku, sigap aku hendak membantu menarik kursi untuknya, namun dia menolak. Aku langsung saja setelahnya menawarkan minuman yang baru saja datang. Dia langsung menyeruput jus tersebut dan akupun meminum kopiku.
Setelah berbasa basi dengan menawarkan makanan, Lia ternyata langsung berdehem dan memulai percakan untuk menanyakan maksudku menemuinya. Sungguh suasana yang cukup canggung yang kurasakan saat ini. Padahal biasanya kami sering sekali terlibat dalam percakapan yang seru. Dia sangat pintar menurutku. Berbeda dengan Alina yang selalu menjadi pendengar yang sangat baik untukku, Lia malah sangat aktif untuk bertanya ini dan itu. Maklum lah dia kutu buku.
Aku segera meperbaiki posisi dudukku agar tak terlihat kaku di depan Melia.
"Begini Lia Mas mau tahu apa Alina belakangan ini ada mengatakan sesuatu kepadamu?" Aku pun juga langsung saja menanyakan inti dari kedatanganku menemuinya. Yah gak mungkin ada alasan lain lah.
"Maksud Mas gimana?" dia malah menjawabku dengan balik bertanya. Apa dia tidak tahu ya?
Aku menarik nafas berat dan membuang muka kearah jalan. Setelah diam sejenak, aku kembali memandang Melia. Lalu aku menjelaskan detail permasalahan yang ku hadapi dengan Alina saat ini, sehingga akupun harus menemui dirinya. Dia tampak mengerti akan masalahku. Dia tak kaget ataupun memberikan reaksi yang sebaliknya. Jadi ku simpulkan jika Melia sudah tahu duduk perkaranya. Setelah itu kami sama-sama terdiam dalam pikiran masing-masing.
Hingga kemudian aku memberanikan diri memanggilnya, "Lia.."
"Ya.." dia mendongakkan wajahnya untuk menatapku.
"Apa kamu mau menikah..?" ucapku dengan ragu. Bukan tanpa alasan aku bertanya demikian. Aku hanya ingin memastikan jika Lia mempunyai keinginan untuk segera menikah mungkin dia bisa memulai hubungan yang baru dengan lelaki lain, bukan denganku. Sehingga Alina tidak lagi mempunyai pikiran untuk menjadikannya Adik madu.
Tentu saja aku mengungkapkannya dengan hati-hati agar tak menyinggung perasaan Melia. Akan tetapi respon nya diluar perkiraanku. Aku salah ternyata, dia seketika memposisikan dirinya seolah sedang mengintimidasi. Apa aku salah bicara ya pikirku.
"Maksud Mas, aku mau menikah denganmu seperti yang diinginkan oleh Alina mas? Maaf Mas, bahkan jika Alina tidak ada pun aku belum tentu mau menjadi istrimu Mas!"
Aku cukup terhenyak mendengar pernyataan Melia barusan. Bahkan diapun dengan tegas menolakku. Seketika harga diriku sebagai lelaki sedikit terkoyak karena ditolak seorang wanita. Padahal kan kalau dipikir aku tidak jelek, lumayan ganteng malah dan berduit juga. Aduh, kenapa aku malah memikirkannya dan merasa tersinggung ya? Bukankah ini yang ku mau? Sebuah kejelasan bahwa kami sama-sama tak ada keinginan untuk bersama. Akupun langsung berusaha mengontrol diri dan menjelaskan selembut mungkin padanya, bahwa situasiku saat ini sangat lah sulit menghadapi sikap Alina.
Aku memijat pelipis kepalaku karena rasa pusing yang datang tiba-tiba. Lalu aku mendongakkan kepalaku untuk menghadap Lia, dan seketika mata kami bertemu dengan jarak yang dekat karena posisiku yang juga agak maju. Dapat kulihat Lia sebenarnya sangat cantik dengan lesung pipinya, kenapa ya Bara bisa meninggalkan Melia? Ya ampun Raka, yang cantik di dunia ini hanya Alina dan mama, eh tambah satu lagi bunda nya Alina, hehe.
Seketika kamipun menjaga pandangan dan aku melanjutkan pembicaraan yang masih ingin kusampaikan.
"Li, kamu kan yang paling mengenal Alina, mungkin kamu bisa bantu Mas mengatasi masalah ini, karena ini juga berhubungan denganmu. Mas ngerti kini situasinya jadi canggung begini, tapi mungkin bisa kita perbaiki". Aku berusaha membujuk Melia.
Lia tampak tak menyangkal pernyataanku. Kami pun sepakat akan duduk bersama dengan Alina untuk menyelesaikan masalah ini.
"Tapi Mas memangnya ga ada buat salah apa gitu sama Alina," tiba-tiba saja Lia malah bertanya demikian, apa mungkin dia mengira semua ini berawal dariku? Perasaan aku tak pernah berperilaku aneh ataupun melakukan kesalahan pada Alina.
Aku melihat Melia dan langsung berkata, "Mas rasa Mas gak pernah menyakiti Alina, kamu pasti tahu bahwa Mas sangat mencintai Alina, Lia." jawabku jujur apa adanya. Akupun jadi berpikir, sebenarnya adakah sesuatu yang disembunyikan Alina? Sepertinya begitu! Saat ini kami hanya bisa menerka yang tidak pasti. Hal ini tidak bisa dibiarkan lagi berlarut. Aku harus mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi.
Bersamaan dengan itu, ponselku berdering. Aku merogoh saku jas dan mengambil benda pipih tersebut. "Bunda.." celetukku pelan saat melihat nama kontak yang tertera dilayar. "Bentar ya Lia," sahutku kepada Melia.
"Assalamu'alaikum Bunda." Aku langsung mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.
"Walaikumsalam Raka, kamu dimana? Cepat datang sekarang juga ke rumah sakit M***pada Hospital! Alin..Alina lagi dirawat!"
Aku terpaku tak mampu berpikir, yang dapat kudengar hanya isak tangis Ibu mertuaku. Aku terkesiap dan langsung panik. Kuambil jasku yang menggantung disandaran kursi, tak lupa aku mengeluarkan selembar uang merah dan meletakkannya diatas meja.
"Ayo kerumah sakit Lia...!"
...
Bersambung
padahal ceritanya menark
entar tau rasa loh lakinya cinta mati ke lin... ahhh dia egois gak mikirin perasaan temennya bahagia apa enggak