NovelToon NovelToon
Pengantin Dunia Lain

Pengantin Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:749
Nilai: 5
Nama Author: BI STORY

Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kamu Dimana, Alice?

Jam 03.15 WIB. Malam yang pekat.

​Aline duduk di tepi tempat tidurnya, lututnya ditekuk dan dipeluk erat. Lampu tidur kecil di nakas memancarkan cahaya kuning redup, tetapi tidak mampu mengusir kegelapan di hatinya.

Wajahnya pucat, matanya merah dan bengkak, sisa tangisan yang sudah mengering.

​Di sampingnya, bantal Alice masih rapi dan dingin.

Aline bermonolog dengan suara serak.

"Alice... kenapa? Kamu di mana?"

​Aline bangkit, berjalan mondar-mandir seperti pendulum yang kehilangan ritme. Ia meraih bingkai foto dirinya bersama Alice, yang di dalamnya mereka berdua tertawa lebar dengan pakaian kembar. Kemiripan mereka begitu mutlak, namun kekosongan di hatinya kini membuat mereka terasa seperti dua dunia yang berbeda.

​​Aline menutup mata, mencoba mengingat jam-jam terakhirnya bersama Alice tawa kecil mereka saat makan malam, janji Alice untuk mencuci piring keesokan paginya.

​"Sudah hampir pagi."

​Aline kembali berbaring, berharap bangun dari mimpi buruk ini. Detik jarum jam di dinding terasa seperti palu godam yang memukul dadanya. Malam itu adalah siksaan yang tak berkesudahan.

Jam 07.00 WIB.

​Aline duduk di sofa, masih mengenakan pakaian yang sama dengan semalam, rambutnya acak-acakan. Ia menyesap kopi dingin yang sudah tidak enak, menatap pintu.

​Terdengar ketukan berirama, berat dan tegas. Jantung Aline mencelos.

​Ia membuka pintu. Di sana berdiri dua sosok berseragam cokelat gelap.

Komisaris Andi, dengan sorot mata yang serius, dan Aipda Radith, yang tampak sedikit kelelahan.

​"Selamat pagi, Aline. Maaf kami baru datang." ucap komisaris Andi.

​"Bagaimana, Komandan? Ada kabar? Apakah... apakah dia sudah ditemukan?" tanya Aline.

​Komisaris Andi menukar pandangan dengan Aipda Radith sebelum melangkah masuk.

"Kami sudah mengerahkan semua tim, Aline. Pencarian berlanjut sepanjang malam di area yang kami duga. Kami sudah memeriksa rekaman CCTV dari minimarket terdekat dan menghubungi semua teman Alice termasuk Risa." jawab komisaris Andi.

"Kami mohon maaf, saat ini, belum ada perkembangan berarti. Kami belum bisa menemukan jejaknya." kata Aipda Radith.

​Kata-kata "belum ada perkembangan" dan "belum bisa menemukan" menghantam Aline seperti pukulan tak terduga. Ia mundur selangkah, berpegangan pada sandaran sofa. Air mata yang sudah habis semalam, kini mulai menggenang lagi.

Aline dengan suara bergetar bertanya,

"Belum ada? Tapi... sudah hampir semalaman, Komandan! Gak mungkin Alice hilang begitu saja! Dia bukan tipe orang yang pergi tanpa pesan! Kalian sudah periksa ke rumah sakit? Ke kantor polisi di kota sebelah?"

​"Kami mengerti kecemasan Anda. Kami sudah mencatat semuanya." ucap Komisaris Andi.

Komisaris Andi hanya bisa menatapnya dengan rasa iba. Tugasnya adalah mencari fakta, namun ia mengerti beban emosional Aline.

Beberapa saat kemudian.

​Saat tangisan Aline terdengar hingga keluar, pintu depan kembali terbuka, kali ini tanpa ketukan. Masuklah Pak Hartono dan Bu Miranti, tetangga yang tinggal tepat di seberang jalan. Bu Miranti membawa sebuah wadah berisi bubur hangat, dan Pak Hartono membawa air minum.

"Nak Aline."

​Bu Miranti segera meletakkan bubur dan berjongkok di samping Aline, memeluknya dengan erat. Pelukan itu terasa seperti pelukan seorang ibu, memecahkan sedikit benteng keputusasaan Aline.

Pak Hartono menyapa Komisaris Andi dan Aipda Radith dengan anggukan hormat.

"Terima kasih atas kerja keras Bapak-bapak. Kami kemari hanya untuk melihat keadaan Aline." ucap Pak Hartono.

​Komisaris Andi mengangguk,

"Sama-sama, Pak. Kami akan melanjutkan koordinasi dari posko. Dek Aline, kami akan terus memberi Anda kabar setiap ada perkembangan, sekecil apa pun itu. Anda harus makan dan istirahat."

​Komisaris Andi dan Aipda Radith pamit undur diri, meninggalkan Aline bersama dua tetangga yang peduli itu.

Bu Miranti mengusap punggung Aline.

"Sudah, Nak. Jangan terus-menerus terpuruk begini. Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan kita. Alice itu anak yang baik, pasti dia akan segera kembali. Kamu harus kuat, Nak. Alice butuh kamu kuat saat dia udah pulang nanti."

​"Betul kata istri saya. Makan bubur buatan Miranti biar kamu ada tenaga. Kami tahu kamu cemas, kami juga ikut berdoa. Sekarang, fokus pada hal-hal kecil, minum, makan, dan berdoa. Serahkan sisanya pada petugas kepolisian." ucap Pak Hartono.

​Aline mengangkat wajahnya, menatap Pak Hartono dan Bu Miranti. Kehangatan sederhana dari tetangganya itu adalah satu-satunya jangkar yang membuatnya tidak sepenuhnya tenggelam.

Ia mengangguk lemah, menerima suapan bubur hangat dari Bu Miranti.

​Meskipun rasa cemas masih memelintir perutnya, kini ia tidak lagi sendirian di tengah penantian yang menyakitkan ini.

"Gimana rasanya Nak?" tanya Bu Miranti.

Aline menangguk lalu menjawab pelan,

"Enak Bu. Makasih ya?"

"Sama-sama sayang." balas Bu Miranti.

​Pagi yang masih dingin. Dimas tiba di rumah Aline. Ia membuka pintu dan masuk dengan tergesa-gesa.

Dimas dengan suara terengah-engah dan mata mencari,

"Aline!"

​Ia segera menemukan Aline yang duduk di sofa ruang tamu, ditemani oleh Bu Miranti dan Pak Hartono yang duduk di kursi terpisah.

​Wajah Aline tampak pucat dan matanya menunjukkan lingkaran hitam seperti mata panda karena kurang tidur. Di sampingnya, Bu Miranti menggenggam tangan Aline dengan lembut. Pak Hartono mengangguk perlahan ke arah Dimas.

Bu Miranti sudah kenal dengan Dimas karena Alice pernah memperkenalkan Dimas kepada Bu Miranti tempo hari.

"Nak Dimas, syukurlah kamu datang." ucap Bu Miranti.

​Dimas berjalan cepat, berlutut di depan Aline, dan menatap Aline dengan tatapan iba.

​"Lin, kamu baik-baik aja?"

​Aline dengan suaranya yang serak dan pelan menjawab,

"No, Dim. "

"Aku tahu kamu khawatir. Aku lebih khawatir lagi. Tapi kita harus kuat. Bagaimana kabarnya? Ada perkembangan dari polisi?" tanya Dimas.

​Aline menarik napas panjang, mencoba menahan tangisnya.

"Polisi... sudah berusaha mencarinya sejak semalam. Mereka bilang sudah menyisir beberapa tempat yang mungkin didatangi Alice, tapi... belum ada kabar, Dim. Belum ketemu."

​Dimas merasakan jantungnya berdebar kencang. Raut wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam.

​"Belum ketemu? Tapi... Alice itu ke mana? Dia tidak mungkin... pergi tanpa bilang apa-apa."

​Pak Hartono dengan suara tenang namun serius berkata,

"Sabar dulu, Nak Dimas. Jangan ambil kesimpulan terburuk dulu. Kami di sini mencoba membantu dan terus mendoakan yang terbaik."

​Dimas menoleh sebentar ke arah Pak Hartono, lalu kembali fokus pada Aline. Dimas duduk di samping Aline.

"Aku akan ikut mencari calon istriku. Kita akan temukan Alice. Aku janji Lin."

​"Ya Dim, kita harus mencarinya sampai ketemu. Aku gak mau saudara kembar aku kenapa-napa. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya, sekarang."

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!