Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peti Besi Di Dalam Bangunan Lama
Dua hari setelah melarikan diri dari Desa Raga Pati, Bian dan Tiara tiba di sebuah kota kecil yang dulunya merupakan pusat bisnis Kakek Pranoto. Mereka kelelahan, pakaian mereka bau, dan Liontin Tumbal masih terasa dingin membakar di saku Bian.
Mereka menyewa kamar hotel kecil, tetapi ketenangan tidak pernah datang. Setiap suara ketukan di pipa, setiap bayangan yang melintas di balik tirai, selalu terasa seperti Arwah Tumbal yang merayap mendekat. Tiara sering terbangun dengan jeritan, yakin ia melihat bayangan Wanita Pucat di sudut kamar, yang perlahan menghilang saat Bian menyentuhnya.
Bian tahu mereka tidak bisa lagi lari. Liontin Tumbal adalah peta mereka, dan itu menuntun mereka ke sebuah bangunan kumuh di pusat kota lama. Kantor Pemasaran Pranoto & Rekanan, yang kini telah menjadi gudang kosong.
"Kakek mengira dia lari dari masalahnya, padahal dia hanya memindahkannya," ujar Bian getir, menatap gedung tua berlumut itu.
Dengan sisa uang yang diberikan Fajar, Bian menyuap penjaga malam di gudang untuk mendapatkan akses. Ia mengaku sebagai ahli waris yang ingin mengambil dokumen lama.
Di dalam, udara pengap dan bau bahan kimia menyambut mereka. Tumpukan kardus, rak besi yang miring, dan sarang laba-laba raksasa mengisi setiap sudut.
Liontin Tumbal di saku Bian mulai berdenyut, mengeluarkan getaran yang terasa di telapak tangan Bian.
"Liontin ini bereaksi," bisik Tiara, menggigil. "Kita di tempat yang tepat."
Mereka mengikuti getaran liontin itu, yang membawa mereka ke ruang belakang, ruangan yang dulunya adalah kantor pribadi Kakek Pranoto. Ruangan itu kosong, hanya menyisakan meja kayu besar yang sudah lapuk.
Di bawah meja, lantai kayu terlihat sedikit lebih baru. Bian mengeluarkan perkakas darurat yang dibelinya dan mulai membongkar lantai. Setelah dua puluh menit yang melelahkan, mereka berhasil menyingkirkan papan kayu itu.
Di bawahnya, bukan tanah, melainkan semen tebal. Bian menemukan sebuah cincin besi kecil yang tersembunyi.
"Ini seperti pintu ruang bawah tanah," kata Bian. Dengan susah payah, ia menarik cincin besi itu.
Semen itu terbelah, memperlihatkan sebuah tangga batu sempit yang menurun ke dalam kegelapan yang pekat. Udara dingin yang sama, yang mereka rasakan saat pertama kali masuk ke rumah warisan, menyeruak dari bawah tanah.
"Ini dia. Tempat paling gelap," kata Tiara, suaranya dipenuhi rasa takut sekaligus lega. "Ini pasti tempat di mana Kakek Pranoto mencoba menyembunyikan kebenaran."
Mereka turun ke bawah tanah. Ruangan itu kecil, lembab, dan berbau seperti logam berkarat. Di tengah ruangan, berdiri sebuah peti besi besar yang menyerupai brankas kuno.
Peti itu sangat tebal, seolah dirancang untuk menahan ledakan. Liontin Tumbal di tangan Bian kini bergetar begitu keras hingga terasa ingin melompat.
Di atas peti besi itu, diukir sebuah simbol yang membuat Tiara terkesiap, Simbol Mata Tunggal yang ia lihat di kotak kayu, di telapak tangan Jaga, dan di lantai setelah Mbah Pawiro menghilang.
"Simbol itu..." Bian menyentuhnya.
"Itu adalah tanda sumpah," jawab Tiara, suaranya tercekat. "Itu bukan hanya milik Mbah Pawiro atau Jaga. Itu adalah milik perjanjian yang mengikat Arwah Tumbal."
Peti itu tidak memiliki lubang kunci biasa, melainkan sebuah cekungan melingkar kecil di permukaannya. Bian secara naluriah tahu apa yang harus dilakukan. Ia mendekatkan Liontin Tumbal ke cekungan itu.
Liontin itu terasa seperti magnet yang ditarik kuat. Begitu Liontin Tumbal masuk ke cekungan, terdengar bunyi klik yang memekakkan telinga, dan mekanisme kuno di dalam peti itu mulai bergerak.
Saat peti itu terbuka dengan suara gesekan logam yang panjang, mereka menahan napas. Mereka berharap menemukan buku harian kakek, atau mungkin tulang-belulang Arwah Sari yang sebenarnya.
Namun, di dalamnya, bukan tulang atau buku harian.
Yang ada hanyalah sebuah lilin hitam besar yang diukir dengan simbol kuno. Di samping lilin itu, tergeletak sebuah gulungan kulit yang terikat tali.
Bian meraih gulungan kulit itu. Tangannya gemetar saat ia membukanya. Itu adalah tulisan tangan Kakek Pranoto, yang tampak seperti pengakuan dosa terakhir:
...Sari tidak bersalah. Aku yang melarikannya dari Ritual Tumbal yang diatur oleh Pawiro, tetapi kami gagal. Pawiro mengorbankan Sari, dan ia menanamkan sumpah pada arwahnya. Liontin ini adalah janjiku untuk membebaskannya dari sumpah itu, bukan mengurungnya. Liontin ini adalah kunci kebebasan.
Aku mengunci semua ini di bawah kantor ini, bukan di rumah Desa, karena Kutukan itu terikat pada sumpah, dan sumpah itu terikat pada lilin hitam ini. Lilin ini adalah inti dari segala kutukan. Selama lilin ini menyala, siklus tumbal akan terus berlanjut. Untuk mematahkan sumpah, lilin ini harus dimusnahkan. Tapi hati-hati, Pawiro tahu cara menghidupkannya kembali.
Pengakuan itu mengkonfirmasi segalanya Mbah Pawiro adalah pelaku utamanya, Liontin adalah kunci untuk membebaskan Arwah Tumbal, dan Lilin Hitam adalah inti dari Kutukan Abadi.
"Lilin ini," kata Tiara, menunjuk. "Ini yang mengikat Arwah Tumbal pada Desa Raga Pati dan memaksa siklus tumbal setiap sepuluh tahun."
Saat mereka berbicara, Liontin Tumbal yang masih berada di cekungan peti tiba-tiba menyala dengan cahaya merah pucat.
Dari luar ruangan bawah tanah, terdengar bunyi derit logam yang keras. Pintu masuk ke bawah tanah, yang seharusnya terbuka, kini tertutup rapat!
Mereka terperangkap.
Lalu, terdengar suara langkah kaki yang berat, bukan dari tangga, melainkan dari atas kepala mereka. Langkah kaki itu sangat lambat dan diseret.
Seret... Seret...
Itu adalah suara langkah kaki yang sudah mereka kenali.
"Jaga," bisik Bian. "Dia mengikuti kita, seperti yang kita duga."
Namun, di dalam pikiran Bian, ia mendengar suara lain, suara yang dingin dan berwibawa, yang tumpang tindih dengan suara langkah Jaga.
"Aku mengawasimu, Nak Pranoto. Dan sekarang, kau telah membuka kotak itu untukku."
Langkah kaki itu berhenti tepat di atas mereka. Tiara mendongak, matanya penuh horor.
Dari celah kecil di antara batu tangga, mulai menetes cairan hitam kental yang berbau seperti tanah basah.
"Dia ada di atas kita," kata Tiara. "Arwah Tumbal. Dia ingin lilin itu."
Bian mencengkeram gulungan itu. "Tidak! Arwah Tumbal ingin dibebaskan! Yang menginginkan lilin ini hidup adalah Mbah Pawiro, yang kini merasuki Jaga!"
Saat cairan hitam itu menetes semakin deras, Lilin Hitam di peti besi tiba-tiba menyala sendiri dengan api hijau kecil, tanpa ada sentuhan.
Kutukan itu sudah aktif kembali.
Dari peti besi, di balik Lilin Hitam yang menyala, muncul bayangan yang sangat samar. Itu adalah wajah Arwah Tumbal, yang kini tertawa histeris.
"Kau terlambat, cucu Pranoto! Kutukan ini adalah aku! Dan sekarang, aku bebas sepenuhnya!"
Arwah Tumbal itu tidak lagi ingin dibebaskan. Ia telah mengambil alih peran Mbah Pawiro.
Tiba-tiba, suara LILIN itu berbicara, suaranya dalam dan bergetar, mirip dengan suara Mbah Pawiro.
"Kau telah membawaku ke sini, Nak Bian. Kini giliranmu untuk menyalakanku dengan darahmu, dan membuatku abadi."
Bian dan Tiara menatap ngeri pada Lilin Hitam yang menyala, menyadari bahwa Mbah Pawiro telah mentransfer kesadarannya ke dalam Lilin Kutukan, dan ia bersekutu dengan Arwah Tumbal.
Mereka terperangkap di ruang bawah tanah, bersama kunci kutukan dan dua entitas yang ingin mengakhiri hidup mereka.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"