Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Bu Maryam yang sedang melipat baju hanya melirik santai. “Makanya jangan keluyuran mulu.”
“Ma… orang cari sinyal!” Aira memonyongkan bibir.
“Bete tahu, Ma. Mau ngapain coba? Percuma aku kuliah.”
Pak Hadi yang sedang memotong buah langsung menanggapi tenang. “Gak ada yang percuma, Aira. Banyak-banyak bersyukur. Ilmu itu pasti kepake.”
Aira menatap papanya, masih cemberut. “Terus… aku harus gimana? Aku di sini cuma bisa bengong, no signal, no life.”
Pak Hadi tersenyum tipis. “Kamu bisa memanfaatkan ilmu kamu. Bisa mengajar anak-anak kecil di sini.”
Aira mengerjap. “Buka les?” tanyanya heboh, seperti mendapat ide emas.
“Nah itu baru...”
ucap Bu Maryam senang, tapi langsung diinterupsi Pak Hadi.
“Tapi baju kamu harus diganti dulu.”
Aira langsung mendengus keras. “Ish, Papa ini! Kenapa semua baliknya ke baju sih?”
Lalu dia termenung sebentar, memandang kaus crop top dan celana pendeknya. “Lalu Papa kerja apa di sini?”
Pak Hadi hanya tersenyum misterius sambil menyuapkan buah ke mulutnya. “Lihat besok.”
Aira mengangkat alis tinggi. “Ish! Apa sih maksudnya? Papa jangan bikin aku penasaran, dong!”
Aira memang penasaran. Sejak satu tahu lalu... Setelah pensiun Pak Hadi hanya diam di rumah. Beliau hanya membantu pekerjaan rumah dan mengantar jemput dieinya ke kampus.
Memang, rumah yang di kota itu sudah dijual, Aira hanya berpikir kalau papanya memakai uang penjualan rumah di kota untuk kebutuhan sehari-harinya.
Pak Hadi cuma terkekeh, semakin membuat Aira penasaran setengah mati.
***
Keesokan harinya.
Pagi ini Aira terbangun karena suara riuh dari luar rumah. Ada suara ibu-ibu berbincang, suara sandal gesek di tanah, dan aroma masakan menyengat dari dapur.
Begitu membuka gorden, Aira langsung TERLONJAK.
Di halaman rumah, sekumpulan ibu-ibu berdiri rapi. Semuanya memakai jilbab rumahan, baju lengan panjang, celana longgar, semua pakaian itu terlihat lusuh, di kepalanya mereka memakai topi yang terbuat dari anyaman bambu. Tapi wajah mereka terlihat semangat empat lima.
“Astaghfirullah… Mama… ADA APA di rumah kita?! Kita… di demo?!”
Aira langsung kabur ke dapur, hampir terpeleset.
Bu Maryam yang lagi sibuk membungkus nasi memakai daun pisang cuma melirik sekilas. “Tuh, melek juga.”
“Allahu Akbar…” Aira semakin melotot melihat gunungan nasi, ayam suwir, oseng tempe, dan plastik-plastik snack. “Mama mau bikin pesta apa? Atau… Mama mau ngungsi? Ini kenapa ibu-ibu pada datang?!”
Bu Maryam tetap santai. “Kamu ganti baju.”
“Hah? Kok aku?! Mama jelasin dulu, kita ini kenapa?!”
“Kamu ikut mama nanti.” Jawabannya pendek, misterius, dan membuat Aira frustasi.
“Ma… kita di-apa-in? Kok kayak acara istighosah nasional?!” Aira memegang kepala sendiri. “Aku baru bangun tidur, terus tiba-tiba rumah kayak posko bencana…”
Bu Maryam menatapnya sebentar, ekspresinya serius tapi ada senyum tipis. “Pokoknya kamu ikut. Udah, ganti baju aja dulu yang cocok.”
“Cocok buat apa?” Aira semakin heboh.
Tapi sebelum ia sempat mendesak lagi, salah satu ibu dari luar rumah teriak, “Bu Maryam, ini sambelnya mau ditambahin apa sudah cukup?”
Bu Maryam menjawab sambil jalan keluar, “Udah cukup, Bu Yayah.”
Aira mengeong sendiri di dapur. “Mamaaa… tolong jelasin dikit kek! Aku ikut siapa? Mau kemana? Aku harus siapin mental apa?!”
Tapi tak ada jawaban. Hanya bau ayam suwir dan ibu-ibu yang cekikikan di luar. Karena tidak ingin ditinggal, Aira memilih masuk ke kamar untuk mandi dan ganti baju sesuai arahan mamanya.
***
Aira keluar kamar sambil menenteng handuk kecil. Ia baru saja selesai mandi, lama juga milih baju... karena pikirannya masih penuh tanda tanya, apalagi Bu Maryam tadi memasang gaya misterius.
Akhirnya ia memilih dress putih simpel, bahannya jatuh dan adem. Make up tipis: bedak, lip balm warna natural, dan sedikit blush supaya tidak terlihat pucat. Rambutnya dibiarkan tergerai rapi.
Ia merasa percaya diri. Ya kali disuruh ikut acara resmi, mana tahu kan… Pikirnya begitu.
Tapi begitu keluar ke ruang tengah...
Sepi. Kosong. Sunyi.
Ibu-ibu tadi hilang semuanya.
“Mama…? Kalian kemana?!”
Aira celingak-celinguk.
Dari dapur terdengar suara Bu Maryam, “Mama di belakang, Ra.”
Aira buru-buru menuju pintu belakang.
Begitu membuka pintu... ia langsung kena terpaan angin sawah.
Tidak ada Bu Maryam.
Yang ada… ibu-ibu tadi sudah pada turun ke sawah, berjalan beriringan sambil membawa nasi bungkus, termos besar, dan baskom lauk.
Aira berhenti di ambang pintu. Melongo.
“Loh! MAMAAAA... ”
Tapi sebelum kalimatnya selesai, belokan kecil di sisi rumah memperlihatkan pemandangan itu jelas—ibu-ibu sudah menoleh ke arahnya.
Mereka berhenti. Semua tertegun beberapa detik.
Kemudian...
BRUK!
Tawa mereka meledak bersamaan.
"Yaa Allah, Aira..."
"Ke sawah pakai dress putih!"
"Cocoknya buat lamaran, Neng. Bukan nanam padi!"
"Aduh Neng, itu kalau kena lumpur... Bisa nangis seharian!"
Aira berdiri kaku. Seperti ingin pingsan.
Dress putihnya berkibar tertiup angin, kontras banget sama beceknya tanah sawah.
Ia mencari-cari mamanya... tapi Bu Maryam sama sekali tidak ada di barisan itu.
“Mamaaa… jangan bilang mama sengaja ninggalin aku…” gumamnya lirih, hampir putus asa.
Ibu-ibu yang masih ngakak makin heboh melihat ekspresi Aira yang campuran antara syok dan malu berat.
Dan sawah itu… jauh. Dress putihnya… salah kostum total.
Beberapa menit Aira masih berdiri kaku di belakang rumah, dress putihnya berkibar, wajahnya pucat karena malu, sementara ibu-ibu yang masih di sawah terus cekikikan melihatnya.
Ternyata, bukan bersama rombongan ibu-ibu... Bu Maryam dan Pak Hadi ada sedikit jauh di sisi sawah, sedang duduk di bale-bale bambu. Di sana ada Ustadz Fathur yang tampak baru selesai mengecek bibit dan aliran air sawah.
Pak Hadi, dengan topi caping miring di kepala, tengah menjelaskan sesuatu.
“Jadi, Ustadz… bagian sini itu yang saya target untuk panen nanti. Sisanya nanti saya alihkan ke pondok, biar santri-santri merasakan hasil panen sawah ini.”
“Masya Allah, Pak Hadi. Semoga jadi amal jariyah,” jawab Ustadz Fathur sambil tersenyum.
Bu Maryam mengangguk-angguk bangga.
Tapi tiba-tiba... Dari kejauhan terdengar suara kecil, panik, penuh keputusasaan:
“MAMAAA…!”
Tiga pasang mata menoleh bersamaan.
Dan di kejauhan… Terlihat Aira berdiri di ujung pematang sawah. Sepertinya dia akan menghampiri ketiga orang itu.
Dengan dress putih, make up rapi, dan wajah… sangat tidak cocok untuk venue bernama sawah becek.
Ustadz Fathur sampai nge-freeze sebentar.
Kelopak matanya berkedip dua kali.
Dia jelas tidak siap menerima pemandangan Aira versi ‘mau kondangan tapi salah alamat’ itu.
Bu Maryam langsung jongkok, saking kuatnya menahan tawa.
“Ya Allah… anakkuuuu… Aku nggak kuat,” katanya sampai memegang perutnya.
Pak Hadi menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Astaghfirullahaladzim, Aira…” Ia geleng-geleng.
Antara kasihan, lelah, tapi… lucu. Sangat lucu.
Aira melangkah pelan mendekat, matanya sayu, bibirnya manyun seperti kucing kehujanan.
“Pa… Ma… Ini kenapa aku dipanggil, tapi kalian hilang?” Nada suaranya getir, penuh luka batin.
Ibu-ibu dari sawah mulai riuh lagi melihat Aira mendekat dan berjalan tidak seimbang di pematang sawah, dress putihnya kontras banget dengan lumpur yang menanti di setiap langkah pematang.
Ustadz Fathur akhirnya berdehem untuk menyembunyikan tawanya.
“Ehm… Neng Aira… mau ikut bantu menanam padi atau mau photoshoot prewedding di sawah?” katanya setengah berusaha sopan, setengah menahan tawa.
Aira menutup wajahnya pakai kedua tangan. “Ustadz jangan gituuu… malu tauuu…”
Bu Maryam jatuh terduduk di rumput, benar-benar tidak kuat. Pak Hadi cuma bisa menatap langit, pasrah.
Dan Ustadz Fathur?
Dia menunduk… lalu senyum kecil, senyum yang biasanya membuat para santri histeris. Tapi kali ini... yang histeris malah Aira, karena malu setengah mati.
Aira tetap berjalan pelan di pematang sawah, masih memegangi ujung dress putihnya, berusaha tetap terlihat elegan meski mata ibu-ibu sudah berkaca-kaca menahan tawa.
“Maaa… aku tuh cuma mau nanya kalian ke mana…”
Langkahnya goyah sedikit, tapi ia tetap maju.
Bu Maryam sudah berdiri lagi, bersiap menyambut anaknya... meski sambil senyum-senyum.
Namun…
Aira tidak melihat kalau di depannya ada bagian pematang yang licin.
Dan dalam hitungan detik: “Aaaarrgh!”
Byuuur...
Aira jatuh tepat ke lumpur sawah yang cukup dalam, dress putihnya langsung berubah warna jadi cokelat susu.
Pak Hadi dan Ustadz Fathur spontan berteriak:
“Aira!”
Bersambung