Vira, terkejut ketika kartu undangan pernikahan kekasihnya Alby (rekan kerja) tersebar di kantor. Setelah 4 tahun hubungan, Alby akan menikahi wanita lain—membuatnya tertekan, apalagi dengan tuntutan kerja ketat dari William, Art Director yang dijuluki "Duda Killer".
Vira membawa surat pengunduran diri ke ruangan William, tapi bosnya malah merobeknya dan tiba-tiba melamar, "Kita menikah."
Bos-nya yang mendesaknya untuk menerima lamarannya dan Alby yang meminta hubungan mereka kembali setelah di khianati istrinya. Membuat Vira terjebak dalam dua obsesi pria yang menginginkannya.
Lalu apakah Vira mau menerima lamaran William pada akhirnya? Ataukah ia akan kembali dengan Alby?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Drezzlle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Temperamen
“Abella!” pekik Alby, ia memanggil nama istrinya dengan suara yang menggelegar. Hingga semua tamu menyorot ke arah pertengkaran di antara Abella dan Lisa.
Nafas Abella tersengal-sengal, matanya membulat tajam. “Lihat saja nanti, akan aku buat kamu lebih menderita dari dia,” ancam Abella dengan suara lirih, seringai dingin tergambar jelas di wajahnya, bentuk kebenciannya pada Lisa yang telah merusak pestanya.
Set!
Alby mengambil gelas itu dari tangan istrinya, lalu membuangnya ke tong sampah. Menarik paksa tangan Abella, menuntunnya untuk keluar dari ruangan yang mempermalukan mereka.
Masuk di kamar hotel, Alby mendorong tubuh istrinya ke tempat tidur. Napasnya memburu, wajahnya merah padam merasa kesal dengan sikap Abella yang temperamental.
“Diam disini!” titah Alby, menunjuk ke arah Abella dengan mata berkilat merah. “Jangan keluar sampai pesta selesai, membuat malu saja,” kata Alby geram.
“Dia yang memulainya, dia yang menyindir ku terus. Seharusnya kamu membela ku. Atau … atau jangan-jangan kamu masih mencintai Vira, hah?!” pekik Abella, melempar bantal ke arah Alby.
“Kamu sudah tahu jawabannya. Diam dan jangan bertingkah, aku sudah lelah dengan hari ini … jangan menambah masalah lagi,” suara Alby lebih rendah dari sebelumnya, tapi tegas. Ia mengusap wajahnya dengan kasar— frustrasi.
“Kamu masih mencintainya? Mencintai Vira setelah semua yang aku lakukan padamu,” Abella bangun, mendekat ke arah suaminya. Mencengkeram kerah kemeja Alby.
“Iya … iya aku masih mencintainya. Jadi diamlah!” teriak Alby. Menarik tangan Abella, hingga cengkeraman itu mengendur—terlepas.
“Albyyyy!!” teriak Abella histeris.
BAM!
Suara pintu ditutup dengan keras. Alby meninggalkan Abella di dalam kamar. Merenggangkan otot lehernya yang kaku dan tegang. “Sialan, aku jadi harus memikirkan ucapan permintaan maaf untuk tamu,” batin nya kesal.
.
.
Sementara di kantor.
William dengan tangan bersilang di dada—punggung bersandar di kursi, ia mengamati Vira yang masih fokus dengan pekerjaannya. Tangannya terampil mencatat di agendanya.
Film dokumenter itu belum selesai, William menyesal mengajak Vira menonton dokumenter dengan durasi 2 jam. Sementara ia ingin keluar dari ruangan membosankan ini dan mengobrol di tempat lain dengan Vira. “Harusnya aku ajak nonton bioskop, bukan ini…” sesalnya.
“Kita selesaikan besok lagi, Vir. Aku lapar, mau makan,” kata William.
“Bentar lagi, Pak. Kurang 30 menit lagi selesai,” jawab Vira.
William menghela napas pelan, tangannya menopang dagu. Menatap wanita yang duduk di sampingnya, terlihat fokus.
Dengan gerakan lembut, William menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Vira. Seketika Vira tersentak dan menoleh. Matanya membulat memberikan kecaman. “Awas kalau cium saya lagi!” hardiknya.
William tersenyum, “Enggak, rambut kamu berantakan habis nangis tadi. Nanti keluar dari ruangan ini kalau dilihat orang lain dikira saya apa-apain,” ujar William.
“Memang benar kan, Bapak tadi berbuat hal gila kepada saya. Saya nggak mau hal itu terjadi lagi di kantor. Tutup mulut rapat-rapat … jangan sampai anak kantor tahu, paham!” titah Vira dengan tegas. Telunjuknya menunjuk ke bibir William.
William menarik telunjuk Vira, di tempelkan ke bibirnya—dikecupnya lembut berulang kali. Ummuach… ummuach… “Iya… kalau saya inget,” jawab William.
Selesai dengan pekerjaan, William dan Vira keluar dari gedung kantor bersama menuju ke tempat parkir.
“Besok tidak usah bawa mobil, saya jemput saja,” kata William, menahan pintu mobil Vira yang akan ditutup.
“Nggak, saya mau bawa mobil sendiri pak … jangan kebiasaan suka maksa. Saya nggak suka,” balas Vira.
William menghela napas panjang—mengalah. “Iya, iya … mimpi indah ya, jangan lupa makan. Besok mau aku bawakan teh chamomile lagi?” tawar William.
“Boleh, terimakasih,”
“Bye Vira, kita ketemu besok.” William mengusap lembut pipi Vira, lalu menutup pintu mobil.
Vira menyalakan mesin mobilnya, melaju lebih dulu meninggalkan tempat parkir.
.
.
Esok harinya, suasana kantor dipenuhi kehebohan membahas kekacauan di pesta Abella dan Alby semalam. Di lobi, lift, dan lorong-lorong koridor menuju ruang kerja, semua karyawan sibuk membicarakannya.
Alby hanya bisa menutup telinganya, karena tidak bisa membungkam semua orang yang membicarakan temperamental istrinya. Ia hanya bisa menutup telinga dan memaksakan diri fokus pada deadline proyek yang menantinya.
Begitupun dengan Abella yang sudah sibuk dengan pekerjaannya. Semalam tiba-tiba William memintanya untuk segera menyelesaikan beberapa revisi dan hanya memberi tenggat satu hari. “Sial, pria itu kenapa mendadak menyiksaku?!” umpatnya.
Saat melihat Vira melewati meja kerjanya, pikirannya buyar. Amarahnya kembali memuncak, ia bangun dari kursi. Abella berniat melampiaskan revisi ini kepada Vira.
“Heh, sini aku mau ngomong!” Abella menarik paksa tangan Vira.
“Ngomong apa lagi…?” tolak Vira, ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Abella.
Langkah keduanya berhenti di ujung koridor yang sepi. Abella melempar map itu ke wajah Vira dengan kasar.
“Gara-gara kamu tidak becus bekerja, semua masalah ini aku yang mengerjakannya!” pekik Abella, tangannya bersilang di dada.
“Apa maksudmu?” Vira berjongkok dan mengambil semua kertas sketsa yang berhamburan di lantai.
“Kalau nggak becus kerja, resign. Jangan menambah beban ke orang lain.” Abella menendang lutut Vira hingga membuat Vira tersungkur.
“Abel!”
Suara bariton dari belakang, menggelegar. Membuat Abella tersentak. Abella menoleh dengan mata melebar, karena terkejut.
“Apa yang kamu lakukan?!” pekik Alby, ia berjongkok membantu Vira memunguti lembaran kertas di lantai.
“Aku sedang memberikan ketegasan pada junior, jangan ikut campur!” bentak Abella.
“Vira, maafkan dia. Dia sedang hamil, jadi terlalu temperamen,” kata Alby.
Vira segera menyusun kertas itu ke dalam map. Ia bangun dan bersiap pergi. Namun, Abella menahannya. “Dengar … cepat keluar dari apartemen Alby. Itu milik suamiku, kau tahu itu kan? Itu berarti juga milikku, karena aku istrinya!”
“Aku sudah berkemas, malam ini aku juga pergi. Kau pikir aku tahan tinggal di sana…” Vira memicingkan matanya. Napas nya memburu, kesal dengan sikap Abella yang tak puas menyakitinya. “...lagipula ada bagian uangku di tempat itu,” lanjutnya.
Abella menyeringai dingin. “Bagian itu tidak seberapa, awas aja kalau besok kamu masih tinggal di sana!” ancamnya.
“Abella, diam! Unit itu milikku, aku memberi waktu untuk Vira berkemas bukan berarti kamu bisa mengusir nya. Jangan ikut campur.” Alby menarik tangan istrinya paksa, menyingkir dari hadapan Vira.
Vira kembali berjongkok, punggungnya bersandar di dinding. Air mata meluncur dari pelupuk matanya. Rasa sakit itu kembali menjalar di dadanya—perih. Ia menangkupkan kedua tangannya, menyembunyikan kesedihannya.
Sementara, pria dengan stelan kemeja krem —celana hitam — berdiri di kejauhan melihat semua yang terjadi. Bibirnya terkatup rapat, matanya berkilat merah penuh dengan amarah. Ia segera meminta admin untuk menyuruh Alby datang ke ruangannya.
Di dalam ruang kerja William. Alby masuk kedalam ruangan.
“Iya, Pak,” kata Alby, setelah suara intercom memanggil namanya untuk datang ke ruang Art Director.
William bangun dari kursinya. Menarik roller blinds hingga semua kaca tertutup rapat.
BUGH!
Pukulan keras melayang di pipi Alby tanpa peringatan. Membuat Alby tersentak—hilang keseimbangan dan tersungkur di lantai.
William membungkuk mencengkeram kuat kerah kemeja Alby. “Katakan pada istrimu, untuk tidak menyentuh, melukai atau menyakiti calon istri ku…” William memberikan kecaman dengan mata yang membesar “... jika Abella masih tidak berhenti menyakiti Vira, akan aku pastikan kalian dipecat bersama.”
Bersambung…
tapi di cintai sama bos gaskeun lah 😍