Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Bab 6
“Aryo… temani aku sebentar, ya…” bisik Sania lirih, suaranya terdengar manja dan lembut, seolah menahan kerentanan di balik tawa dan canda semalam.
Mereka sudah sampai di hotel. Aryo membantu Sania masuk ke kamar, memastikan langkahnya stabil. Dengan hati-hati, dia menidurkan Sania di ranjang yang empuk. Saat Sania sedikit bergeser, rok yang dikenakannya tersingkap secara tidak sengaja. Aryo menoleh sekejap, menahan diri dari pandangan yang tidak pantas, dan segera memperbaiki posisinya, menutupi Sania dengan selimut hangat. Tanktop dan blazer Sania juga sedikit melorot, tapi Aryo dengan cepat merapikan semuanya, memastikan dia tetap sopan.
Aryo duduk di pinggir ranjang, menatap Sania yang mulai terlelap. Ia merasakan gelombang tanggung jawab yang lebih besar dari biasanya: menjaga perempuan ini, bukan sekadar sebagai teman, tapi sebagai orang yang bergantung padanya malam ini. “Tidurlah dengan nyenyak, Sania,” ucapnya lembut sambil menyingkirkan helai rambut yang menempel di wajahnya. Sania perlahan menutup mata, dan napasnya menjadi lebih tenang. Aryo tetap duduk sebentar, memastikan ia benar-benar tertidur sebelum bangkit dan meninggalkan kamar.
Namun saat Aryo melangkah, Sania tiba-tiba menarik lengannya, membuatnya terhenti. “Tinggallah di sini… bersamaku, Aryo. Jadilah hadiah ulang tahunku malam ini,” bisik Sania sambil menempelkan tubuhnya pada Aryo, matanya berkilat di bawah cahaya lampu kamar.
“Aku tidak bisa, Sania,” Aryo berujar dengan lembut tapi tegas. Ia berusaha bangkit, namun Sania memeluknya erat, seolah ingin menahannya di sana. Aryo menghela napas panjang dan menenangkan dirinya sendiri. Dia menepikan semua godaan dan keinginan yang muncul, menegaskan batasan. “Tidak seperti ini, Sania. Aku tidak bisa,” tambahnya, menahan hati yang mulai gelisah.
Sania menatapnya dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar. “Tapi aku ingin… setidaknya malam ini… hanya malam ini saja, Aryo…” Tangannya menggenggam lengannya sekuat mungkin. Aryo tahu ini bukan hanya canda. Sania benar-benar rapuh, terombang-ambing antara kesenangan dan mabuk ringan yang membuatnya tak bisa mengendalikan diri sepenuhnya.
Akhirnya, Aryo memutuskan untuk menenangkan Sania. Ia memeluknya dari sisi, menepikan hal-hal yang bisa membuat situasi semakin rumit. Sania mencoba mendekatkan tubuhnya lebih jauh, mencoba membuka kemejanya, namun Aryo menahan, menegaskan batas. “Tidak, Sania. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi,” tegasnya lembut tapi mantap. Air mata Sania mengalir, tapi Aryo tetap menenangkannya hingga akhirnya ia tertidur lelap, napasnya stabil kembali.
Aryo meninggalkan kamar dengan langkah pelan. Ia menegaskan pada dirinya sendiri: tidak akan kembali ke masa lalu yang penuh kekacauan dan godaan. Hidup baru ini adalah jalan yang berbeda, dan dia harus menaatinya.
Perjalanan pulang Aryo menggunakan bus malam memberi waktu baginya untuk merenung. Sambil berjalan, ia membuka ponselnya, melacak GPS Meliana. Anehnya, titik koordinat masih berada di parkiran gedung Andara Group. Aryo merencanakan cara agar GPS itu bisa ditempatkan di ponsel Meliana tanpa diketahui siapapun.
Setiba di rumah kontrakannya, ponsel Aryo berdering. Nomor asing muncul di layar.
“Halo?” Aryo menjawab, nada suaranya tegas namun berhati-hati.
“Aku tahu tentang pertunanganmu dengan CEO Andara Group itu,” suara di seberang terdengar.
“Apa? Gaston… Sudah kubilang, jangan ganggu aku lagi!” Aryo kaget sekaligus kesal. Dari mana Gaston tahu?
“Tidak peduli suka atau tidak, komandan. Aku akan tetap ada di kota ini, dan aku akan memastikan kau bisa menjaga calon istrimu dengan aman,” suara Gaston terdengar santai tapi tegas.
Aryo menutup telepon, memblokir nomor itu, meski dalam hatinya ia tahu langkah itu tidak akan menghapus jejak Gaston sepenuhnya. Dari mana ia tahu kalau Aryo ditugasi menjaga Meliana?
Keesokan harinya di kantor, Aryo menemui Sania.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, menatap Sania dengan cemas.
“Aku tidak apa-apa. Tapi… tadi aku bangun di kamar hotel. Apa yang terjadi ya semalam?” Sania bertanya polos, wajahnya masih menggemaskan.
“Kamu mabuk, aku antar kamu pulang, tapi aku tidak tahu rumahmu, jadi aku bawa ke hotel agar aman,” Aryo menjelaskan.
Sania tersenyum nakal. “Hotel? Oh… apakah tadi malam kita…?” geraknya membuat Aryo menegangkan tubuh.
“Aku tegaskan, tidak sampai situ,” Aryo menjawab tegas.
Sania mengerling, senyumnya jahil. “Kalau pun iya, tidak masalah. Aku tidak akan marah. Justru senang.”
Aryo menggeleng. “Kita tidak melakukan hal itu, Sania. Sudah kubilang.”
Sania mendekat, wajahnya nyaris menempel di wajah Aryo, suaranya berbisik, “Aku berharap kita melakukannya… tapi kau harus bertanggung jawab, Aryo.”
Aryo mendorongnya perlahan, menegaskan batasannya. “Bertanggung jawab apa? Semalam kau terlalu mabuk.”
Sania tersenyum tipis, masih berusaha menggoda. “Yakin aku mabuk banget semalam?”
Aryo hanya menghela napas panjang, mengingat kejadian semalam dan memutuskan untuk tidak menanggapinya lagi.
Setelah menyelesaikan rutinitasnya, Aryo dipanggil ke ruangan Carlo. Di lorong, ia bertemu Merry. Pandangan Merry menusuk, penuh jijik dan marah.
“Aku tidak menyangka kamu… seperti itu, Aryo,” ujar Merry, lalu berlalu tanpa menunggu jawaban.
Di ruangan Carlo, Aryo disambut dengan sindiran. “Silakan duduk, jagoan Aryo,” Carlo mengejek.
“Ada apa ini?” Aryo bertanya, menahan rasa frustrasi.
“Ada rumor yang menyebar. Kau membawa Sania ke hotel, tidur bersamanya. Betul?” Carlo bertanya tajam.
Aryo menelan ludah, menahan amarah. “Itu tidak benar,” katanya tegas.
Carlo menatapnya dingin. “Laki-laki tampan sepertimu… dikenal suka menggoda perempuan. Dan Sania sendiri mengaku kau menidurinya. Jelas, ini terlihat buruk.”
Aryo mencoba menjelaskan kronologi semalam: Sania mabuk, ia menenangkan dan menidurkannya. Semua yang terjadi tidak lebih dari itu. Namun Carlo tetap skeptis.
“Ini pelecehan seksual jika dilakukan,” Carlo menambahkan. “Peraturan perusahaan jelas, Aryo. Kau tidak bisa begitu pada karyawan di sini.”
Aryo menegaskan, “Silakan putuskan sekarang, hentikan omong kosong ini.”
“Aku memberhentikanmu dari kantor ini,” Carlo akhirnya berkata.
Sebelum Aryo bergerak, seorang pria berbaju hitam masuk dengan langkah sigap. “Itu bukan keputusanmu,” ucap pria itu kepada Carlo.
Carlo langsung hormat. “Pak Chris…”
Pria itu menatap Aryo. “Kau Aryo Pamungkas?”
“Ya.”
“Ikut aku.”
Aryo dibawa ke lantai 16. Chris tidak banyak bicara. Aryo diminta duduk di sofa, menunggu. Kemudian seorang sekretaris memanggil, “Aryo, Bu Lilia ingin bertemu.”
Lilia adalah salah satu pemegang saham terbesar Andara Group sekaligus pembentuk Grup Tiga, tim keamanan elit untuk para CEO, pemegang saham, dan keluarga mereka.
Aryo memperkenalkan diri, waspada tapi tetap sopan. Lilia tersenyum, nadanya tenang tapi menimbulkan aura kekuatan.
“Abaikan Carlo. Dia tidak punya wewenang memecatmu. Kau aset terbaik kami. Pak Kamal sendiri meminta saya merekrutmu. Aku ingin kau menjaga Meliana dari dekat. Jadilah pengawal pribadinya. Gunakan kesempatan ini dengan baik. Ingat perjanjian kita. Identitasmu harus aman. Penjahat itu mungkin sudah menyusup di Andara Group.”
Aryo mengangguk, menelan napas panjang. Malam ini ia sadar, tantangan baru telah dimulai, dan ancaman bisa datang dari mana saja.
Bersambung…