Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Ketika pintu lift terbuka, Dasha segera bertanya pada resepsionis di mana letak kantin. Ia tidak ingin membuang waktu karena takut terlambat dan kembali mendapat teguran dari atasannya yang terkenal galak.
Tak lama kemudian, ia sudah tiba di kantin dan melihat Sera sedang duduk di meja dua orang sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Dasha menghampirinya, dan mereka pun memesan makan siang bersama.
Sambil makan, Dasha menelepon anak-anaknya.
“Halo, Mima!” terdengar suara Leo yang ceria.
“Hai, pangeranku. Bagaimana kalian? Mima belum sempat bicara tadi pagi. Kalian sudah makan siang?”
“Sudah, Mima. Waktu Mima menelepon tadi, aku sedang mandi.”
“Mana adikmu, Lea?”
“Dia masih makan, Mima. Kamu tahu sendiri, dia kan rakus banget!”
Dasha tertawa, dan tak lama kemudian terdengar suara kesal Lea di seberang.
“Oke, oke. Kalau Mima bisa pulang cepat, nanti kita cerita tentang hari kita, ya? Sekarang Mima harus cepat makan supaya tidak dimarahi bosnya.”
Leo menjawab dengan, “Oke, Mima. I love you!” dan Lea pun ikut berteriak, “Love you, Mima!” sebelum panggilan berakhir.
“Aku bisa lihat kilau bahagia di matamu,” komentar Sera sambil tersenyum ketika Dasha menurunkan ponselnya.
“Aku sangat mencintai anak-anakku,” jawab Dasha tulus, lalu kembali melanjutkan makannya.
Ia juga menunjukkan foto-foto Leo dan Lea pada Sera, dan perempuan itu langsung heboh. Katanya, keduanya benar-benar tampan dan cantik. Ia bahkan bersumpah kalau suatu hari mereka mendapat cuti, ia akan ikut Dasha pulang ke kampung halaman untuk bertemu langsung dengan si kembar.
Sampai mereka naik lift kembali menuju lantai masing-masing, Sera masih saja membicarakan anak-anak Dasha.
“Aku nggak bisa menahan diri, Sha. Mereka lucu banget! Aku pengin banget mencubit pipinya nanti. Kamu pikir mereka bakal heran nggak kalau aku tiba-tiba gemas begitu? Tapi tak apa! Kenalkan aku nanti, supaya pas aku cubit pipinya, mereka nggak takut karena aku kan sahabat Mima mereka!”
Lift berhenti di lantai tempat Sera bekerja, dan Dasha melambaikan tangan sebelum pintu menutup.
**
Dasha tiba di lantai 30, langsung menuju mejanya. Masih ada lima menit sebelum rapat dimulai, jadi ia memutuskan untuk merapikan diri di toilet lantai itu.
Seluruh lantai ini merupakan kantor CEO, jadi ia tak terlalu khawatir meninggalkan ponselnya di meja. Di lantai ini, setiap kali lift berbunyi menandakan ada tamu, suaranya pasti terdengar ke seluruh ruangan.
Begitu Dasha kembali ke mejanya, lift benar-benar berbunyi. Ia tersenyum kecil tepat seperti dugaannya. Saking sunyinya lantai ini, mungkin kalau ada nyamuk terbang pun akan terdengar.
“Selamat siang, Tuan,” sapanya sopan sambil sedikit menunduk.
“Selamat siang juga,” balas pria itu singkat.
“Saya akan memberi tahu bos saya kalau Anda sudah datang.” Dasha menekan tombol interkom. “Bos, tamu Anda sudah tiba.”
“Persilakan masuk,” suara Issa terdengar dingin, membuat bulu kuduknya meremang. Mungkin ia memang harus mulai terbiasa dengan nada seperti itu.
Ia tersenyum pada tamu, mengantarnya sampai ke pintu kantor Issa, lalu mengetuk tiga kali sebelum membukanya. Setelah tamu itu masuk, Dasha sempat menangkap tatapan kosong bosnya sebelum menutup pintu.
Berbeda sekali, pikirnya. Ia sungguh berbeda sekarang.
**
Hari itu berjalan cukup baik, semoga saja. Sudah lewat pukul delapan malam ketika Issa akhirnya mengizinkannya pulang. Hari pertama kerja, sudah lembur? batin Dasha kesal.
“Selamat malam, Bos,” pamitnya lewat interkom sebelum turun ke lobi. Sera sudah pulang lebih dulu, karena jam keluar mereka seharusnya pukul tujuh. Katanya, ia akan menyiapkan makan malam.
Dasha berdiri di depan gedung sambil menunggu bus ketika sebuah BMW berhenti di hadapannya. Jendela mobil menurun, memperlihatkan wajah dingin Issa.
“Naik,” perintahnya datar.
Aduh, dingin banget orang ini.
“Tidak usah, Bos. Saya bisa naik bus saja.” Ia mencoba tersenyum, tapi Issa hanya mengulang perintahnya.
“Naik.”
Tak punya pilihan, Dasha akhirnya masuk ke mobil.
Mereka sampai di kompleks dalam waktu singkat. Cepat sekali.
“Terima kasih, Bos. Saya turun di sini saja. Hati-hati di jalan pulang,” ucapnya sopan. Issa hanya mengangguk singkat sebelum melaju pergi. Sungguh, dingin luar biasa, gumam Dasha dalam hati.