Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Percakapan mereka mengalir tanpa arah tertentu.
Harsya bercerita sedikit tentang bisnis, Alma menanggapi dengan santai, sesekali menimpali dengan humor ringan yang membuat pria itu tertawa kecil.
Untuk sesaat, Grand Amartha terasa seperti dunia lain — tempat waktu melambat, dan suara musik jazz menjadi latar dari dua orang yang, entah bagaimana, menemukan ketenangan satu sama lain.
Namun tiba-tiba, suara dering ponsel memecah suasana itu.
Nada deringnya pelan, tapi di tengah kesunyian ruangan VIP, bunyinya terasa jelas.
Harsya menatap layar ponselnya sekilas — ekspresinya berubah sedikit, antara ragu dan enggan.
Ia menarik napas pelan, lalu menatap Alma.
“Maaf ya, Alma saya Izin sebentar,” katanya sopan.
Alma mengangguk lembut.
“Silakan, Pak.”
Harsya berdiri, melangkah menjauh beberapa meter ke sudut ruangan, punggungnya tegap tapi bahunya tampak sedikit menurun — seperti seseorang yang harus berpindah dari dunia yang satu ke dunia lainnya.
Suara percakapan di ujung telepon samar, hanya sepatah dua patah kata terdengar
“Ya… sebentar lagi, kamu tidur duluan saja.”
Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu yang berbeda — lebih lembut, lebih pribadi.
Beberapa menit kemudian ia kembali ke meja.
Senyum kecil muncul di wajahnya, tapi ada gurat canggung di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
“Maaf, tadi orang rumah." katanya lagi sambil duduk.
Alma menatapnya tenang, tidak bertanya, tidak bereaksi berlebihan.
Ia hanya tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan.
Harsya tersenyum, kali ini agak lebih tulus.
Alma menatapnya tanpa banyak kata.
Di matanya, ada empati samar — bukan rasa ingin tahu, bukan simpati berlebihan, hanya pemahaman diam antara dua orang yang sama-sama tahu rasanya menyimpan sesuatu sendiri.
Malam terus berjalan.
Gelombang tawa dan denting gelas datang silih berganti di ruangan lain, tapi di meja dua, waktu seolah berjalan dengan tempo berbeda — lebih lambat, lebih sunyi.
Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari.
Musik sudah mulai pelan, sebagian tamu tampak beranjak satu per satu.
Dari jauh, Mas Ardan memberi isyarat halus — tanda bahwa lounge sebentar lagi akan tutup.
Harsya menatap jam tangannya, lalu menarik napas pelan.
“Waktu cepat sekali, ya,” katanya, dengan nada yang nyaris seperti penyesalan.
Alma hanya tersenyum kecil.
“Betul.”
Pria itu tertawa kecil, lalu menatapnya sekali lagi lama. Tatapan seorang pria yang sedang menimbang sesuatu, namun belum berani menyentuh batasnya.
Ia berdiri, merapikan kaosnya dengan gerakan sederhana tapi berwibawa.
“Sepertinya saya harus pamit, Alma.”
Alma ikut berdiri.
“Terima kasih sudah datang, Pak.”
“Terima kasih juga… sudah menemani malam saya dengan sangat menyenangkan,” ucap Harsya sambil mengulurkan tangan.
Alma menatap tangan itu sebentar, lalu menjabatnya perlahan.
Kulitnya hangat, genggamannya mantap tapi tidak menekan.
Di balik semua kemewahan yang mengelilingi mereka, momen itu justru terasa paling jujur.
Begitu genggaman terlepas, Harsya menatapnya sekali lagi — kali ini dengan nada yang sulit diterjemahkan.
“Semoga ini bukan yang terakhir.”
Alma tidak menjawab segera.
Senyumnya samar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa dibaca.
“Semoga.”
Harsya tersenyum kecil, lalu melangkah pergi.
Langkahnya tenang, tidak tergesa, tapi meninggalkan udara yang berbeda seolah sebagian aroma cognac dan wibawanya masih tertinggal di ruangan itu.
Alma berdiri diam sejenak, menatap punggung pria itu sampai menghilang di balik pintu kaca.
Baru setelah itu ia menarik napas dalam, lalu berbalik menuju ruang ganti.
Di cermin panjang yang menunggu di sana, bayangan dirinya tampak sedikit asing — seperti perempuan lain yang baru saja melewati sesuatu yang belum ia pahami.
Ruang ganti sudah mulai sepi.
Lampu di langit-langit redup, menyisakan cahaya kekuningan yang menyorot deretan meja rias penuh sisa bedak, lipstik, dan aroma parfum bercampur alkohol.
Alma duduk di depan cermin, diam terpaku memandangi pantulan wajahnya dicermin
Bayangan dirinya menatap balik — mata lelah, tapi tetap menyimpan ketenangan yang anehnya, tidak sepenuhnya kosong.
Ponselnya bergetar di atas meja.
Sebuah pesan dari Mas Ardan muncul di layar
"Al, besok hotel ada event amal butuh tambahan freelance penerima tamu. Mau ikut nggak? bayarannya lumayan, cuma setengah hari kok.”
Alma menatap pesan itu beberapa detik sebelum jari-jarinya bergerak.
“Oke, Mas. Saya ikut.”
Tak lama, balasan masuk
“Siap besok jam tiga sore udah standby di lobi, ya pakaiannya formal.”
Ia mengembuskan napas pelan, lalu menatap lagi pantulan dirinya.
Sekilas ia tersenyum kecil, tapi di balik itu ada sesuatu yang lebih dalam — rasa ingin tahu, mungkin, atau sekadar harapan samar yang tidak berani disebut.
Sore itu, Grand Amartha tampak berbeda.
Tidak lagi dipenuhi cahaya redup dan denting gelas, melainkan bunga-bunga putih, lampu gantung yang berkilau terang, dan lantunan musik klasik dari pengeras suara.
Para tamu datang satu per satu dengan pakaian formal.
Acara amal untuk yayasan anak disabilitas — sesuatu yang jarang Alma lihat langsung, tapi cukup membuatnya kagum dengan transformasi tempat ini.
Ia berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan blazer krem muda, rambutnya di tata rapi hanya sedikit riasan di wajah.
Sekilas, tak ada yang akan menebak bahwa semalam ia adalah perempuan yang sama yang menatap gemerlap lounge.
Sekitar setengah jam setelah acara dimulai, seorang pria melangkah masuk.
Setelan jas hitamnya tampak pas, kancing bajunya terbuka satu, cukup untuk menampilkan kesan santai di balik keanggunan acara.
Harsya Pranowo!.
Alma sempat terpaku sesaat, tapi segera menguasai diri.
Ia menunduk sopan seperti kepada tamu lainnya.
“Selamat datang, Pak,” suaranya tenang, nyaris profesional.
Harsya berhenti di hadapannya, menatap beberapa detik — cukup lama untuk membuat udara di sekitar mereka terasa berbeda.
Lalu senyum itu muncul, senyum yang pernah ia lihat malam sebelumnya.
“Alma?” katanya perlahan, seolah memastikan ia tidak sedang berhalusinasi.
Alma mengangguk pelan.
“Betul Pak ,malam ini saya ditugaskan di sini.”
Tatapan Harsya melembut.
“Dunia ternyata kecil sekali, ya.”
Alma menahan senyum.
“Betul terlalu kecil.”
Harsya tertawa kecil, nadanya tulus, tidak dibuat-buat.
Dan dalam sesaat itu, di antara riuh tamu dan bunyi alat makan, waktu kembali melambat — seperti malam di lounge, tapi dengan cahaya yang jauh lebih terang.
Acara amal hampir usai.
Para tamu mulai berangsur meninggalkan ruangan, sebagian masih sibuk berbincang di dekat meja hidangan.
Lampu gantung perlahan diredupkan, menyisakan cahaya lembut yang memantul di lantai marmer.
Alma masih berdiri di sisi pintu, memastikan setiap tamu yang lewat disambut dengan senyum sopan.
Kakinya terasa sedikit pegal, tapi wajahnya tetap tenang — seperti biasa.
Harsya yang sejak tadi berbicara dengan panitia tampak menoleh beberapa kali ke arahnya.
Akhirnya, ketika suasana mulai lengang, pria itu berjalan mendekat.
“Capek?” tanyanya pelan, nada suaranya ramah tapi penuh perhatian.
Alma menoleh dan tersenyum kecil.
"Tidak juga, Pak. Sudah biasa.”
Harsya menatapnya beberapa detik, lalu berkata,
“Ternyata kamu bekerja keras sekali, Alma.”