"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6 Kenangan Raswa
Sudah seperti yang Maira duga. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak sepatah kata pun keluar dari bibir Arka. Bahkan saat Maira turun dan mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Pak Arka."
Jangan kan menjawab, menoleh saja tidak. Pria itu langsung tancap gas begitu saja. Membuat Maira sekali lagi mengelus dada.
"Sabar."
Ia melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan sang ibu. Perasaan sedih yang sebelumnya bergelayut langsung berganti dengan binar bahagia ketika Maira melihat ibunya sudah bisa duduk bersandar di ranjang.
"Ibu." Maira gegas merangkul sang ibu.
Kamilah tersenyum melihat kedatangan Maira. "Kok tumben baru pulang jam segini?"
Maira melepas pelukannya. "Iya, Bu, lagi banyak kerjaan. Ada laporan harus Maira segera selesaikan."
Kamilah mengangguk mengerti. Ia selalu percaya pada putri sulungnya ini.
"Apa ibu merasa lebih baik?"
Kamilah mengangguk. Ia memang merasa lebih baik dari sebelumnya, karena itu ia ingin menanyakan dari mana semua biaya pengobatannya ini di dapat oleh Maira. Terlebih saat ia melihat kamar perawatannya, ini bukan kamar kelas tiga. Ini kamar kelas satu yang pasti biayanya pun mahal.
"Mai, ibu mau tanya ...."
"Soal apa, Bu?" jawab Maira halus.
"Sebenarnya ...."
"Assalamualaikum." Syafa masuk dan membuat Kamilah urung bertanya. Wanita berumur itu hanya melihat Syafa sebentar lalu ia memejamkan mata.
Maira menoleh melihat kedatangan Syafa. "Waalaikumsalam."
"Udah balik, Mbak?" tanya Syafa.
"Iya, baru aja kok. Kamu dari mana?"
Syafa mengangkat kantong plastik putih berlogo mini market. "Beli camilan, Mbak."
"Ibu masih tidur, ya?" tanya Syafa saat sampai di ujung ranjang perawatan ibunya.
"Enggak, kok, ibu udah ba____" Maira berhenti berkata saat menoleh ibunya sudah memejamkan mata lagi.
"Kok cepet banget ya Ibu tidur lagi, baru aja ngbrol sama aku."
Syafa terdengar kecewa dengan pengakuan Maira. Baru sebentar ia tinggal keluar ibunya yang katanya sudah bangun kembali tidur. Padahal ia juga ingin bicara dengan ibunya.
"Mungkin ibu masih belum bisa ngobrol banyak. Masih cepet lelah," ujar Maira memberi penghiburan.
Syafa memaksakan senyum, meski ia benar-benar kecewa.
Di sisi lain, Arka baru saja tiba di rumah. Berbeda dari kedatangan sebelumnya. Kali ini papanya sudah ada di rumah, mamanya pun belum tidur. Keduanya sedang membujuk Zara yang tengah menangis keras.
Arka yang baru masuk melihat hal itu, tapi ia hanya berhenti sejenak kemudian berlalu menaiki tangga.
"Arka!" seru Rosmala.
Arka berhenti di anak tangga ke dua.
"Ini Zara nangis, kamu kok diem aja," seru Rosmala lagi. Kemudian kembali mencoba menenangkan cucunya itu. "Cup ... cup ... Sayang, Zara haus ya, Nak, ya?"
Arka hanya menoleh sekejap, kemudian melanjutkan langkahnya. Menganggap ucapan mamanya hanya sekadar angin lalu.
Rosmala yang melihat itu, tak bisa berbuat banyak. Ia hanya menggeram marah.
"Atik, buruan bikin susunya!" Selalu seperti itu yang dilakukan Rosmala ketika kesal dengan Arka. Pengasuh cucunya yang jadi pelampiasan.
"Iya, Buk, sebentar!" seru Atik dari dapur.
Aditya yang ada di samping Rosmala hanya bisa mengusap punggung istrinya, seakan menyuruhnya untuk bersabar. Ia pun tak bisa berbuat banyak sebagai Ayah, sudah sering kali ia nasehati Arka tentang Zara yang tak bersalah sama sekali tapi anak itu terlalu keras kepala. Arka lebih memilih mengabaikan Zara demi egonya.
Di kamar Arka duduk di tepi ranjang. Ia mengambil foto Raswa yang ada di atas nakas. Memandangnya dengan perasaan terluka. Air mata lun lolos diam-diam.
Sampai detik ini, Arka seolah belum bisa menerima jika istrinya telah tiada. Kepergian yang mendadak membuatnya tak mampu ikhlas. Sehari sebelum Raswa melahirkan, mereka berdua masih asik masyuk dalam canda. Sampai Raswa merasakan kontraksi hebat, dan dilarikan ke rumah sakit.
Raswa berhasil melahirkan bayinya dengan selamat, tapi dia sendiri tak bisa tertolong karena perdarahan yang tak kunjung henti. Kepergian Raswa yang mendadak dan seolah tanpa pamit membuat Arka tak bisa menerima semua. Bahkan saat perawat memberikan bayi kecilnya, Arka seolah tak bisa menerima.
Ia tak mau menyalahkan Zara atas kematian Raswa, tapi ia pun belum mampu menatap bayi itu, sebab Zara selalu mengingatkan dirinya akan Raswa.
Kepergian Raswa adalah patah hati terbesarnya. Kini orang tuanya meminta dirinya untuk menikah dengan wanita yang tak ia kenal, sementara Raswa masih menjadi ratu di hatinya.
Arka bahkan tak membayangkan pernikahan seperti apa nanti yang akan ia bangun dengan Maira. Bisakah ia menjalani perannya sebagai suami yang sebenarnya, atau hanya memerankan suami seperti keinginan mamanya?