kinandayu gadis cantik tapi tomboy terlihat semaunya dan jutek..tp ketika sdh kenal dekat dia adalah gadis yang caring sm semua teman2 nya dan sangat menyayangi keluarga nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happy fit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 6 antara detak yang gak konsisten dan sinyal baru
Pagi itu, Kinan datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Langit masih agak abu-abu, tapi mood-nya udah cerah kayak playlist favorit yang lagi pas di telinga. Rambut hitamnya yang panjang sepunggung dibiarkan terurai lembut, sedikit bergelombang di ujung karena baru dikeringkan. Seragam putih abu-nya rapi, tapi di luarnya dia pakai sweater abu muda oversize yang bikin penampilannya kelihatan effortless tapi tetap manis. Di tangannya ada buku catatan debat dan segelas kopi susu yang udah tinggal separuh.
Di depan kelas, suara-suara mulai ramai. Maya lagi sibuk cerita ke beberapa teman tentang study trip kemarin — dengan detail berlebihan, termasuk momen “romantis samar” antara Kinan dan Danu di bus.
“Terus mereka duduk sebelahan, denger lagu bareng! Ih, bener-bener kayak adegan film Korea low budget tapi wholesome banget!” teriak Maya sambil gaya tangan heboh.
Kinan langsung nyelutuk, “Maya, tolong ya, jangan jadi reporter infotainment dadakan.”
“Tapi fakta gak bisa disangkal, Dokter Cinta.”
“Fakta bisa direvisi kalau bikin malu,” balas Kinan cepat.
Anak-anak lain ngakak, dan di antara tawa itu, Danu baru aja masuk kelas. Seragamnya rapi, rambutnya agak basah, dan ekspresinya seperti biasa: kalem tapi ada sesuatu di matanya.
“Mornin’, Kin,” sapanya santai.
“Pagi, Dan,” jawab Kinan dengan nada yang sedikit terlalu tenang untuk menutupi deg-degan.
Maya langsung bisik ke Andi, “Tuh kan, vibe-nya masih ada. Tapi kayak Wi-Fi lemah, sinyalnya putus-nyambung.”
Hari itu pelajaran terasa panjang. Kinan sempat beberapa kali ketahuan bengong oleh Bu Hesti saat jam Biologi, dan tiap ditanya, jawabannya selalu versi random:
“Kinan, sedang memikirkan apa?”
“Eh… sistem peredaran darah, Bu.”
“Yang mana?”
“Yang… tidak stabil, Bu.”
Satu kelas ketawa. Danu cuma senyum kecil dari belakang.
Jam istirahat, Kinan duduk di taman belakang, lagi nulis di buku catatan debat. Rambutnya kali ini dijepit setengah ke atas dengan penjepit kecil berbentuk bunga, jadi beberapa helaian jatuh lembut di bahunya. Anginnya lembut, daun-daun berguguran, dan suasana tenang banget — sampai seseorang datang dan duduk di bangku sebelahnya.
“Fokus banget, calon dokter,” suara itu terdengar ringan tapi percaya diri.
Kinan menoleh. “Oh, Rafi. Hai.”
Rafi, ketua OSIS SMA Harapan Bangsa, adalah tipe cowok yang kelihatannya bisa bikin siapa aja nyaman dalam lima menit. Ramah, rapi, dan punya senyum yang kelihatannya dilatih buat nembus semua level formalitas.
“Kamu sibuk banget akhir-akhir ini ya?” tanya Rafi sambil buka botol air minum.
“Lumayan. Ujian belum kelar, tugas banyak, plus latihan debat minggu depan.”
“Makanya aku mau ngajak latihan bareng. Sekalian koordinasi tema dan argumen.”
“Boleh banget,” jawab Kinan antusias. “Aku juga pengen latihan public speaking. Soalnya kadang kalau gugup, kata-kata bisa belok arah.”
Rafi ketawa. “Kalau aku, malah kebanyakan ngomong. Jadi mungkin kita bisa saling seimbang.”
Obrolan mereka ngalir ringan. Dan entah kenapa, Kinan merasa Rafi punya cara ngomong yang tenang tapi menghangatkan — beda dari Danu yang kalem dan misterius, Rafi lebih terbuka dan ekspresif.
Dari kejauhan, Maya memperhatiakn mereka sambil nyengir ke Andi.
“Lihat deh, mulai muncul kontestan baru.”
Andi mengangkat alis. “Rafi?”
“Yap. Ketua OSIS, pinter ngomong, rajin, aura-aura cowok yang bisa bikin cewek mikir dua kali.”
“Dan Kinan mikir tiga kali,” balas Andi kalem.
Setelah jam istirahat selesai, Rafi dan Kinan jalan bareng ke kelas. Di bawah cahaya siang, sweater abu Kinan berkibar sedikit karena angin, dan beberapa helai rambutnya lepas dari jepit, menambah kesan natural yang bikin siapa pun yang lewat pasti nengok dua kali. Pas di koridor, mereka papasan sama Danu yang baru keluar dari ruang basket. Seragamnya setengah dimasukkan, rambut agak acak-acakan — singkatnya, versi “kapten basket capek tapi masih charming.”
“Eh, Danu!” sapa Rafi sopan. “Baru latihan ya?”
“Iya, dikit. Persiapan turnamen minggu depan.”
“Wah, semangat banget. Oh iya, aku sama Kinan mau latihan debat nanti sore, di ruang OSIS. Kalau sempat, mampir aja.”
Danu cuma angguk pelan. “Lihat nanti, ya.”
Kinan sempat menatap Danu, tapi cowok itu cuma senyum kecil lalu jalan lewat. Ada sesuatu di ekspresinya — bukan marah, tapi kayak ada sesuatu yang belum diucap.
Sore harinya, latihan debat berlangsung seru. Kali ini Kinan melepas sweater-nya karena ruangan agak panas, menyisakan seragam putih rapi dengan lengan digulung sampai siku. Rambutnya diikat setengah ke belakang biar gak ganggu saat berbicara, memperlihatkan leher jenjang dan wajah seriusnya saat berargumen.
Rafi dan Kinan saling lempar argumen soal topik “Etika Media Sosial dalam Dunia Pendidikan.”
Rafi pinter banget ngatur intonasi dan logika, tapi Kinan punya gaya yang lucu dan spontan.
“Menurut saya,” kata Kinan dengan penuh gaya, “kalau media sosial digunakan dengan benar, bisa jadi alat belajar efektif. Tapi kalau salah, ya kayak saya pas buka TikTok lima menit, ujung-ujungnya belajar resep es kopi dalgona.”
Satu ruangan ketawa.
Rafi tepuk tangan sambil senyum. “Argumen yang realistis sekaligus jujur. Saya setuju.”
Latihan selesai, suasana santai. Rafi bantu Kinan beresin catatan.
“Kamu beneran jago ngomong. Nanti di lomba pasti bagus.”
“Makasi, tapi aku masih sering blank kalau ditatap banyak orang.”
“Kalau ditatap satu orang kayak aku, masih bisa?”
Kinan kaget sedikit, lalu ketawa. “Rafi, kamu tuh kayak debat tapi versinya flirting.”
“Enggak, ini bagian dari strategi persuasi.”
Kinan pura-pura menatap jam. “Wah, udah sore. Aku balik dulu ya.”
“Boleh, hati-hati. Oh, nanti aku kirim materi debat tambahan lewat chat.”
“Siap, terima kasih, Ketua OSIS.”
“Untuk kamu, cukup panggil Rafi aja.”
Kinan jalan keluar sambil senyum kecil. Dia gak sadar, Danu ternyata duduk di tribun lapangan basket, ngelihat dari jauh. Masih dengan seragam latihan dan rambut yang agak berantakan, dia menatap diam-diam — pandangannya mengikuti Kinan sampai cewek itu belok di ujung koridor, sweater abu-nya melambai pelan tertiup angin.
Andi yang baru datang langsung nyeletuk, “Bro, dari tadi mandang arah situ terus. Nunggu bola atau orang?”
Danu cuma jawab pendek, “Dua-duanya gak balik ke aku.”
Andi ngakak. “Wah, mulai puitis. Harusnya kamu yang ikut lomba debat.”
Besok paginya, suasana kelas agak canggung. Kinan dan Danu sempat sama-sama dateng pagi, tapi cuma saling sapa singkat.
“Pagi, Dan.”
“Pagi, Kin.”
Lalu hening. Gak ada obrolan lanjutan. Biasanya Kinan langsung nanya hal random, kayak “kucing bisa mimpi gak sih?”, tapi kali ini dia sibuk buka catatan sambil menata rambutnya yang digerai ke satu sisi bahu.
Maya langsung nangkep vibes-nya. “Wah, ini udaranya kayak ruang operasi sebelum mulai: tegang tapi penuh harapan.”
Kinan mendesah. “Biasa aja kok, May.”
“Biasa aja yang tadi kamu ngerem senyum waktu Danu lewat?”
“Refleks.”
“Refleks itu tanda bawah sadar, dan bawah sadar gak bisa bohong.”
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme aneh.
Kinan mulai sering latihan sama Rafi di ruang OSIS, sementara Danu makin sibuk sama turnamen basket. Tapi setiap kali mereka tanpa sengaja ketemu di kantin atau di perpustakaan, pandangan mereka masih saling nyari — meski gak diungkapin.
Suatu sore, Kinan lewat lapangan dan liat Danu lagi latihan sendirian. Dia sempat berhenti, tapi gak nyapa.
Danu sadar, tapi pura-pura gak lihat. Di dalam hatinya, ada perasaan aneh — bukan marah, bukan kecewa, cuma… hampa sedikit.
Dan malamnya, saat Kinan buka chat, ada dua pesan masuk hampir bersamaan:
dari Rafi — “Latihan debat besok jam 3 ya, Kin :)”
dan dari Danu — “Udah makan belum?”
Kinan menatap layar ponselnya lama, senyum muncul pelan tapi juga ragu.
Di satu sisi ada cowok yang bikin tenang tanpa banyak kata.
Di sisi lain ada yang hadir dengan perhatian dan kejelasan.
Dia menarik napas panjang. “Tuhan, kenapa semua sinyal harus muncul bareng, sih?”
Di luar jendela, hujan turun pelan.
Dan di antara suara rintiknya, Kinan tahu — hatinya mulai berada di persimpangan, tapi ia belum tahu harus melangkah ke mana.
---
To Be Continued