Setiap pagi, Sari mahasiswi biasa di kos murah dekat kampus menemukan jari manusia baru di depan pintunya.
Awalnya dikira lelucon, tapi lama-lama terlalu nyata untuk ditertawakan.
Apa pabrik tua di sebelah kos menyimpan rahasia… atau ada sesuatu yang sengaja mengirimkan potongan tubuh padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
“Ini buah manggis yang dikirim dari kampung.”
Kami meletakkan kotak buah manggis itu di sebidang tanah kosong tak jauh dari tempat parkir. Mau bagaimana lagi, kotak itu diperlakukan seperti bahan peledak. Kalau bisa, kami pasti sudah panggil tim penjinak bom.
“Baiklah, ayo kita buka sekarang.”
Sari Lestari, adik kelas yang dengan berani jadi bagian dari “tim penjinak bom”, membuka kotak itu tanpa ragu-ragu. Di dalamnya, ada sembilan buah manggis besar yang sudah busuk.
“Manggis ini mahal. Sekotak kayaknya harganya Rp500.000.”
“Mahal banget…”
Kenapa dibiarkan membusuk tanpa dimakan?
“Mungkinkah dendam petani karena manggis berkualitas tinggi ini dibiarkan busuk, lalu berubah jadi ular dan datang jauh-jauh ke sini?”
“Nggak mungkin!”
Buah manggis itu sudah membusuk dan meleleh jadi bubur, berubah warna jadi cokelat tua. Sari mendongak ke arah Pak Direktur, yang sedang mengerutkan kening sambil memegang tutup kotak.
“Katanya manggis ini dikirim dari kampung, tapi apa hubungan Bapak dengan manggis ini?”
Dia nanya sesuatu yang nggak perlu.
Sejujurnya, saya nggak mau dengar kelanjutannya.
“Itu terjadi pada zaman kakek saya…”
“Eh, maaf, tapi kayaknya kami udah tahu barang yang bermasalah, jadi boleh nggak saya pulang sekarang?”
Saya tahu kata “zaman kakek” bukan pertanda baik. Itu cuma bakal ngarah ke omong kosong soal leluhur, leluhur, dan leluhur lagi, dan saya terseret ke urusan yang seharusnya nggak perlu saya tangani.
Saya udah muak banget sama cerita-cerita tentang leluhur, dendam, hantu, dan semacamnya, cuma dari benda-benda yang diserahkan ke pura keluarga saya.
“Sari, saya udah sampai batas, jadi saya mau pulang.”
“Kak! Apa Kakak bakal ninggalin adik kelas yang kasihan ini mati?!”
Kata Sari sambil memegang lengan saya erat-erat.
“Pas jari-jari mulai jatuh di depan kos saya satu per satu, itu artinya saya udah terlibat!”
Itu pasti bakal terjadi, karena kali ini mungkin ada sesuatu yang bergerak di baliknya dengan kekuatan yang cukup untuk motong jari dan melemparkannya.
“Yah, itu nggak ada hubungan sama saya.”
“Nggak ada hubungan?! Lihat alamat ini!”
Saya nggak mau lihat, saya nggak mau lihat, saya bener-bener nggak mau lihat.
“Desa Sumbermulyo, Universitas Cendrawasih, Sumatera Utara, itu tempat klub teater yang dekat sama Kakak ngadain kemah pelatihan semalam, dan Kakak udah diundang buat ikut, kan?”
Bener banget, saya anggota klub film karena bikin riasan khusus dan topeng horor, tapi saya juga dekat sama klub teater dan klub tari.
Drama yang rencananya bakal dipentaskan klub teater di pesta rakyat kampus musim kemarau nanti katanya Hantu di Rumah Opera, dan saya bakal ngerias wajah khusus untuk tokoh Hantu. Makanya mereka minta saya ikut kemah pelatihan, tapi saya cuma ngerias buat pertunjukan, kan? Saya nggak tahu kenapa harus ikut, jadi saya nolak.
“Kok Sari tahu soal kemah pelatihan klub teater?”
“Cewek-cewek yang ngejar Kakak udah peringatin saya buat nggak ikut, meskipun Kakak ikut.”
“Kenapa! Kenapa! Kenapa! Kamu kan asisten saya!”
Ngomong-ngomong, Sari Lestari emang hebat. Selama dia ada di dekat saya, saya bisa jauh dari segala macam makhluk halus. Makanya saya bayar dia, adik kelas saya, dengan gaji paruh waktu dan pekerjain dia sebagai asisten saya saat bikin topeng horor.
“Bahkan pas kerja lapangan, Kakak sering jalan bareng saya, jadi cewek-cewek yang ngejar Kakak pasti waspada sama saya.”
Bener, kerja lapangan memang wajib buat belajar antropologi, tapi karena saya ketemu banyak makhluk halus selama kerja lapangan, saya butuh Sari Lestari sebagai jimat saya. Saya nggak peduli sama cewek-cewek yang ngejar saya.
“Hmm.”
Pak Direktur, yang kami tinggalin, akhirnya bicara sambil menyeka keringat di dahinya.
“Kalau kami bisa ngatasin manggis ini, apa pabrik bisa lanjut beroperasi?”
Nggak, nggak sesederhana itu.
“Saya pikir manggis ini cuma titik awal.”
Saya bener-bener nggak mau pergi, bener-bener nggak mau.
“Pas Bapak bilang kampung, bukannya itu artinya zaman kakek Bapak datang dari Sumatera Utara?”
“Betul.”
Pak Direktur ragu sejenak sebelum bicara.
“Kakek saya anak sulung dari keluarga kaya di kampung, tapi ada kejadian yang bikin dia susah tinggal di sana, jadi dia memutuskan untuk pindah ke sini. Kakek saya sempat putus hubungan sama kampung, tapi pas saya mulai SD, seseorang dari kampung datang, dan bibi saya menikah sama keluarga inti di sana.”
Pak Direktur bicara sambil menyeka keringat di dahinya.
“Anak bibi saya dan adik laki-laki saya umurnya sama, jadi kami mulai sering main bareng. Saya sering ke Sumatera Utara buat ngawasin dia, tapi saya sering ngerasa nggak nyaman di sana, dan saya sering ngerasa bersalah. Lalu, adik saya menghilang.”
Saya nggak mau dia menghilang! Saya punya firasat buruk soal ini!
“Seberapa keras pun saya cari, nggak ketemu, dan tanpa sadar, hubungan kami renggang lagi. Tapi setelah dewasa, dia sukses ngelola hotel atau semacamnya. Dia mulai kirim manggis kayak gini sesekali…”
Pas diberi tahu bahwa manggis itu sumber gangguan gaib, Pak Direktur bilang itu menakutkan karena kayaknya ada hubungan sama adik laki-lakinya yang hilang. Adik laki-laki Pak Direktur hilang pas umur enam tahun, kira-kira 40 tahun lalu.
“Apa ini artinya kami harus ke kampung buat sementara supaya pabrik bisa jalan lagi?”
“Saya bener-bener mikir gitu!”
Sari Lestari bicara sambil lihat manggis yang busuk.
“Kak Bima juga berencana ke Desa Sumbermulyo, jadi saya pikir lebih baik kalian berdua pergi bareng!”
“Kenapa saya harus ikut?”
“Bukannya ini yang mereka bilang kapal yang sudah berlayar?”
“Jadi kamu juga ikut, kan?”
Saya harap orang-orang berhenti bikin ekspresi kayak, “Kenapa saya harus ikut?”
“Saya kan punya kerjaan paruh waktu.”
“Kamu kerja paruh waktu sebagai penutup upacara di pura keluarga saya, kan? Saya bakal omongin ini sama orang tua saya, jadi nggak masalah.”
Kalau penghasilan paruh waktu saya yang gede itu ilang, saya nggak bakal bisa bertahan hidup! Saya pasti balik kerja jadi penutup upacara di pura!
“Kalau gitu saya juga nggak mau ikut! Kenapa saya harus ikut? Kalau dipikir-pikir, saya bahkan nggak tinggal di kos itu! Sama sekali nggak penting!”
Pak Direktur, yang dengerin obrolan kami, tiba-tiba bilang,
“Saya bakal tanggung biaya perjalanan, penginapan, bahkan gaji paruh waktu kalian! Ayo ikut saya! Saya nggak bisa sendiri! Mustahil! Lagipula, kelangsungan pabrik ini lagi dipertaruhkan! Tolong anggap ini sebagai bantuan buat kami!”
Dia bilang gitu sambil menangis.