 
                            Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Dasar Kapten gila! Beraninya dia ninggalin aku di sini? Apa dia pikir aku ini mainan?” umpat Aresa dalam hati.
Amarahnya memuncak, memanaskan darah yang mengalir di pembuluh nadinya. Ia menatap kosong ke jalan aspal yang memantulkan terik matahari pagi.
Di sana, seorang wanita dengan piyama satin dan hijab bergo lusuh berdiri di depan bengkel — bagai lelucon yang tidak lucu.
Aresa menyadari betapa konyol situasinya. Ia, seorang ahli telemetri yang terbiasa berurusan dengan sirkuit balap dan data presisi tinggi, kini terdampar di pinggir jalan tanpa ponsel dan tanpa dompet.
Ia, wanita yang paling tidak suka terlihat rapuh, kini benar-benar tidak berdaya.
Ia merasa Jhonatan sengaja melakukannya — permainan kekuasaan untuk melihat seberapa jauh harga dirinya bisa diinjak.
Dengan langkah mantap, ia menghampiri tukang bengkel.
“Maaf, Pak, jalan ke batalyon ke mana ya?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski ada kegelisahan di suaranya.
Tukang bengkel itu menunjuk ke arah kanan. “Ke kanan, lurus terus, Neng. Kira-kira satu kilometer dari sini,” jawabnya.
Satu kilometer.
Aresa menelan ludah. Berjalan sejauh itu dengan piyama satin dan hijab bergo di tengah terik matahari bukan ide bagus. Tapi ia memantapkan hati. Dalam benaknya, hanya ada satu tekad: ia akan membalas perlakuan Jhonatan.
Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, suara mesin mobil terdengar mendekat. Sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingnya.
Jendela turun perlahan, menampilkan wajah Jhonatan yang tersenyum tipis.
“Naik. Saya nggak mau kamu diculik,” katanya dengan nada tenang tapi penuh wibawa.
Aresa menatapnya tajam. “Nggak usah, Kapten. Saya bisa jalan sendiri,” jawabnya dingin.
“Naik. Jangan keras kepala,” ucap Jhonatan lagi, matanya menatap Aresa tanpa bergeming.
Aresa tahu ia tidak akan menang berdebat. Dengan napas berat, ia membuka pintu dan masuk ke mobil.
Bau parfum maskulin Jhonatan langsung memenuhi kabin, menekan emosinya yang belum reda. Ia melirik ke arah pria itu — masih tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Akhirnya Aresa tak tahan.
“Kenapa Anda ninggalin saya tadi?” tanyanya dengan nada penuh emosi.
Jhonatan menatap jalan, suaranya tetap datar. “Saya mau nguji kamu. Mau tahu seberapa berani kamu.”
“Menguji saya?” Aresa mendengus tidak percaya. “Anda pikir saya ini apa? Bidak catur?”
Jhonatan tersenyum samar. “Anggap aja begitu. Kamu bidak yang menarik... dan saya suka bermain dengan kamu.”
Aresa terdiam. Ia menatap keluar jendela, menahan diri agar tidak membalas ucapan itu. Ia tahu pria itu sedang mempermainkannya, dan entah kenapa — justru itu yang membuatnya semakin jengkel.
Setibanya di batalyon, Jhonatan menghentikan mobilnya di depan rumah Alvino. Ia menatap Aresa sejenak.
“Saya akan nunggu kamu di kafe malam ini. Datanglah tepat waktu,” ucapnya datar, lalu melajukan mobilnya pergi tanpa menoleh.
Aresa berdiri di sana, menatap mobil itu menjauh. Ia ingin berteriak, tapi hanya bisa menarik napas panjang. “Kapten gila,” gumamnya pelan, lalu bergegas masuk ke rumah.
*****
Malam hari
Aresa bersiap di depan cermin.
Setelan formal berwarna krem membalut tubuhnya dengan elegan, jilbabnya senada. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan wanita yang bisa dipermainkan. Ia ingin Jhonatan tahu — ia bisa berdiri sejajar dengannya, bahkan menatap balik tanpa gentar.
Alvino mengetuk pintu kamar. “Resa, kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Aku mau ketemu Kapten Jhonatan,” jawab Aresa tenang.
Alvino mengernyit. “Kalian ada janji?”
“Iya. Dia minta aku nemenin minum kopi,” jawab Aresa, suaranya datar tapi matanya dingin.
Alvino menatapnya lama. “Hati-hati, Resa. Jhonatan bukan pria biasa.”
Aresa mengangguk kecil. “Aku tahu, Mas. Tapi aku juga bukan wanita biasa,” ujarnya lirih, lalu mengambil tasnya.
Tiga puluh menit kemudian, Aresa tiba di kafe. Ruangan VIP terasa tenang, hanya ada suara musik lembut dan aroma kopi yang menenangkan.
Jhonatan sudah menunggu, duduk santai dengan kemeja kasual dan celana jins — tampil mempesona tapi berbahaya. Ia menoleh dan tersenyum ketika Aresa datang.
“Kamu kelihatan cantik malam ini,” katanya tulus.
Aresa menatapnya tanpa ekspresi. “Terima kasih, Kapten. Mari kita bicara bisnis.”
Jhonatan tertawa pelan. “Santai dulu. Kita bisa bahas bisnis nanti. Sekarang saya pengin bicara tentang kamu.”
“Saya nggak mau bicara tentang diri saya,” balas Aresa cepat.
“Kenapa? Ada yang kamu sembunyikan?” tanya Jhonatan lembut, tapi tatapannya tajam.
“Tidak. Saya cuma nggak nyaman ngomong hal pribadi sama orang asing,” jawab Aresa dingin.
Jhonatan mencondongkan tubuh ke depan, suaranya merendah.
“Saya bukan orang asing, Aresa. Saya tahu lebih banyak tentang kamu daripada yang kamu kira.”
Aresa menatapnya curiga. “Apa maksud Anda?”
“Saya tahu kamu ahli telemetri dengan bayaran miliaran. Lulusan universitas top di Spanyol. Putri tunggal purnawirawan polisi — sekaligus seorang kyai,” ujarnya tenang sambil menyandarkan punggung ke kursi.
Mata Aresa membulat. Napasnya tercekat.
“Jadi... Anda menyelidiki saya?” tanyanya dengan suara bergetar.
Jhonatan hanya tersenyum — diam, tapi penuh makna.
Aresa berdiri, mengambil tasnya. “Saya nggak mau bicara lagi sama Anda. Untuk urusan bisnis, silakan koordinasi sama Mas Vino.”
Ia mengeluarkan beberapa lembar uang, meletakkannya di atas meja. “Itu untuk kopi saya.”
Jhonatan menatapnya tanpa ekspresi. “Kamu nggak akan bisa lari dari takdir, Aresa,” katanya pelan.
“Takdir?” Aresa menatapnya sinis. “Anda pikir Anda takdir saya? Anda cuma orang yang paling saya benci!”
Ia berbalik dan melangkah pergi.
Jhonatan hanya menatap punggungnya, senyum tipis kembali terlukis di bibirnya.
Di matanya, ada sesuatu yang berbahaya — bukan amarah, tapi keyakinan.
Karena di antara kebencian dan daya tarik yang Aresa rasakan, Jhonatan tahu satu hal pasti:
pertarungan di antara mereka baru saja dimulai.
kalau dia punya pilihan