Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Pertengkaran Hebat
Plak! Plak! Dua tamparan didapatkan oleh Hulya dari Marchel. Dia tersungkur, sudut bibirnya robek dan berdarah. Marchel menjambak rambut Hulya dengan kuat, Hulya benar-benar merasa sakit di kepalanya.
"Aku mau bebas Marchel, aku tidak mau hidup denganmu, kenapa kau tidak mengerti," kata Hulya sambil meringis memegangi tangan Marchel di kepalanya.
"Aku tidak akan membebaskan kamu, kau bisa bebas jika mau kembali menikah denganku dan kita hidup bersama, baru aku akan membebaskan kamu."
"Aku tidak mencintai kamu lagi, aku tidak mau menikah denganmu."
"Apa ada pria lain di hatimu?"
"Ada, dan aku mencintai dia." Marchel kembali menampar Hulya dengan kuat, dia tahu kalau rasa Hulya memang sudah hambar padanya saat ini. Padahal bukan begitu adanya.
"Aakhh Marchel, Sakit," erang Hulya ketika kakinya di gores menggunakan
pisau oleh Marchel, pisau yang dia gunakan tadi untuk menghabisi musuhnya. Masih ada sisa darah di gagang pisau tersebut.
"Masih mau coba kabur dariku hm?"
"Aku tidak mau hidup denganmu lagi, kau itu sakit jiwa, Marchel."
"Persetan dengan omonganmu, sekali lagi kau berusaha kabur dariku, aku akan memotong sebelah kakimu ini." Hulya begitu ketakutan karena apa yang dikatakan oleh Marchel tidak pernah main-main.
Marchel menarik kuat Hulya lalu mendorong tubuh itu masuk ke dalam mobil, dia ikut duduk di belakang dan mengikat tangan Hulya dengan dasi yang sedang dia pegang saat ini.
Hulya di bawa kembali dibawa ke mansion, Marchel menarik Hulya tanpa perasaan lalu kembali mengurungnya lagi di dalam kamar. Marchel menyandarkan tubuh lelahnya di pintu setelah mengunci Hulya di dalam, dia menghela napas lalu memejamkan mata, mendengarkan Hulya yang terus memukul pintu dari dalam.
“LEPASKAN AKU MARCHEL, KAU INI GILA, AKU TIDAK MAU JADI TAWANANMU BEGINI, AKU MAU BEBAS. ANDAI PAPAKU MASIH HIDUP, DIA PASTI AKAN SANGAT MENYESAL TELAH MENGANGGAP KAU PRIA BAIK, KAU BAJINGAN, KAU SETAN, KAU KURANG AJAR MARCHEL, AKU MEMBENCIMU.” Teriakan Hulya jelas terdengar di telinga Marchel, dia menitikkan air mata lalu dengan cepat dia hapus.
“Aku hanya ingin dia terus bersama denganku, aku tidak sanggup jauh darinya, aku sangat mencintainya, dia hidupku, tolong maafkan aku,” ucap Marchel dengan penuh sesal dalam hatinya.
Marchel melangkahkan kaki, mencari kotak obat untuk mengobati luka Hulya yang telah dia ciptakan tadi.
Marchel turun dan menoleh pada Alessandro yang masih berada di mansion-nya, Alessandro berdiri dan mendekati Marchel.
“Jangan sakiti dia lagi, kau benar-benar akan kehilangan dia, Marchel. Kau pria sedangkan dia wanita, kau tidak lihat betapa rapuh Hulya? Jangan ayunkan lagi tanganmu padanya, kasihan dia.” Alessandro menepuk pelan pundak Marchel lalu pergi dari sana meninggalkan Marchel yang masih terpaku.
Marchel mengambil kotak obat lalu kembali ke dalam kamar, dia akan mengobati Hulya, kaki wanita itu pasti sangat sakit setelah dia lukai dengan pisau yang begitu tajam.
Baru saja pintu terbuka, Marchel dikagetkan dengan serangan Hulya yang begitu tiba-tiba. Kepala Marchel dipukul dengan vas bunga, sehingga Marchel sedikit pusing dan limbung, kesempatan ini digunakan Hulya untuk kabur tapi tidak semudah itu.
Marchel yang masih bisa bertahan menarik Hulya dengan kuat dan mendorong tubuh Hulya hingga bedebam ke lantai dengan begitu keras. Hulya meringis, perutnya terasa amat sakit tapi masih bisa dia tahan.
“Brengsek kau Hulya, aku ke sini untuk mengobati kamu sialan,” geram Marchel, Hulya yang saat ini meringis dengan tangan terikat ikutan geram, dia berdiri dan menantang tatapan Marchel.
“Kau yang melukai aku dan kau juga yang akan mengobati? Kau itu memang sudah gila dan tidak punya otak sama sekali.” Marchel yang geram melemparkan kotak obat di tangannya hingga seluruh isinya berserakan, Hulya yang juga diliputi emosi menendang dengan asal isi kotak obat tersebut, lantai marmer mewah di dalam kamar kini sudah dipenuhi oleh darah dari kaki Hulya.
“Kau benar-benar pintar memancing emosiku, Hulya.”
“Kenapa? Kau mau membunuh aku? Kau akan menyiksaku lagi? Begitu? Silakan, aku tidak takut, sialan.” Hulya membalas dengan tatapan masih menantang mata Marchel.
Plak.
Satu tamparan kini didapatkan oleh Hulya, tidak peduli berapa perih tamparan tersebut, karena Hulya sudah hilang sabar menghadapi Marchel kali ini.
“Pukul lagi, memang itu yang kau bisa, memukulku, memperkosaku, dan membunuhku. Dasar pengecut kau, Marchel!”
“Sialan kau Hulya,” umpat Marchel lalu mencekik leher Hulya dan menyandarkan dia ke dinding, Hulya terlihat pasrah, dia tidak berontak atau pun melawan, jika mati bisa membuat dia bebas, itu lebih baik.
Hulya memejamkan mata, buliran bening meluncur bebas dari pelupuk mata indah itu. Marchel yang masih dikuasai emosi melepaskan cekikannya dan mendorong Hulya dengan kuat.
Hulya terbatuk, dia merasakan ada sesuatu yang keluar dari jalan lahirnya, perutnya juga sangat sakit, seakan terasa melilit hebat. Hulya meringkuk, berusaha menyembunyikan rasa sakit itu dari Marchel.
“Kau, benar-benar mau mati hah?” teriak Marchel sambil menunjuk Hulya dengan tegas, kali ini Hulya tak lagi menjawab, dia fokus menahan rasa sakit itu. Marchel menendang kuat perut Hulya berkali-kali tanpa peduli dengan darah yang terus dimuntahkan oleh wanita itu.
“Persetan dengan dirimu, aku harap Tuhan mencabut nyawamu hari ini juga, jadi aku tidak perlu membunuhmu, mati saja kau, Hulya,” umpat Marchel, lalu keluar dari kamar, tujuannya kali ini adalah klub malam. Semakin dia berlama di rumah, semakin meluap emosinya pada Hulya.
“Marchel, tolong jangan tinggalkan aku, perutku sakit,” rintih Hulya menangis memanggil Marchel dengan sisa energi yang dia punya.
Marchel yang tidak mendengar Hulya sudah keluar dari kamar dengan langkah kesal, hatinya benar-benar tidak karuan dan terbakar.
...***...
Marchel duduk sambil menikmati suara dentuman musik di klub, cairan dalam gelas kecil yang dia pegang terus dia teguk hingga tetesan terakhir.
Pikirannya kembali melayang pada Hulya, wanita itu sangat keras kepala dan terus memancing emosinya. Marchel bahkan tidak bisa mengontrol diri ketika Hulya terus-terusan berusaha kabur.
“Bagaimana lagi cara agar aku bisa membuatmu bersama denganku? Kau benar-benar membuat aku gila, Hulya,” tekan Marchel lalu meneguk minumannya lagi dan lagi hingga dia mabuk.
Marchel tidak pulang ke mansion, dia memilih untuk tidur di markas dan membiarkan ponselnya mati, agar tidak ada yang mengganggunya hingga pikirannya sedikit tenang.
...***...
Pagi menjelang, Marchel bangun dengan kondisi begitu kusut, kantung mata terlihat jelas, rambut yang berantakan. Dia mengaktifkan ponselnya dan tidak mendapatkan pesan apapun dari Hulya, Marchel juga tidak berniat pulang ke mansion pagi ini, dia memilih untuk tetap di markas tapi pikirannya selalu tertuju pada Hulya.