Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
“Sekarang semua murid, berdiri di lingkaran sihir.” suara guru menggema di aula. “Letakkan tangan kalian di kristal, biarkan energi kalian mengalir. Kristal akan menunjukkan warna sesuai kekuatan masing-masing lagi."
Satu per satu murid maju. Kristal menyala dengan warna berbeda: putih keemasan untuk Luminara, biru jernih untuk Veyra, dan merah pekat atau hitam ungu untuk Noctyra.
Sorak kecil terdengar setiap kali kristal menyala terang.
Lalu giliran Mira. Ia maju dengan langkah ragu, lalu menaruh telapak tangannya. Kristal bergetar, menyala lembut dengan warna biru muda bercampur kilatan perak.
“Energi stabil. Bagus sekali,” komentar gurunya.
Mira tersenyum malu, lalu buru-buru kembali ke tempat duduk.
Giliran Selena. Begitu telapak tangannya menyentuh, kristal langsung memancar cahaya putih murni bahkan lebih terang dari murid Luminara biasa. Beberapa murid berbisik takjub.
“Putri Luminara memang berbeda,” gumam salah satu murid.
Selena menunduk, wajahnya tegang. Tapi aku… tidak tahu bagaimana mengendalikan cahaya ini…
Dan akhirnya, giliran Elara.
Ia maju dengan langkah malas, menguap sebentar lalu menaruh tangannya di kristal. Semua murid menunggu, beberapa bahkan berbisik meremehkan.
…Namun kristal itu tidak menyala sama sekali.
Sepuluh detik. Dua puluh detik. Tetap hening.
“Ap- apakah rusak?” Elara menoleh pada gurunya sambil mengangkat bahu. “Atau mungkin aku emang nggak bisa apa-apa?”
Tawa kecil terdengar dari sudut ruangan, lalu disusul bisikan-bisikan.
“Dia nol…?”
“Tidak mungkin, semua murid yang dipanggil ke sini pasti punya energi…”
“Lalu kenapa dia ada di akademi?”
Mira langsung berdiri. “Hei! Jangan meremehkan Elara begitu!”
Selena juga ikut bicara, meski dengan nada tenang. “Benar. Dia ada di sini karena alasan yang sama dengan kita semua.”
Guru menatap Elara lama, lalu akhirnya berdehem. “Hasilnya… tidak muncul. Mungkin perlu waktu. Kau boleh kembali duduk.”
Elara mengangkat bahu santai, kembali ke kursinya sambil nyemil biskuit dari sakunya. “Ya sudah, nggak muncul ya nggak apa-apa. Hidup tetap jalan. Tapi perasaan waktu di lingkaran muncul ?"
Namun di sudut ruangan, sepasang mata merah tajam tak berkedip menatapnya.
Arsen.
Dari tempat duduknya, tatapannya menusuk Elara seakan ingin menembus tubuhnya. Semua murid lain sibuk berbisik soal “nol”, tapi hanya Arsen yang tidak mengalihkan pandangan.
Dorion mencondongkan tubuh, berbisik pelan. “Lucu sekali… Kristal memang tak bereaksi, tapi aku yakin bahwa Arsen merasakan hal yang berbeda."
Arsen tetap diam. Namun jemari tangannya mencengkeram meja, aura gelapnya bergetar samar.
Dorion menyeringai tipis. “Hanya kau yang bisa melihatnya. Hanya kau yang tahu kenapa dia berbeda.”
Arsen menutup matanya, menarik napas dalam, lalu kembali menatap lurus ke depan. Wajahnya tetap dingin, seolah tidak terjadi apa-apa.
Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang bergolak.
Lapangan akademi dipenuhi murid-murid dari berbagai klan. Langit sore bersinar terang, tapi udara dipenuhi energi sihir yang berdesir dari satu murid ke murid lain.
Guru mengangkat tongkatnya. “Hari ini kalian akan mempraktekkan energi dasar dalam duel singkat. Tujuannya bukan untuk menang, tapi untuk menguji seberapa mampu kalian mengendalikan kekuatan kalian. Ingat, kendali lebih penting daripada kekuatan mentah.”
Murid-murid langsung bersorak kecil, sebagian menatap lawan dengan penuh percaya diri.
Mira menggenggam tangannya gugup. “Aku benci ini. Kalau duel pasti aku jadi sasaran empuk.”
Selena menyentuh pundaknya. “Tenang. Kita di sini belajar, bukan untuk saling menjatuhkan.”
Elara justru bersandar pada pohon, menguap lebar. “Duel-duel begini bikin ngantuk. Lagian, apa gunanya duel kalau aku bahkan nggak bisa bikin kristal nyala?”
“Ra! Bisa nggak sekali aja kamu serius? Lagiankan waktu awal nyala, tapi kenapa sekarang enggak ? Ada gak hal yang langsung memicu kekuatanmu datang ?"Mira mendelik, wajahnya pucat.
"Gak tahu ." jawab Elara santai
Satu per satu murid dipanggil. Energi sihir meledak di udara: ada cahaya emas Luminara yang menyilaukan, pusaran angin dari Veyra, dan bayangan hitam pekat milik Noctyra. Semua murid tampak terkesan sekaligus tegang.
Giliran Mira. Ia maju dengan ragu, tapi begitu duel dimulai, tangannya memancarkan pusaran biru yang cukup kuat menahan serangan lawan. Ia berhasil bertahan, bahkan membuat beberapa murid bersorak.
“Tidak buruk,” komentar gurunya.
Selanjutnya, Selena. Begitu ia mengangkat tangan, cahaya putih menyebar dari tubuhnya, membuat arena diterangi dengan lembut. Lawannya sempat terhuyung karena silau, dan Selena dengan mudah menyingkirkan serangan berikutnya.
“Luar biasa,” ucap gurunya dengan bangga.
Lalu nama Elara dipanggil.
Semua mata tertuju padanya. Beberapa murid tersenyum meremehkan, menunggu tontonan lucu.
Elara berjalan ke tengah arena dengan langkah malas, tangan masih mengunyah sisa biskuit. “Oke, ayo cepat. Aku lapar lagi.”
Lawannya ,seorang murid Veyra langsung mengeluarkan pusaran angin. Elara reflek mengangkat tangan… tapi tak ada apa-apa.
“Eh, kan aku udah bilang… aku nggak bisa apa-apa.”
Sorak kecil terdengar dari penonton, sebagian tertawa. “Nol beneran!” “Kenapa dia ada di sini sih?”
Serangan angin hampir mengenainya, tapi Elara secara refleks melompat ke samping dan… tersandung. Ia jatuh berguling, tapi anehnya serangan itu meleset tipis dari tubuhnya.
“Uh… kebetulan?” Elara nyengir cengir dari tanah.
Mira menepuk wajahnya frustasi. “Ya Tuhan, dia bikin malu!”
Selena hanya terdiam, tapi matanya memperhatikan dengan seksama. Itu… bukan kebetulan. Gerakannya seolah dipandu sesuatu.
Guru akhirnya menghentikan duel. “Cukup! Elara Sheraphine, kau perlu belajar keras. Untuk saat ini, nilai nol.”
Elara berdiri, menepuk debu dari seragamnya. “Sip, nilainya sama dengan kristalku kemarin. Konsisten dong aku.”
Murid-murid lain tertawa, tapi lebih karena mengejek. Elara hanya mengangkat bahu dan kembali ke tempat duduknya.
Di sisi arena, murid-murid Noctyra duduk berderet. Arsen berdiri dengan aura dingin, matanya tidak lepas dari Elara sejak awal.
Dorion, di sampingnya, terkekeh pelan. “Kau lihat itu? Semua orang menertawakannya… tapi kau tidak berhenti menatap. Jangan bilang kau mulai terikat pada yang ‘nol’ itu.”
Arsen tetap diam, wajahnya dingin. Namun tatapannya tajam, menusuk Elara yang sedang bercanda dengan Mira seakan tak peduli dunia.
Dorion mendekat, berbisik dengan nada menggoda. “Lucu sekali… bahkan tanpa kekuatan, dia sudah mengguncangmu.”
Arsen hanya menghela napas berat, jemarinya menggenggam sisi kursi. Aura hitam pekat sempat muncul sesaat, lalu mereda kembali.
Elara bersandar di rumput setelah duel berakhir, memandang langit senja yang kemerahan. Ia tersenyum santai. “Ah… ternyata nggak seburuk itu. Yang penting masih hidup.”
Mira mendengus. “Aku masih nggak ngerti kenapa kamu bisa sebego itu tapi tetap selamat.”
Selena menatapnya lama. Bukan karena kebetulan… aku yakin ada sesuatu dalam dirinya.
Dan dari kejauhan, mata merah Arsen masih menatap Elara, dingin tapi penuh misteri.
Langit di atas Klan Noctyra berwarna ungu gelap, dengan kilatan petir merah yang sesekali membelah langit. Kastil iblis menjulang tinggi, dikelilingi bayangan hitam yang berputar tanpa henti.
Di dalam, suara air mengalir terdengar. Arsen berdiri di kolam batu hitam, tubuhnya terendam air sedingin es. Rambut hitamnya menempel di wajah, tatapannya kosong menatap ke permukaan air.
Namun setiap kali ia memejamkan mata, bayangan wajah Elara muncul begitu jelas. Senyumnya yang santai, celotehannya yang sembarangan, bahkan tatapan matanya yang polos.
Arsen menghela napas dalam-dalam, jemarinya mengepal di bawah air. “Kenapa… wajah itu tidak mau hilang.”
Suara langkah ringan terdengar. Dorion masuk dengan senyum menggoda, bersandar di dinding dengan santai. “Aku tahu kau di sini lagi, Pangeran Dingin.”
Arsen tak menoleh. “Pergi.”
“Ck ck… kau bisa mengusir semua orang, Arsen. Tapi kau tidak bisa mengusir wajah seorang gadis dari kepalamu.” Dorion terkekeh. “Jangan bilang, Elara itu sudah meracuni pikiranmu?”
Arsen membuka mata, tatapan merahnya berkilat tajam. “Diam, Dorion.”
“Tapi bukankah itu nyata?” Dorion maju, menatapnya penuh tantangan. “Sejak ratusan tahun, kau tidak pernah terusik oleh siapapun. Semua wanita bahkan takut mendekatimu. Tapi sekarang… hanya satu gadis tolol dengan nilai nol yang berhasil membuatmu kehilangan kendali.”
Air di kolam bergetar hebat, hawa iblis keluar tanpa bisa dicegah. Dinding batu retak, udara seakan menjerit.
Dorion tersenyum lebar. “Lihat? Kau bahkan tidak bisa menahan dirimu hanya karena membayangkan wajahnya.”
Arsen berdiri, air dingin mengalir dari tubuhnya. Tatapannya semakin tajam, tapi suaranya rendah bergetar. “Aku harus mengendalikan ini… atau seluruh Noctyra akan hancur.”
Dorion menatapnya lama, lalu mendesah santai. “Atau mungkin… untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau tidak perlu mengendalikan segalanya. Biarkan saja, Arsen. Biarkan dia masuk.”
Arsen menutup mata, tapi wajah Elara kembali muncul tersenyum bodoh sambil berkata, “Apapun itu ,makanan lebih penting dari hal apapun.”
Ia meremas rambutnya frustasi. “Kenapa aku tidak bisa menghapusnya…?”
Langit di atas kastil kembali bergetar, petir merah menyambar tanpa kendali.