Tentang perjalanan hidup seorang gadis biasa saja. Hidupnya hambar dan tidak ada istimewanya. Dia, dulunya adalah gadis yang ceria Namun karena keadaan ceria itu hilang.
Manusia lain nggak pernah jahat, ia hanya menyalahkan dirinya sendiri.
Setiap hari yang ia rasakan adalah sepi dan hampa yang selalu menemani.
Ada banyak pertanyaan dalam kehidupan gadis itu.
Akankah Gadis itu perlahan akan menjawab banyak pertanyaan rumit di kepalanya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Penulis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(6) Heal Wounds
Aruna merasa hidupnya berubah sejak anxiety disorder mulai menguasai pikirannya. Awalnya, kecemasan itu datang perlahan. Gelisah ringan yang kadang sulit dijelaskan. Namun, seiring waktu, rasa cemas berubah menjadi serangan panik yang tiba-tiba, menghancurkan ketenangan hari-harinya. Jantungnya berdebar kencang tanpa sebab, napas sesak, dan pikirannya dipenuhi oleh bayangan terburuk. Dia merasa seperti terjebak dalam lorong gelap tanpa cahaya di ujung sana. Tapi Aruna memutuskan untuk tidak menyerah dan bertekad menyembuhkan dirinya, meski jalan yang harus ditempuh penuh tantangan.
Langkah pertama Aruna adalah mencari bantuan profesional. Ia berkonsultasi dengan psikolog yang membantunya memahami bahwa anxiety disorder adalah kondisi nyata yang bisa dikendalikan, bukan hanya "pusing biasa" atau lemah mental.
Selain terapi, Aruna juga mulai merawat tubuhnya dengan cara yang lebih sehat. Ia rutin melakukan olahraga ringan seperti jalan kaki yang memperbaiki suasana hati. Walau sempat merasa malas dan sulit mengatur waktu, Aruna selalu mengingat bahwa tubuh dan pikiran saling berhubungan erat. Tidur yang cukup dan pola makan seimbang juga menjadi perhatian penting agar energi dan kesehatannya tetap terjaga.
Aruna menemukan kekuatan besar dari teknik relaksasi, seperti latihan pernapasan dan meditasi. Saat serangan panik datang, ia mencoba mengendalikan napas dengan tarik napas dalam-dalam selama empat detik, tahan sebentar, lalu hembuskan perlahan selama enam detik. Latihan sederhana ini membantunya menenangkan tubuh yang tegang dan memecah siklus kecemasan yang berulang. Meditasi rutin membantunya lebih sadar akan momen sekarang, mengurangi kekhawatiran berlebihan yang sering muncul dari pikiran yang cepat melayang ke masa depan.
Rafael selalu sabar menemani saat Aruna mengalami masa sulit, memegang tangannya dan meyakinkan bahwa dia tidak sendiri. Dengan adanya support system ini, Aruna merasa lebih kuat menghadapi tantangan mentalnya.
Tidak hanya itu, Aruna mulai menetapkan batasan dalam hidupnya, seperti mengurangi konsumsi kafein dan membatasi waktu menggunakan media sosial yang sering memicu stres. Ia juga belajar berkata "tidak" pada hal-hal yang membuatnya merasa berat, menjaga batasan mental agar tidak terlalu lelah.
Perjalanan Aruna menyembuhkan diri tidak mudah dan tidak instan. Ada hari-hari ketika rasa cemas datang kembali dengan kuat, membuatnya merasa lelah dan putus asa. Tapi ia terus berusaha, mengingat bahwa kemajuan kecil sekalipun adalah sebuah pencapaian. Dengan kesabaran, konsistensi terapi, dan dukungan orang-orang di sekitarnya, Aruna perlahan berhasil mengendalikan anxiety disorder.
Kini, Aruna bukan hanya bertahan, tapi mulai hidup dengan lebih penuh. Ia belajar menerima kondisi dirinya tanpa merasa malu atau takut. Anxiety disorder bukan akhir dari hidupnya, melainkan bagian dari perjalanan yang mengajarkannya arti kekuatan dan keberanian sejati.
Bisikan itu kembali muncul saat Aruna mencoba tenang. Awalnya ia merasa mereda, tapi suara dalam kepalanya mulai menggerogoti pikirannya pelan-pelan. "Kamu nggak akan kuat," bisikannya, terus-menerus dan tajam, seperti bayangan gelap yang menutupi cahaya harapan. Hatinya makin sesak, napasnya menjadi tak beraturan, dan kecemasan yang dulu ia lawan mulai merayap kembali.
Setiap bisikan itu membisikkan ketakutan tak berdasar, meruntuhkan kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit. Rasanya seperti ada suara asing yang mengintimidasi dari dalam, membuatnya merasa sendiri meski ada orang di sekitarnya. Aruna sadar ini bukan suara nyata, tapi pikiran-pikiran negatif yang mengendalikan dirinya.
Ia mencoba mengingat latihan pernapasan yang diajarkan Rafael, menarik napas dalam-dalam, menahan sejenak, lalu menghembuskan perlahan. Tapi bisikan itu kadang lebih keras, membuat Aruna ragu. Tapi Aruna nggak mau menyerah, dia tekadkan diri untuk terus melawan gelombang bisikan yang mengancam kedamaian hatinya.
Bisikan itu memang datang kembali, tapi kini Aruna belajar menghadapinya dengan sabar, mengingat bahwa rasa cemas ini hanyalah bagian dari perjalanannya sembuh. Dia mulai percaya, suara hati positif yang pernah ia tanam akan lebih kuat untuk mengalahkan bisikan.
Dengan dukungan Rafael, Aruna mulai membuat jurnal harian untuk menuliskan bisikan-bisikan itu dan melawan dengan kata-kata positif yang ia percaya. "Aku kuat." "Aku berharga." dan "Aku sedang berproses." Kata-kata ini menjadi mantra yang membantunya.
Aruna mulai melihat cahaya kecil di ujung lorong gelap itu. Dari waktu ke waktu, bisikan itu semakin berkurang suaranya dan kekuatannya.
Sekarang Aruna tinggal di apartemen milik Rafael yang terasa jauh lebih aman dan nyaman baginya. Di sana, ia punya ruang pribadi yang tenang untuk fokus menyembuhkan kecemasannya tanpa gangguan atau tekanan dari luar. Lingkungan apartemen yang kondusif, ditambah dukungan penuh dari Rafael, membuat Aruna merasa lebih terlindungi dan percaya diri menjalani proses penyembuhannya.
Setiap hari, Aruna bisa mengatur waktunya dengan lebih baik. mulai dari terapi online, latihan pernapasan, meditasi, hingga istirahat yang cukup. Di apartemen itu ia juga punya teman yang selalu siap mendengarkan dan memberi semangat, yang sangat berarti saat ia merasa gelisah atau down. Kehidupan baru ini membantunya membangun rutinitas yang sehat dan stabil, sebuah fondasi penting untuk mengatasi anxiety disorder.
Rafael masuk ke kamar Aruna dengan langkah pelan, melihatnya duduk sendiri di ujung kasur, wajahnya terlihat murung dan pikiran yang berat. Dengan suara lembut, Rafael bertanya, "Kenapa, sayang? Kamu lapar? Aku baru aja beli makanan, biar aku ambilin." Aruna menahan tangan Rafael dengan lembut, menatap matanya dan berkata, "Aku nggak lapar, aku cuma butuh kamu."
Mendengar itu, Rafael duduk di sampingnya, memeluk Aruna pelan. Aruna merasa hangat dan aman, sedikit demi sedikit ketegangan di tubuhnya berkurang. Momen sederhana ini menjadi pengingat bahwa ia nggak sendiri dalam perjuangannya, ada seseorang yang selalu siap menemani dan mendengarkan tanpa menghakimi.
Rafael melepaskan pelukannya lalu berkata. "Kamu istirahat aja, aku di sini." Aruna mengangguk dan langsung tiduran, Rafael mengambil selimut untuk Aruna dan memakaikannya, Lalu Aruna tidur sambil menggenggam tangan Rafael erat.
...•••...
Rafael dan Aruna mengalami perdebatan yang cukup intens di salah satu sore di apartemen Rafael. Awalnya, perbincangan mereka tentang masa depan lalu Rafael merasa Aruna terlalu menutup diri dan enggan meminta bantuan, sementara Aruna merasa Rafael sering nggak paham betapa berat perjuangannya melawan anxiety yang membelenggu pikirannya.
Aruna berkata, "Aku butuh waktu sendiri, Rafael. Kadang aku cuma pengen semuanya tenang tanpa ada yang menyuruh ini dan itu." Rafael yang merasa sedih dan frustrasi membalas, "Aku cuma pengen kamu buka diri, jangan terus-terusan menyimpan semua sendiri. Aku ada buat kamu, tapi kamu harus izinkan aku membantu."
Perdebatan semakin memanas karena keduanya punya cara berbeda dalam menghadapi masalah. Rafael ingin Aruna lebih aktif dan terbuka, sementara Aruna merasa tekanan itu malah bikin kecemasannya bertambah. Ada kalanya sesekali Aruna merasa Rafael nggak cukup sabar, dan Rafael merasa lelah karena sudah berusaha tapi tetap dihargai seadanya.
Namun, di tengah ketegangan itu, mereka sadar kalau perdebatan ini bukanlah tentang siapa yang benar atau salah, tapi tentang bagaimana mereka saling memahami dan mendukung. Rafael menarik napas, lalu berkata dengan lebih lembut, "Aku nggak mau kita terus begini. Aku cuma pengen kamu tahu aku selalu di sini, kapan pun kamu butuh."
Aruna menatap mata Rafael, perasaan di dadanya mulai melunak. Ja tahu Rafael bukan lawan, tapi teman sekaligus pelindungnya. Dengan suara serak, Aruna membalas, "Aku juga nggak mau kita jauh, Rafael. Tolong sabar sama aku, aku sedang berusaha, meski kadang sulit."
Mereka pun berpelukan, saling memaafkan dan berjanji untuk lebih terbuka. Perdebatan itu menjadi titik balik yang membuat mereka semakin kuat bersama, walau perjuangan Aruna dengan anxiety belum usai, tapi Rafael ada sebagai penopang setianya.
Hubungan Rafael dan Aruna penuh lika-liku karena anxiety disorder yang Aruna alami. Kadang mereka merasa sangat dekat dan saling mendukung, tapi tak jarang juga muncul ketegangan dan salah paham.
Rafael ingin selalu ada untuk Aruna, tapi terkadang dia bingung menghadapi kecemasan yang datang tiba-tiba dan membuat Aruna menjauh.
Di saat Aruna merasa cemas, ia suka menarik diri dan sulit percaya bahwa Rafael mengerti penderitaannya. Rafael pun kadang merasa frustrasi karena usaha terbaiknya belum cukup membantu. Mereka berdua mengalami naik turun emosi, kadang bahagia bareng, kadang sedih dan kecewa.
Namun, mereka berusaha belajar sabar dan menerima kondisi ini bersama-sama. Rafael mulai memahami bahwa dukungan terbaik bukan hanya dari kata-kata, tapi juga kehadiran yang tenang. Aruna juga mencoba terbuka dan jujur tentang perjuangannya, meski itu tidak selalu mudah.
Meski penuh tantangan, hubungan mereka tetap kuat karena ada cinta, pengertian, dan komitmen untuk menghadapi segala rintangan. Mereka percaya, dengan saling mendukung, hari-hari sulit pasti bisa dilewati bersama.