Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Waktu makan siang telah tiba, kantin perusahaan mulai ramai dengan suara gelas dan piring yang saling beradu.
Amira duduk di sudut ruangan, menatap pintu masuk dengan harapan yang mulai menipis.
“Diko,” ucapnya pelan sambil menatap jam tangan di pergelangan tangannya,
“Kenapa Bas belum turun juga? Tadi katanya cuma rapat sebentar.”
Diko yang sedari tadi memainkan sendoknya hanya menggeleng pelan.
“Mungkin masih ada tamu mendadak, Bu. Biasanya beliau nggak pernah lama.”
Namun lima belas menit berlalu, hingga satu jam Sebastian belum juga muncul.
Amira mulai gelisah. Ia berdiri, matanya menatap pintu dengan resah.
“Tolong, Diko, coba kamu lihat ke atas. Aku nggak tenang,” pinta Amira lirih namun tegas.
Diko mengangguk cepat dan berlari keluar.
Tak lama kemudian, langkahnya kembali terdengar, kali ini lebih tergesa.
“Bu, Tuan Sebastian nggak ada di ruangannya.”
“Apa maksudmu nggak ada?”
“Ruang rapat kosong, Bu. Semua staf bilang rapat sudah selesai sejak setengah jam lalu, tapi nggak ada yang lihat beliau keluar.”
Jantung Amira berdentum keras. Ia langsung bangkit, hampir menabrak kursi di belakangnya.
Dengan langkah cepat, ia menuju lift bersama Diko.
Begitu pintu ruang kerja Sebastian terbuka, Amira tertegun.
Ruangan itu sunyi, namun di atas meja masih tergeletak tas kerja dan ponsel milik Sebastian, bahkan kunci mobil masih ada di sampingnya.
“Ini nggak mungkin…” suara Amira bergetar.
Tangannya menyentuh ponsel itu, seolah berharap sang pemilik akan muncul kapan saja.
Diko menatap sekeliling, wajahnya menegang.
“Ini nggak masuk akal, Bu. Tuan Sebastian nggak mungkin pergi tanpa ponsel dan kunci.”
Amira menatap Diko dengan mata berkaca-kaca.
“Diko, tolong cari dia. Tolong temukan Bas-ku…”
“Panggil semua tim keamanan sekarang juga!”
Suara Diko bergema di ruang kerja Sebastian, tegas dan penuh tekanan.
Beberapa orang langsung berlari keluar, sementara Amira berdiri di tengah ruangan, memegang ponsel suaminya yang masih dingin.
Beberapa menit kemudian, tim keamanan datang membawa laptop dan kabel data.
Mereka segera mengakses sistem keamanan kantor.
Diko berdiri di belakang mereka, matanya menatap tajam ke layar monitor.
“Putar rekaman dari dua jam terakhir,” perintahnya cepat.
Salah satu teknisi mengangguk dan mulai mengetik namun wajahnya tiba-tiba berubah panik.
“Pak, semua rekaman dari lantai ini… hilang.”
Diko mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan dari salah satu teknisi.
“Apa maksudmu hilang?”
“Semua data dari kamera koridor, ruang rapat, bahkan lift utama rusak total. File-nya corrupt, Pak. Seolah—”
Teknisi menelan ludah, menatap Diko takut-takut,
“—seolah ada yang sengaja menghapus dan menonaktifkannya dari pusat.”
Diko terdiam, matanya perlahan melebar.
Sementara di belakangnya, suara napas Amira mulai tersengal.
“Cctv rusak semua?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Teknisi hanya bisa menunduk, tak sanggup menjawab.
Tubuh Amira mendadak goyah. Ponsel Sebastian terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai dengan bunyi klik yang memecah keheningan.
“Bu Amira!” seru Diko, berlari cepat menangkap tubuh Amira yang mulai limbung.
Amira menatap Diko dengan mata berkaca, suaranya bergetar, penuh ketakutan.
“Diko, jangan bilang kalau ada yang terjadi sama dia…”
Diko menggenggam bahu Amira, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Saya janji, Bu. Kita akan temukan Tuan Sebastian. Siapa pun yang melakukan ini tidak akan lolos.”
Sementara itu, di sebuah vila terpencil di pinggiran kota, suasana hening menambah kesan mencekam.
Di dalam kamar bernuansa gelap, Sebastian terbaring lemah di atas ranjang besar.
Tubuhnya tampak pucat, matanya setengah terbuka namun pandangannya kabur.
Natasya berdiri di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur tipis berwarna merah muda, senyum licik tersungging di bibirnya.
Ia menatap Sebastian yang tak berdaya seolah menatap hasil kemenangannya sendiri.
“Terima kasih, sayang…” ucapnya pelan, jemarinya membelai wajah Sebastian dengan lembut namun dingin.
“Kamu akhirnya bersamaku lagi. Dan anak ini…” ia menatap perutnya sendiri dengan tatapan gila, “…akan mengikat kita selamanya.”
Sebastian mengerang pelan, suaranya lemah.
“A… Amira…” gumamnya, hampir seperti bisikan dari orang yang bermimpi.
Mendengar nama itu, wajah Natasya langsung berubah. Matanya menajam, rahangnya mengeras.
“Jangan,.panggil dia lagi!” teriaknya penuh amarah.
Ia berjalan cepat ke meja kecil di sisi ranjang, mengambil sebuah suntikan kecil berisi cairan transparan.
Dengan tangan gemetar tapi penuh dendam, ia menusukkan jarum itu ke lengan Sebastian, membuatnya kembali tak sadarkan diri.
“Selamat malam, suamiku,” ucap Natasya pelan dengan senyum miring.
Ia berdiri menatap tubuh tak berdaya itu selama beberapa detik sebelum akhirnya berbalik.
Di luar kamar, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan sebuah nomor.
“Semua sudah berjalan sesuai rencana. Pastikan tidak ada yang tahu di mana dia berada,” ucapnya dingin, tanpa ekspresi.
Lalu ia memutus sambungan, menatap malam yang gelap dari balkon vila, sementara di kejauhan lampu kota tampak seperti cahaya yang semakin menjauh dari dunia yang kini ia kendalikan dengan kebohongan dan obsesi.
Di ruang keluarga rumah keluarga Vettel, suasana terasa tegang dan penuh kekhawatiran.
Amira duduk di sofa dengan wajah pucat, matanya sembab karena menangis.
Tubuhnya bergetar pelan saat Casandra, ibu Sebastian, memeluknya erat dari belakang.
“Ma, di mana Bas? Aku takut, Ma…” suara Amira bergetar, nyaris tidak terdengar. Air matanya jatuh membasahi bahu Casandra.
Casandra mengusap rambut menantunya dengan lembut, berusaha menenangkan walau hatinya sendiri dipenuhi kecemasan.
“Tenang, Nak. Tenang dulu. Diko dan anak-anak buahnya sedang mencarinya. Sebastian pasti baik-baik saja. Kamu tahu sendiri dia kuat, kan?”
Namun Amira hanya bisa menggeleng pelan, air matanya semakin deras.
“Dia nggak mungkin pergi tanpa kabar. Ponselnya juga tertinggal, Ma. Aku takut terjadi sesuatu.”
Casandra menggigit bibirnya, lalu segera mengambil ponselnya dan menelepon Diko dengan tangan bergetar.
“Diko, sudah dapat kabar apa?” tanyanya cepat.
Suara Diko di seberang terdengar berat dan tegang.
“Maaf, Bu. Kami sudah periksa semua jalur keluar dari gedung. CCTV di lantai tempat Tuan Sebastian bekerja rusak total. Kami juga sudah cek area parkir, tapi mobil beliau masih di tempat.”
Casandra menatap Amira yang kini terisak di pelukannya, lalu bertanya lirih,
“Lalu, ponselnya?”
“Terakhir kali sinyal ponselnya terdeteksi di ruang kerja, Bu,” jawab Diko pelan.
“Setelah itu, tidak ada aktivitas lagi. Seolah… ponselnya benar-benar mati.”
Casandra menutup mulutnya, menahan napas yang berat.
Sementara Amira langsung menunduk, memegangi dadanya yang terasa sesak.
“Bas…” bisiknya lirih. “Kumohon, jangan tinggalkan aku…”
Casandra memeluknya semakin erat, berusaha tegar untuk menenangkan Amira yang hampir kehilangan kendali.
“Nak, kita harus percaya. Diko akan menemukan dia. Mama janji Sebastian pasti kembali
Keesokan paginya, cahaya lembut menembus jendela kamar yang besar.
Sebastian membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa kaku dan tangannya serta kakinya terikat erat di ranjang.
Napasnya berat, pandangannya langsung mencari jalan keluar, namun tak ada.
Pintu kamar terbuka perlahan. Natasya masuk sambil membawa nampan berisi sarapan.
Senyumnya penuh kemenangan, namun matanya menatap Sebastian dengan intens.
“Selamat pagi, suamiku,” ucap Natasya manja sambil meletakkan nampan di meja dekat ranjang.
Sebastian menatapnya dengan mata menyala marah.
“Kamu gila, Natasya!! Lepaskan aku sekarang juga!” suaranya terdengar tegas, namun napasnya masih tertahan karena terikat.
Natasya tertawa terbahak-bahak, suaranya memenuhi ruangan.
“Aku gila karena kamu, sayang. Aku gila mencintaimu, dan aku tidak mau berbagi dengan siapa pun!”
Sebastian mencoba menarik napas dalam, menenangkan diri, dan menatap Natasya dengan sorot mata penuh kemarahan dan tekad.
“Dengar baik-baik, Natasya. Tidak ada yang akan membuatku tunduk pada kegilaanmu. Lepaskan aku sekarang atau kamu akan menyesal.”
Natasya mendekat ke ranjang, wajahnya hampir menempel ke wajah Sebastian.
“Menyesal? Oh, sayang ini baru permulaan. Kita punya banyak waktu bersama.”
up'ny yg bnyk thor🙏💪