Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Sakit dan sudah pasti berdarah
Pelukan itu berubah menjadi cengkeraman. Hansel yang setengah kehilangan kendali, masih dibutakan oleh nama yang terus menerobos keluar dari bibirnya.
“Laudya…” bisiknya lagi, seolah yakin sosok yang dipeluknya adalah sang istri sah yang ia cintai sepenuh hati. Hana terdiam, tubuhnya kaku, matanya terpejam menahan air yang hendak jatuh. Dia ingin melepaskan diri, ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia bukan Laudya. Tetapi, terngiang kembali ucapan ibunya, “Setahun saja, Hana. Hanya setahun, Nak. Setelah itu semuanya berakhir.”
Meski setiap sentuhan yang menyusup ke tubuhnya terasa asing, dingin, dan menyakitkan, Hana hanya bisa menggigit bibir. Menahan isak yang nyaris pecah. Air matanya menetes, membasahi bantal yang ia gigit agar suara tangisnya tak terdengar.
“Kenapa kau begitu dingin malam ini, Laudya…” gumam Hansel, matanya terpejam, hatinya masih terikat pada nama yang bukan Hana. Di bawah cahaya redup kamar itu, Hana merasakan hatinya tercabik. Dia adalah istri, tapi tak dianggap istri. Ia yang menyerahkan seluruh dirinya, tapi tak pernah dipandang sebagai perempuan yang layak dicintai. Yang Hana dengar hanyalah nama Laudya, dan yang ia rasakan hanyalah luka yang semakin dalam. Di dalam hati kecilnya, Hana berbisik, 'Andai aku diberi pilihan … aku takkan pernah mau menikah denganmu, Tuan Hansel.'
Namun malam itu, ia membiarkan semuanya terjadi, bukan karena rela dan bukan karena cinta. Tapi, karena ia terikat oleh janji, oleh air mata ibunya, oleh pernikahan yang baginya hanyalah penjara tanpa pintu keluar. Saat Hansel akhirnya terlelap, tubuh Hana gemetar. Matanya bengkak karena tangis yang ia pendam sepanjang malam. Ia menoleh menatap wajah lelaki itu, dingin, keras, dan tak pernah berpihak pada hatinya.
Malam itu, ketika Hansel sudah tertidur, Hana menyelinap keluar dari kamar Hansel yang dingin dan penuh bayangan luka. Langkahnya tertatih, tubuhnya lemah seakan seluruh tenaga telah terhisap habis. Ia hanya ingin menjauh, sejauh mungkin dari kamar itu. Dengan sisa tenaga, ia menuju kamar kecil tempat ibunya beristirahat. Tanpa membangunkan siapa pun, Hana langsung masuk ke kamar mandi, memutar keran shower hingga air deras jatuh menimpa tubuhnya.
Air itu seolah mampu menghapus semua rasa sakit, tetapi kenyataannya tidak. Tangis yang ia tahan sepanjang malam akhirnya pecah. Isakannya menggema, teredam derasnya air. Bahunya bergetar, suaranya tersedu-sedu, menyatu dengan suara air yang jatuh membasahi lantai.
“Kenapa … kenapa harus aku?” bisiknya di antara tangis.
“Ya Allah … aku tak kuat…”
Jamilah yang semula tertidur gelisah, tersentak oleh suara tangisan yang samar. Dengan hati cemas, ia bangun dan berjalan ke arah kamar mandi. Suara air mengalir deras terdengar jelas, disertai tangis yang tak lagi bisa ditutupi.
“Hana?” panggil Jamilah pelan sambil mengetuk pintu. Namun, tak ada jawaban sama sekali.
“Hana … ini Ibu, Nak. Buka pintunya.”
Namun pintu tertutup. Jamilah semakin panik, hatinya mencelos membayangkan keadaan anaknya. Dengan paksa ia membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Begitu pintu terbuka, pandangan itu menghantam dadanya. Hana duduk meringkuk di bawah shower, tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, matanya sembab, tangisnya pecah tanpa bisa ia sembunyikan lagi.
“Hana…” suara Jamilah bergetar. Ia segera berlutut, merengkuh tubuh anak gadisnya dalam pelukan. Tangis Jamilah pun pecah seketika. Air mata seorang ibu jatuh, menyatu dengan air yang mengalir dari shower.
“Maafkan Ibu, Nak … maafkan Ibu…” bisik Jamilah, suaranya tersengal. Hana hanya bisa menangis semakin keras dalam dekapan itu. Luka di tubuhnya tak seberapa dibanding luka yang kini merobek hatinya. Jamilah mengangkat bahu anaknya perlahan, menatap wajah Hana yang memucat. Dengan tangan gemetar ia mengambil handuk, menyelimuti bahu Hana.
“Sudah, Nak … ayo berdiri. Kau bisa jatuh sakit kalau terus seperti ini.” Dengan sabar, Jamilah mengeringkan rambut anaknya, mengusap pipi Hana yang basah oleh air dan air mata. Ia menuntun Hana keluar dari kamar mandi, membawanya ke ranjang kecil mereka.
“Hana … tolong dengarkan Ibu. Kamu harus kuat, Nak. Hanya setahun … hanya setahun, lalu semua ini akan selesai.” Jamilah sendiri tercekat mengucapkannya, karena hatinya tahu kalimat itu lebih mirip racun daripada penghiburan. Malam itu, bukan hanya Hana yang menangis. Jamilah pun menangis diam-diam, merasakan sesak yang menusuk hingga ke tulang. Ia tahu, sebagai seorang ibu, ia seolah telah menjual kebahagiaan anak gadisnya sendiri demi memenuhi keinginan keluarga Malik.
Di bawah redup lampu kamar, dua perempuan itu larut dalam air mata masing-masing. Air mata seorang anak yang baru saja kehilangan sebagian dirinya. Dan air mata seorang ibu yang tak sanggup melindungi darah dagingnya. Malam itu panjang, dan tidur tak lagi bisa menyapa keduanya.
Baik, aku akan lanjutkan adegan itu sebagai bagian dari bab 7. Nuansanya akan tetap dramatis, menekan emosi Hana dan Hansel, juga menambah ketegangan antara Hansel dan sepupunya Rayyan.
Pagi itu rumah keluarga Malik tampak ramai dengan suara pelayan yang mondar-mandir menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang dan telur rebus memenuhi udara. Namun, satu wajah yang seharusnya hadir, justru tidak terlihat.
Rohana melirik jam dinding. Biasanya Hana sudah bangun membantu ibunya menata meja makan. Tapi kali ini, tak ada tanda-tanda gadis itu. Hatinya berprasangka lain, mungkin Hana masih berada di kamar Hansel, menemaninya setelah malam yang panjang. Senyum tipis tersungging di wajah Rohana, penuh perhitungan.
Namun dugaan itu buyar ketika langkah berat Hansel terdengar menuruni tangga. Lelaki itu muncul dengan wajah pucat, mata merah karena kurang tidur, dan bibir terkatup rapat penuh amarah. Rohana berusaha menyambutnya hangat.
“Selamat pagi, Nak. Mama sudah siapkan telur rebus setengah matang dan segelas susu. Ayo, duduklah.”
Hansel tidak menjawab. Tatapannya tajam, penuh kekecewaan, mengarah pada ibunya. Sejak bangun pagi tadi, kepalanya dipenuhi bayangan semalam, bayangan yang membuat dadanya sesak. Ia terbangun dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, tubuhnya masih hangat karena sesuatu yang mungkin telah terjadi. Namun yang paling membuatnya muak, adalah menyadari dirinya kehilangan kendali. Dia menarik kursi dengan kasar, duduk, lalu menyendok roti tanpa sepatah kata pun.
“Eh … Hana mana?” tanya Rohana, memecah keheningan. “Dia tidak bersamamu?” bisik Rohana pelan. Pertanyaan itu menusuk telinga Hansel. Tangannya terhenti di atas piring. Wajahnya kaku, tak ada jawaban keluar. Kebisuan itu justru lebih menyakitkan daripada kalimat apapun.
Jamilah yang sedari tadi menunduk, akhirnya angkat bicara. “Hana di kamar, Nyonya. Dia sedang demam. Semalam dia tidak bisa tidur, jadi … pagi ini tidak ikut sarapan.”
Hansel mendengar dengan jelas. Rahangnya mengeras, tetapi ia tetap bungkam. Tidak ada amarah yang meledak, tidak ada penjelasan. Hanya dingin, membeku bersama tatapan kosongnya pada meja makan. Suasana canggung itu pecah ketika suara riang terdengar dari arah pintu.
“Assalamualaikum!” Rayyan, sepupu Hansel, melangkah masuk dengan senyum hangat. Ia baru kembali dari luar negeri, dan seperti biasa, kehadirannya membawa nuansa berbeda. Rohana tersenyum menyambutnya.
“Waalaikumussalam. Rayyan, ayo sarapan bersama.” Rayyan langsung menyapa sopan pada semua yang hadir, termasuk Jamilah. Ia menunduk hormat, memperlihatkan sikap santun yang membuat Rohana semakin menyayanginya. Namun, pandangannya segera berkeliling, mencari sosok lain.
“Tapi, Bu, saya tidak melihat Hana. Ke mana dia?” tanya Rayyan pada Jamilah.
Jamilah menunduk sedikit. “Hana sedang kurang sehat, Nden. Dia demam, jadi beristirahat di kamar.”
Mata Rayyan melembut. “Apa dia udah berobat? Kalau belum biar saya aja yang bawa dia ke rumah sakit. Jangan sampai dibiarkan begitu saja ... takutnya tambah parah," Baru saja ucapannya selesai, suara sinis memotong.
“Sepertinya kau terlalu senggang, Rayyan, sampai sempat-sempatnya mengurus putri seorang pembantu." Itu suara Hansel, suara yang dingin, penuh ejekan, membuat udara seolah membeku.
Rayyan menoleh, wajahnya tetap tenang meski nada suaranya mengeras.
“Hansel, jangan berkata seperti itu. Semua orang sama, tidak peduli apa pekerjaan mereka. Hana manusia, bukan benda. Kalau dia sakit, sudah seharusnya dibawa berobat. Atau kau lebih senang melihatnya terbaring lemah?”
Kata-kata itu menghantam Hansel tepat di dadanya. Untuk sesaat, ia kehilangan balasan. Rahangnya menegang, matanya berkilat, tetapi tak ada argumen yang keluar. Ia hanya terdiam, tatapan tajamnya menyiratkan rasa terusik. Rohana menatap putranya, resah karena ketegangan itu bisa meluas. Namun sebelum ia sempat bicara, Hansel sudah bangkit dari kursinya.
“Mama, suruh sopir antar Bu Jamilah dan Hana kembali ke kediamanku. Rumah membutuhkan mereka," Nada suaranya dingin, perintah yang tak bisa ditawar.
Rayyan cepat-cepat menyahut, “Kalau begitu biar aku saja yang mengantar. Tidak masalah, aku lebih tenang begitu.”
Hansel tidak menoleh, tidak menjawab, hanya melangkah pergi dengan wajah beku yang menyimpan badai. Bayangan tubuhnya menghilang di balik pintu, meninggalkan meja makan dalam keheningan yang menyesakkan.
'Anak ini mulutnya terlalu tajam ... aku khawatir kamarnya lebih cepat dari yang ku duga.' gumam Rohana dalam hatinya, saat membayangkan ucapan Hansel terhadap Hana.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊