Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 6
Meira menggeliat malas di atas sofa, matanya masih terasa berat karena baru saja bangun siang. Rambutnya berantakan, wajahnya belum segar, tapi layar lebar di depannya tetap menyala, menayangkan sosok Kevin yang sedang bernyanyi dengan penuh energi. Rekaman itu sudah berulang kali diputar, entah untuk yang keberapa kalinya.
Suara Kevin yang serak khas itu memenuhi ruang kecilnya, seakan menyindir kebiasaan Meira yang semakin tidak produktif. Ia hanya bisa menarik napas panjang, menatap layar dengan pandangan kosong.
“Gila... hidup gue udah kayak kaset rusak, yang muter cuma lo doang, Kev,” gumamnya lirih, setengah bercanda pada dirinya sendiri.
Meira mengusap wajah, lalu meraih botol air mineral di meja, meneguknya perlahan. Perutnya keroncongan, tapi ia terlalu malas untuk bangkit. Pandangannya tetap tertuju pada Kevin, yang terlihat begitu bersemangat di panggung, seolah dunia benar-benar ada di genggamannya.
Sementara Meira, seorang pengangguran yang bangun siang, hanya bisa menyaksikan dari layar. Ada perasaan iri, kagum, sekaligus getir yang bercampur jadi satu dalam dadanya.
Ponselnya tiba-tiba bergetar, cahaya notifikasi menyilaukan matanya yang masih sayu. Dengan malas, ia meraihnya dari meja kecil di samping sofa. Matanya melebar saat membaca pesan yang baru masuk dari ibunya.
Kata-kata itu menampar keras: ibunya sudah menyerah. Mulai hari ini, beliau tidak mau lagi tahu urusan Meira. Segala tingkah dan pilihan hidup Meira bukan lagi tanggung jawabnya. Bahkan, ibunya melarang Meira pulang ke rumah. “Gue nggak punya urusan sama lo lagi. Urusan lo sekarang sama si Erick, ayah kandung lo itu.”
Ibunya juga menuliskan nomor ponsel ayahnya. Meirra menatap nomor itu sekilas. Senyum miring tersungging di bibirnya. Ia tahu betul, itu bukan nomor ayahnya langsung, melainkan nomor orang suruhan yang bertugas menjadi jembatan komunikasi. Seakan-akan ayahnya terlalu mulia untuk bersentuhan dengan urusan mereka.
Dalam hati, Meirra menggeram. Ayahnya tidak mau merusak reputasi dengan mengakui anaknya sendiri?
Meira terdiam. Layar ponselnya buram tertutup genangan air mata yang tiba-tiba saja jatuh. Ia terisak tanpa suara, hanya tubuhnya yang bergetar menahan rasa perih.
Seumur hidup, ibunya selalu menjadi satu-satunya orang yang masih ia harapkan, meski hubungan mereka sering renggang. Dan kini, dalam satu pesan singkat, harapan itu hancur total.
Sementara di layar televisi, Kevin masih bernyanyi dengan penuh semangat, wajahnya bersinar oleh lampu panggung. Seakan dunia Meira diejek habis-habisan seseorang di luar sana bersinar terang, sementara hidupnya sendiri makin tenggelam dalam kegelapan.
Seketika wajah Meirra menegang. Ia hanya mendengus pendek, melempar ponselnya ke samping. Nomor yang dikirim ibunya pun tak membuatnya penasaran.
“Yaelah... ribet amat. Gue nggak butuh perhatian, yang gue butuh duit.” gumamnya cuek.
Baginya, perhatian hanyalah basa-basi. Yang ia perlukan hanyalah uang untuk bertahan hidup, bukan drama panjang keluarga yang bahkan sejak dulu tak pernah benar-benar ia rasakan.
Meirra butuh ketenangan. Ia turun dari apartemen itu, langkahnya terarah ke minimarket besar yang menjual berbagai minuman impor. Matanya langsung tertuju pada sebotol Macallan Rare Cask wiski mahal yang biasanya hanya disentuh orang-orang berduit. Tangannya hampir meraih botol itu, tapi tiba-tiba pikirannya berhenti.
Kalau aku minum ini, otakku makin sengklek. Bukannya tenang, malah makin rusak.
Ia mengembuskan napas panjang lalu meninggalkan rak minuman. Kakinya melangkah ke arah lain, lebih jauh dari bayangannya sendiri. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah tempat latihan kick boxing, KnockOut Fight Club.
Suara hantaman sarung tinju di atas samsak, teriakan pelatih, dan aroma keringat bercampur adrenalin langsung menyambutnya.
Meirra mengenakan sarung tinju, lalu mulai melampiaskan semuanya. Tinju bertubi-tubi mendarat, tendangan keras menghantam samsak seolah itu wajah semua orang yang membuat hidupnya berantakan. Setiap pukulan adalah letupan kemarahan, setiap tendangan adalah jeritan yang tak pernah bisa ia keluarkan dengan kata-kata.
Setiap pukulan Meirra semakin keras, membuat samsak bergoyang liar. Napasnya memburu, peluh bercucuran, tapi amarah dalam dadanya masih menyalak liar. Tendangannya mendarat telak, sampai beberapa orang yang sedang berlatih di sampingnya menoleh.
“Woah, pelan dikit napa, jangan sampe samsaknya jebol,” seru seorang pria berotot, pelatih di sana. Ia berjalan mendekat dengan tatapan penuh selidik.
Meirra tak peduli, tangannya masih saja menghantam. Buk! Buk! Buk! Suara tinjunya bergema, seperti irama yang menyuarakan kepedihannya.
Pelatih itu akhirnya berdiri di sampingnya, menahan samsak dengan tangannya agar tidak terayun terlalu jauh. “Lo latihan atau lagi mau bunuh samsak ini?” tanyanya setengah bercanda.
Meirra berhenti, menunduk sebentar, bahunya naik turun menahan napas yang terengah-engah. Matanya merah, entah karena keringat atau air mata yang hampir jatuh. “Gue cuma.... butuh keluarin semuanya,” katanya lirih.
Pelatih menatapnya serius, lalu mengangguk pelan. “Bagus. Lebih baik lo hajar samsak ini daripada hancurin dirimu sendiri dengan cara lain.”
Meirra mengangkat wajah, menatap samsak di depannya, lalu mengepalkan tinju lagi. Kali ini bukan sekadar amarah, tapi pelepasan.
Pukulan terakhirnya mendarat begitu keras hingga suara buk! bergema ke seluruh ruangan. Nafas Meirra tersengal, tubuhnya gemetar, lalu tanpa sadar ia terjatuh terduduk di lantai. Sarung tinju masih melekat di tangannya, tapi bahunya turun naik tak terkendali karena kelelahan.
Pelatih itu jongkok di hadapannya, menyodorkan sebotol air mineral. “Minum dulu. Ini udah lebih dari cukup.”
Meirra mengambil botol itu dengan tangan bergetar, meneguknya setengah, lalu menunduk. Hening. Hanya suara napas beratnya yang terdengar.
Pelatih menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada tenang tapi menusuk, “Kemarahan itu seperti api. Kalau kamu biarin, dia bisa bakar habis kamu. Tapi kalau kamu kendalikan, api itu bisa jadi tenaga buat nerangin jalanmu sendiri.”
Kata-kata itu membuat Meirra diam. Matanya berkaca-kaca, tapi ia buru-buru mengusap keringat di wajahnya, seolah-olah itu hanya peluh biasa.
Ia menoleh ke arah samsak yang tadi ia hajar habis-habisan, lalu tersenyum miring getir. “Mungkin gue memang butuh dihajar balik biar sadar,” gumamnya pelan.
Pelatih terkekeh kecil, lalu menepuk bahunya. “Nggak usah dihajar balik. Cukup ingat, Lo masih bisa berdiri. Itu sudah lebih dari cukup.”
Meirra menatap kosong ke lantai, tapi dalam hatinya ada sedikit ruang lega meski kecil, tapi cukup membuatnya bisa bernapas lagi sore itu.
Tubuh Meirra remuk, setiap ototnya seperti menjerit minta istirahat. Tapi entah kenapa, hatinya terasa sedikit lebih ringan dibanding saat ia pergi tadi. Begitu sampai di apartemen, ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa setelah meletakkan tas di meja.
Ia mengeluarkan ponselnya, sekadar berniat mengecek notifikasi. Namun matanya langsung tertumbuk pada sebuah iklan yang muncul di layar:
“TEMU FANS SILVER DAWN! Daftar lewat siaran radio BeatWave Radio 98.8 malam ini. Hanya 50 pendaftar pertama yang akan disaring lagi, dan 5 orang terpilih berkesempatan bertemu langsung dengan Silver Dawn!”
Jantung Meirra berdegup kencang. Silver Dawn band yang sejak lama ia kagumi, satu-satunya hal yang bisa membuatnya tersenyum di tengah semua kekacauan hidupnya.
Ia menggigit bibirnya, menatap layar itu lama. Cuma 50 orang... terus disaring lagi jadi 5? Gila, kecil banget peluangnya.
Namun semangat kecil yang tadi ia temukan di ruang latihan seakan kembali menyala. Malam ini ia harus coba. Meski peluang tipis, siapa tahu keberuntungan memihak padanya.