Obsesiku Tawananku

Obsesiku Tawananku

OT 1

Sorotan lampu panggung berwarna emas dan biru berputar-putar di udara, menyapu ribuan penonton yang berteriak memanggil satu nama.

“Kevin! Kevin! Kevin!”

Gema suara itu seperti gelombang tak berujung, menghantam dinding-dinding arena konser yang megah.

Di tengah panggung, Kevin De Luca pria berusia 23 tahun dengan darah campuran dari ayah turunan Italia Amerika ini berdiri tegak memegang mikrofon. Mata hazelnya berkilau tajam di bawah cahaya, rahangnya tegas, dan senyum miringnya seolah sengaja diciptakan untuk menghancurkan hati setiap perempuan di ruangan itu. Rambut hitam kecokelatannya basah oleh keringat, tapi itu hanya membuatnya terlihat semakin memabukkan.

"HELLO EVERYONE! ARE YOU READY FOR THE LAST SONG?!" suaranya serak berenergi, membuat jeritan histeris kembali memuncak. Tangannya meraih gitar, jemarinya menyapu senar, dan nada pertama dari lagu andalan band-nya mengalun. Panggung seolah berubah menjadi dunia miliknya seorang, tempat di mana Kevin adalah raja, dan semua mata tertuju padanya.

Di tengah kerumunan, Meira berdiri terhimpit di antara ratusan orang. Nafasnya tersengal karena dorongan massa dari belakang, tapi matanya tak lepas dari Kevin. Bibirnya bergetar, menyanyikan setiap lirik tanpa salah satu pun kata.

Baginya, Kevin bukan hanya penyanyi. Dia adalah pelarian dari semua kekacauan di hidupnya. Rumahnya berantakan, keluarganya hancur, tapi di sini, di tengah dentuman musik dan sorotan lampu, Meira merasa punya alasan untuk bertahan.

Tangannya menggenggam erat lightstick bergambar logo band Silver Dawn. “Lihat gue, Kevin, Kevin, sekali... aja,” gumamnya tak terdengar, tapi penuh harap.

Saat lagu mencapai puncak, Kevin menutup mata, tenggelam dalam musik. Meira, yang berdiri di barisan depan, menatapnya seperti menatap dewa. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya bergetar, seakan seluruh dunia berhenti hanya untuk momen itu.

Sorak sorai penonton semakin menggila ketika Kevin memetik nada terakhir, lalu menunduk memberi hormat. “THANK YOU, JAKARTA! YOU’RE AMAZING TONIGHT!” teriaknya, sebelum akhirnya lampu panggung meredup perlahan.

Konser berakhir. Ribuan orang mulai berhamburan keluar arena, sebagian masih bernyanyi, sebagian sibuk mengambil foto untuk kenangan. Namun di balik panggung, suasana justru semakin riuh.

Para wartawan sudah menunggu dengan kamera dan mikrofon, berdesakan di depan pintu belakang venue. Mereka tahu siapa target utamanya malam ini. Bukan gitaris, bukan drummer, tapi Kevin De Luca. Wajah tampan berdarah campuran, suara emas, dan magnet yang tak tertandingi.

Begitu pintu terbuka, teriakan memanggil namanya langsung pecah.

“Kevin! Kevin, apa komentar Anda soal konser malam ini?”

“Kevin, apakah benar rumor Anda akan keluar dari Silver Dawn?”

“Kevin, apakah kabar studi ke luar negeri itu betul?”

Kilatan lampu kamera menyambar wajah Kevin yang tetap cool meski jelas kelelahan. Dengan setelan hitam kasual yang membungkus tubuh tinggi atletisnya, ia menundukkan kepala sedikit, memberi senyum tipis.

“Terima kasih sudah datang. Konser ini adalah salah satu yang paling berkesan bagi aku. Energi penonton luar biasa,” katanya dengan suara tenang, membuat para wartawan semakin histeris meminta pernyataan lebih lanjut.

Manager band berusaha menahan kerumunan, melindungi Kevin agar bisa berjalan ke mobil yang sudah menunggu. Tapi meski begitu, Kevin sempat berhenti sebentar, menjawab satu pertanyaan yang membuat udara mendadak tegang.

“Soal rumor...” Kevin menatap ke arah kamera, senyumnya meredup, “setiap perjalanan pasti punya akhirnya. Untuk sekarang, aku hanya ingin bersyukur atas dukungan kalian semua.”

Kalimat samar itu langsung membuat wartawan gaduh, mikrofon semakin maju, kamera semakin dekat. Namun Kevin hanya mengangkat tangannya sebentar, lalu berjalan cepat menuju mobil hitam yang segera membawanya pergi.

____

Siapa Meira?

Gadis berusia 22 tahun itu tumbuh dengan dunia yang penuh luka, tapi juga keberanian. Sejak remaja, ia menemukan pelarian dari semua keributan di hidupnya lewat musik. Baginya, dentuman drum dan petikan gitar dari band Silver Dawn bukan sekadar lagu itu adalah nyawa yang menyelamatkannya dari rasa sepi. Malam-malam panjang yang dingin selalu ia isi dengan earphone di telinga, membiarkan suara Kevin De Luca dan kawan-kawannya menjadi teman setia.

Namun Meira bukan hanya seorang gadis yang larut dalam musik. Ada sisi lain dalam dirinya yang kontras. Ia menguasai olahraga ekstrem, kick boxing dan karate. Dua cabang olahraga yang melatihnya untuk melawan, bukan hanya terhadap lawan di arena, tapi juga terhadap hidup yang terus menghantamnya. Keringat, rasa sakit, dan disiplin di setiap latihan membuatnya bertahan.

Bagi sebagian orang, Meira mungkin hanya sosok penonton biasa di antara ribuan kepala yang berdesakan di konser Silver Dawn. Tapi siapa sangka, di balik tatapan matanya yang penuh kagum, tersimpan cerita seorang gadis yang diam-diam sedang bertarung di dalam dirinya sendiri.

____

Pulang dari konser, langkah Meira terasa ringan, seolah sisa-sisa sorak ribuan orang tadi masih berdengung di telinganya. Namun begitu pintu rumah itu terbuka, kenyataan kembali menamparnya.

Seorang wanita dengan riasan tebal, rok ketat, dan tatapan tajam sudah berdiri di ruang tamu. Kedua tangannya terlipat di dada, menunggu.

“Lo pikir jam berapa ini, hah? Gue capek-capek kerja cari duit, lo enak-enakan keluyuran! Nggak tau diri, lo!” suara ibunya melengking, menusuk telinga.

Meira menunduk sedikit, menggenggam tali tasnya erat-erat. “Ma... aku cuma nonton konser.”

“Jangan ‘cuma’! Lo tuh kayak Si Erick!(ayah Meira) Seenaknya aja pake duit, tapi nggak mikirin perasaan orang lain!” bentak ibunya lagi, matanya menyala penuh amarah.

Meira terdiam. Bibirnya ingin membalas, tapi ia tahu percuma. Hubungan mereka selalu begitu ibunya memanggil dengan nada kasar, sementara Meira tetap menyebutnya Mama, berusaha menggenggam sisa-sisa kasih sayang yang sebenarnya tidak pernah ia rasakan.

Ia tahu siapa dirinya. Anak dari seorang konglomerat besar di bidang perhotelan dan bisnis pariwisata, yang jatuh cinta pada wanita panggilan kelas jetset ibunya sendiri. Hubungan yang awalnya sebatas “langganan”, berubah jadi perasaan, meski akhirnya tetap tak berujung pada pernikahan. Latar belakang ibunya sebagai WTS terlalu hina bagi keluarga besar ayahnya.

Kehamilan Meira datang diam-diam, bukan karena cinta yang diterima, tapi karena ibunya ingin mengikat pria itu dengan cara lain. Namun sang ayah hanya memberi uang setiap bulan, tanpa pernah benar-benar hadir.

Hasilnya? Meira tumbuh dalam rumah tanpa cinta, tapi dipenuhi uang. Semua bisa ia dapatkan dengan mudah kecuali perhatian orang tua.

Ia belajar melupakan rasa sakit dengan cara yang salah berkenalan dengan alkohol, bahkan obat-obatan sejak masa sekolah. Tapi Meira pandai menyamarkannya. Di depan dunia luar, ia masih terlihat seperti gadis biasa.

Hanya satu cahaya yang tersisa dalam hidupnya: Kevin. Suara, senyum, dan lirik lagunya menjadi alasan Meira tetap bertahan.

Kini, cahaya itu kembali redup saat ibunya mendesis tajam, melipat tangan di dada.

“Masuk ke kamar lo! Jangan bikin gue makin naik darah!”

Meira menarik napas panjang, menahan perih di dada. Dari sorakan ribuan orang tadi, kini hanya tersisa sunyi... dan satu kenyataan pahit hidupnya.

Terpopuler

Comments

Aksara_Dee

Aksara_Dee

wkwkwk jadi wisata masa lalu nih aku, mencintai idola

2025-09-02

1

Aquarius97 🕊️

Aquarius97 🕊️

Haduh Meira..kamu salah jalan... tapi ya, aku gak nyalahin kamu... kamu kurang bimbingan.

2025-09-16

1

Aquarius97 🕊️

Aquarius97 🕊️

wehhh hebat kamu Meiraa..

2025-09-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!