NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 24 -- aruna dan leo

Mobil hitam itu berhenti lembut di depan rumah megah keluarga Adikara. Langit sudah berubah jingga, membakar sisa awan sore dengan warna keemasan. Aruna menatap keluar jendela, matanya sedikit menyipit karena silau, tapi bibirnya melengkung geli melihat dirinya sendiri di bayangan kaca mobil.

“Ya ampun, Aruna... rambut acak-acakan, pipi belepotan debu, tapi masih sempat mikirin angle wajah. Hebat nggak, sih?” gumamnya sambil menepuk pipi pelan.

Darren, yang duduk di kursi depan, hanya menghela napas pendek. “Nyonya, saya akan menurunkan barang-barang Anda.”

“Eh, nggak usah repot! Aku kan masih punya dua tangan, lima jari, lengkap semua. Kalau disuruh duduk manis terus, nanti ototku punah.” Darren menoleh sedikit, ekspresinya datar tapi suaranya tetap sopan.

“Saya hanya menjalankan perintah Tuan Adikara.”

Aruna mengangkat alis tinggi. “Hmm... Tuan Adikara, Tuan Adikara. Semua orang di rumah ini kayaknya hidup buat nurutin dia, ya?”

Tidak ada jawaban. Darren hanya menunduk hormat, lalu keluar membuka pintu mobil. Aruna melangkah turun, menghirup udara segar halaman depan. Rumah itu besar, elegan, tapi entah kenapa terasa sunyi dan... dingin.

“Rumahnya bagus banget, tapi auranya kayak perpaduan antara museum dan rumah duka. Bener-bener rumah CEO dingin,” gumam Aruna pelan, lalu mendengus kecil.

Begitu melangkah ke arah pintu utama, matanya sempat menangkap taman di sisi kanan rumah. Ada kolam kecil, bunga mawar, dan kupu-kupu putih yang menari pelan di atasnya.

“Hmm... cantik banget,” lirihnya, lalu memutuskan belok ke taman dulu.

Langkah Aruna ringan di jalan setapak batu. Sepatunya beradu pelan dengan kerikil, sementara ia terus celingukan seperti anak kecil menemukan dunia baru.

“Wah! Mawarnya merah banget. Ih, kalau kayak gini di potong satu aja buat vas kamar, nggak bakal kelihatan kok,” ujarnya sambil jongkok, tapi buru-buru berdiri tegak saat sadar — ada kamera pengawas di pojokan taman.

“Eh, batalkan ide kriminal,” katanya cepat sambil melambaikan tangan ke arah kamera, “bercanda doang, sumpah!”

Angin sore berembus, membawa aroma wangi bunga bercampur tanah lembap. Aruna menutup mata sebentar, menikmati ketenangan itu. Tapi tiba-tiba, suara langkah berat terdengar di belakangnya.

“Eh?” Aruna menoleh cepat.

Seseorang berdiri tak jauh — pria tinggi, berjas hitam, dengan topeng separuh wajah berwarna emas dan hitam. Rambutnya sedikit berantakan karena angin, tapi postur tubuhnya tegap, berwibawa... dan anehnya, terasa familiar.

Aruna spontan mundur setapak.

“Eehh... maaf, mas... ini taman umum atau taman pribadi, ya? Soalnya saya baru pindah, belum hafal siapa aja yang nongkrong di halaman.”

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya memandang Aruna dari balik topeng. Tatapannya tajam, tapi tak bermusuhan — lebih seperti mengamati.

“Ng... aku ngomong kebanyakan, ya?” Aruna menelan ludah.

“Oke, fine. Aku diem. Tapi, serius, kamu muncul tiba-tiba gitu bikin jantungku hampir pensiun dini.”

Masih tidak ada jawaban. Hanya angin yang menjawab, menyapu lembut helai rambut Aruna. Pria bertopeng itu tiba-tiba melangkah mendekat — pelan, tapi mantap. Aruna reflek mundur dua langkah, tapi tumitnya malah terpeleset ke batu taman.

“Waaa—!” Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya.

Aruna terpaku. Napasnya tercekat.

Wangi samar cologne maskulin menguar — aroma yang sama seperti pria yang pernah menolongnya malam itu, di tengah serangan brutal. Matanya melebar.

“Kamu...”

Pria itu tetap diam. Tangannya perlahan melepaskan pinggang Aruna, memastikan ia berdiri tegak kembali.

“Uh, makasih,” gumam Aruna, kikuk. “Kamu orang yang... suka muncul di waktu aku hampir mati, ya?”

Sekilas sudut bibir pria itu terangkat — entah senyum atau hanya ilusi cahaya sore. Lalu tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan pergi, langkahnya tenang, menghilang di balik dinding taman.

Aruna berdiri bengong. “Tunggu—! Eh, kamu siapa, sih?! Minimal kasih nama panggilan lah, biar aku bisa nulis surat terima kasih!” Tapi pria itu sudah lenyap.

Aruna mendengus pelan. “Sumpah, cowok misterius tuh emang penyakit hati. Udah nyelametin orang, kabur, terus ninggalin pertanyaan seribu biji di kepala.”

Ia akhirnya memutuskan kembali ke dalam rumah.

Begitu masuk ruang utama, aroma manis langsung menyeruak. Aruna melangkah ke arah dapur kecil di sisi kiri aula — dan matanya langsung membulat.

“Wah... itu apa tuh yang kelihatan kayak kue stroberi mungil-mungil lucu?!”

Darren berdiri di sana, rapi seperti biasa, sambil memegang nampan berisi semangkuk kue kecil berlapis krim merah muda. “Nyonya. Saya menyiapkan camilan untuk Anda.”

Aruna langsung bersinar. “Kue? Stroberi?! Astaga, kamu malaikat berkedok manusia ya, Darren?!”

Darren hanya menunduk hormat, meski sudut bibirnya tampak menahan tawa kecil. “Saya senang kalau Anda menyukainya.”

Tanpa pikir panjang, Aruna mengambil sendok dan langsung menyuap satu gigitan. “Hmmmm... ini enak banget! Krimnya lembut, manisnya pas, stroberinya seger! Aku bisa nikah sama pembuat kuenya kalau perlu!”

Darren: “...Itu buatan dapur kami sendiri, Nyonya.”

Aruna: “Oh, bagus. Tolong kasih tahu kokinya, aku serius soal lamaran barusan.”

Ia terus makan sambil ngoceh. Setiap suapan membuat matanya berbinar puas. Tapi di tengah tawa itu, pandangannya mulai kabur.

“Eh... kok... rasanya... kayak... muter, ya... rumahnya?” gumamnya sambil memegangi kepala.

Sendok jatuh dengan bunyi ting! yang memecah kesunyian.

Aruna yang sedari tadi duduk di meja makan menatap sendok itu dengan dahi berkerut.

“Eh? Kok tangan aku tiba-tiba lemes gini, ya? Aku nggak salah makan, kan? Masa kue stroberi manis begini bikin kepala berputar?”

Ia mencoba berdiri, tapi kursinya berderit keras, hampir ikut terjungkal bersamanya. Dunia berputar. Pandangannya mulai berbayang dua, lalu tiga.

“Aduh… ini kenapa sih? Jangan-jangan kue ini dikasih perasa cinta? Soalnya aku ngerasa melayang, hehe…” gumamnya lirih, mencoba bercanda dengan dirinya sendiri.

Namun langkahnya goyah. Baru dua langkah ia ambil, tubuh mungilnya oleng.

Darren yang berdiri tak jauh langsung melangkah cepat dan menahan tubuh Aruna agar tidak terjatuh. “Maafkan saya, Nyonya. Perintah Tuan Adikara, Anda perlu beristirahat.”

Aruna menatapnya dengan pandangan yang mulai kabur. “Ha? Istirahat? Tapi aku belum—”

Kalimatnya tak selesai. Napasnya melambat, matanya perlahan terpejam, tubuhnya jatuh lemah dalam pelukan Darren.

Suara jam antik berdetak pelan di dinding. Ruangan itu begitu tenang hingga detak jarum jam terdengar seperti gema. Darren menatap wajah Aruna — damai, tapi juga… polos. Terlalu polos.

“Maaf, Nyonya,” ucapnya lirih. “Ini satu-satunya cara agar Anda tidak melihat apa pun malam ini.”

Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, suhu udara di ruangan berubah drastis. Hening. Hawa dingin melingkupi ruang makan megah itu.

Tap... tap... tap...

Langkah kaki terdengar pelan namun berwibawa dari arah koridor gelap. Setiap langkahnya bergema mantap di lantai marmer. Darren langsung menegakkan tubuhnya, tanpa sadar menahan napas.

Dari balik bayangan muncul sosok tinggi dengan jas hitam rapi. Separuh wajahnya tertutup topeng bercorak emas yang elegan — menutupi sebelah mata kanan hingga ke dagu, meninggalkan mata kiri yang terlihat jelas, tajam, dan dingin. Corak topeng itu memantulkan cahaya lampu, menciptakan kilau mewah sekaligus menakutkan.

“T-tuan…” Darren segera menunduk hormat.

Leo Adikara berdiri beberapa langkah di hadapannya. Suaranya berat, dalam, namun tenang seperti malam yang menyimpan badai.

“Lepaskan dia.”

Nada itu tak meninggi, tapi tegas — perintah yang tak bisa ditawar.

Tanpa membantah, Darren menyerahkan Aruna yang masih terlelap ke pelukan Leo. Gerakan Leo sangat hati-hati, seolah ia memegang sesuatu yang jauh lebih rapuh dari yang tampak. Tubuh Aruna tampak mungil di lengannya, rambut hitamnya terurai di dada pria bertopeng itu.

Senyap sejenak. Hanya napas lembut Aruna dan suara detik jam yang terdengar.

“Keadaan?” tanya Leo datar tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Aruna.

Darren cepat menjawab, “Sayap timur sudah kami kunci, Tuan. Tapi sistem keamanan utama sempat terganggu selama dua menit. Kami menduga ada penyusup dari luar—mungkin salah satu pihak dari dalam grup Wijaya.”

Leo diam beberapa detik, lalu menatap Darren dengan sorot mata tajam dari balik topeng. “Perkuat perimeter luar. Jangan biarkan seorang pun masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapa pun yang mencoba—”bIa berhenti, lalu menyelesaikan kalimatnya dengan suara yang begitu dingin hingga Darren merinding.

“—hentikan mereka. Hidup atau mati.”

“Baik, Tuan.” Darren menunduk.

Leo mengangguk tipis, lalu melangkah perlahan meninggalkan ruang makan. Setiap langkahnya tenang, tapi udara sekitarnya seperti menunduk, tunduk pada kehadiran seorang penguasa yang jarang terlihat dunia.

Dalam pelukannya, Aruna bergumam kecil, suaranya nyaris tak terdengar. “Hhmm… kue stroberinya enak banget… kasih topping-nya yang banyak, ya…”

Leo berhenti sejenak. Di balik topengnya, sudut bibirnya terangkat sedikit — hampir tidak terlihat, tapi nyata.

“Masih sempat ngomong soal kue,” gumamnya rendah. “Kau benar-benar tak berubah, Aruna.”

Ia melanjutkan langkah menuju koridor utama. Semua lampu rumah berpendar otomatis mengikuti langkahnya, menuntun jalan hingga ke ujung sayap barat — tempat hanya orang tertentu yang tahu keberadaannya.

Lorong itu kosong. Tidak ada pelayan, tidak ada penjaga. Semua sudah diam-diam dipindahkan sesuai perintah Leo beberapa menit sebelum “kejadian” di taman.

Ia sudah memperkirakan malam ini tidak akan berjalan normal.

Pintu terakhir di ujung koridor terlihat seperti dinding biasa. Hanya ada ukiran kecil berbentuk bunga di sudut kanan bawah. Leo menekan pola itu dengan ujung jarinya.

Klik. Sebuah nada mekanis halus terdengar, diikuti suara mesin tersembunyi.

Dinding itu bergeser perlahan, membuka jalan menuju lorong menurun. Cahaya putih kebiruan menyala lembut dari bawah anak tangga — menandakan sistem keamanan ruang bawah tanah aktif.

“Ruang perlindungan diaktifkan,” terdengar suara elektronik otomatis.

Leo menuruni tangga dengan langkah mantap, masih memeluk Aruna di dadanya. Hembusan udara dari ventilasi bawah tanah terasa dingin, tapi anehnya Aruna tampak lebih tenang di pelukannya. Rambutnya sedikit bergerak mengikuti napas Leo yang stabil.

Beberapa pengawal berpakaian hitam menunduk hormat begitu Leo melewati mereka.

“Semuanya, tetap di posisi. Tidak ada yang turun ke sini tanpa izin saya,” perintahnya singkat.

Begitu sampai di dasar tangga, ruangan luas terbentang di hadapannya — ruang rahasia keluarga Adikara. Dinding logam tebal, lantai berlapis peredam getaran, dan sistem keamanan berlapis-lapis yang hanya bisa diakses oleh Leo dan orang tuanya.

Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur putih sederhana berdiri. Tidak mewah, tapi bersih dan nyaman — tempat paling aman di seluruh rumah itu.

Leo meletakkan Aruna dengan perlahan di atas kasur.

Tangannya sempat berhenti di pipi gadis itu, menyibak rambut yang menutupi wajahnya.

Wajah Aruna terlihat damai, meski pipinya masih bersemu merah muda karena efek obat tidur. Leo menatapnya lama, dalam diam.

“Malam ini… seharusnya kau tidak ada di sini,” ucapnya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Tapi seperti biasa, kau datang di waktu paling berbahaya.”

Ia menarik napas panjang, kemudian menatap panel di dinding. “Aktifkan mode aman penuh.”

Sistem segera merespons: ‘Mode perlindungan diaktifkan. Pintu utama terkunci. Sistem sensor aktif.’

Lampu di langit-langit redup otomatis, menyisakan cahaya lembut kebiruan yang menyoroti wajah Aruna, Leo berdiri di sampingnya, diam beberapa saat.

Suara dari earpiece-nya terdengar lagi, Darren melapor, “Tuan, pemberontakan di area barat sudah dimulai. Mereka membawa kendaraan berat—”

“Jaga perimeter luar. Jangan biarkan satu pun menembus gerbang dalam,” potong Leo tegas.

“Tapi, Tuan—”

“Laksanakan, Darren.” Nada Leo tak bisa dibantah.

Ia melepas earpiece, lalu berjongkok di sisi tempat tidur, menatap Aruna dengan mata kiri yang tajam namun lembut di saat bersamaan.

Di balik topeng bercorak emas itu, tatapannya bukan hanya dingin seperti biasanya. Ada sesuatu di sana — campuran rasa bersalah, perlindungan, dan entah apa lagi yang bahkan ia sendiri tak mau akui.

Tangannya kembali bergerak. Ia menyentuh pelan punggung tangan Aruna, mengusapnya seolah ingin memastikan bahwa gadis itu benar-benar aman.

“Kalau saja kau tahu,” ucapnya pelan. “Semua ini kulakukan agar kau tidak melihat apa pun malam ini.”

Saat ia hendak berdiri, tangan Aruna yang lemah tiba-tiba menggenggam ujung jas hitamnya. Meski matanya masih tertutup, bibirnya bergerak sedikit, suaranya nyaris seperti gumaman mimpi.

“Jangan pergi jauh, ya…”

Leo terdiam. Waktu seolah berhenti di ruangan dingin itu.

Untuk sesaat, matanya yang satu itu memantulkan cahaya lembut dari layar sistem keamanan. Perlahan, ia menjawab, nyaris seperti janji yang tak ingin ia akui,

“Aku di sini.”

Ia duduk di kursi dekat ranjang, menyandarkan tubuhnya dengan diam. Di luar, samar-samar terdengar bunyi ledakan jauh — tanda bahwa kekacauan benar-benar telah dimulai.

Namun di bawah tanah, hanya ada dua hal yang tersisa:

suara napas Aruna yang teratur… dan detak jantung Leo yang tetap tenang di balik topeng emasnya.

Aruna, dalam tidurnya, tampak damai. Seolah tak tahu dunia di atas sedang terbakar. Dan Leo, pria bertopeng dengan mata kiri yang tajam, hanya menatapnya dalam diam — satu-satunya hal yang terasa hidup di tengah malam yang nyaris mati.

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!