Hutang pinjol 120 juta menjerat Juwita, padahal ia tak pernah meminjam. Demi selamat dari debt collector, ia nekat jadi pengasuh bayi. Tapi ternyata “bayi” itu hanyalah boneka, dan majikannya pria tampan penuh misteri.
Sebuah kisah absurd yang mengguncang antara tawa, tangis, dan cinta inilah perjalanan seorang gadis yang terpaksa berperan sebagai janda sebelum sempat menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Kecil Zergan
Juwita duduk di kursi kecil yang disediakan di kamar Princess, menunggu jam hampir mendekati pukul lima sore. Ia menatap boneka yang terbaring di ranjang pink itu dengan harapan mata boneka segera terbuka. Hari pertamanya bekerja terasa lebih panjang dari yang dibayangkan. AC di kamar membuat udara sejuk, tapi pakaian lusuhnya yang sudah dipakai sejak pagi membuat tubuhnya risih. Ia ingin cepat-cepat mandi, ganti pakaian, dan menyingkirkan rasa lengket yang menempel di kulit.
Namun, Juwita menahan diri. Hari pertamanya, dan di setiap langkah ada CCTV yang mengawasi. Tindakan sekecil apa pun bisa terekam, dan bayaran 10 juta rupiah yang menanti di akhir bulan terlalu berharga untuk dipertaruhkan dengan tingkah ceroboh.
Ia hanya duduk, termenung, dan memikirkan nasibnya. “Pantas pengasuh lain kabur,” gumamnya dalam hati. “Mereka pasti lihat Tuan Zergan gila ini dan langsung lari. Tapi kasihan juga, dia ditinggal istri dan anak gimana nggak gila. Aku aja ditinggal bapak, hampir gila, ditambah hutang pinjol, masih untung ada Desi.”
Di luar jendela, cahaya sore mulai masuk, memantul di lantai marmer kamar. Jam dinding menunjukkan pukul lima kurang lima menit. Juwita menahan napas ketika perlahan, mata Princess atau lebih tepatnya boneka realistis itu terbuka.
“Ahhh akhirnya!” batin Juwita. Ia menahan diri dari ekspresi terlalu senang, tapi rasa semangatnya sulit dibendung. Dengan hati-hati, ia mengangkat boneka itu. “Seperti robot yang sudah diatur saja kamu, Princess,” ucapnya pelan, memastikan suara itu tidak terekam CCTV.
Ia tersenyum paksa, pura-pura gembira, mencoba menyesuaikan diri dengan “anaknya” yang tampak diam dan manis itu. “Olo olo anakku sayang Princess sudah bangun ya, sekarang kamu mandi ya bareng onty,” Juwita menambahkan, suaranya sedikit bergetar tapi penuh semangat. Ia memandikan boneka itu di kamar mandi khusus bayi yang sudah disediakan, lengkap dengan bak mini, handuk lembut, sabun, dan sampo bayi.
Setiap gerakan Juwita diperhatikan CCTV yang otomatis mengikuti langkahnya. Hal itu membuatnya semakin hati-hati. “Hadeuh kalau salah gerak, Tuan Zergan bakal panik, aku bisa kena omelan pertama hari ini. Demi 10 juta, sabar Wita sabar.”
Sementara itu, di ruagng kerja, Zergan mengamati dari kejauhan. Tatapannya serius tapi ada kepuasan terselip di sudut matanya. Juwita, dengan caranya sendiri, telaten dan lembut. Ia memperlakukan Princess seolah-olah benar-benar bayi, dan bukan boneka seberat kurang lebih dua kilogram itu.
“Lihat lah bapak kau nih, Princess dah kayak buronan aku dibuatnya. Demi uang aku rela ngasuh boneka, mana pake susu asli pula,” gumam Juwita dalam hati sambil menuang susu ke dot. Ia mencoba mengatur ekspresi wajah agar terlihat natural, seolah menikmati momen ini sepenuhnya.
Setelah selesai memandikan dan mengganti pakaian Princess dengan baju cantik berwarna pink muda, Juwita baru saja meletakkan boneka itu kembali di ranjang ketika terdengar suara dari pintu. Zergan muncul, menepuk bahu Juwita sambil menunjukkan stroller terlipat.
“Sesuai janji tadi, kita akan berbelanja. Aku akan menemanimu, bawa Princess sekalian,” ucap Zergan singkat, nada suaranya datar tapi tegas.
Juwita menatapnya, agak ragu. “Mau pergi sekarang, Tuan? Tapi biar saya merapikan diri dulu.” Ia merasa malu dengan pakaian lusuhnya dan rambut yang mulai lepek setelah seharian berada di kamar ber-AC.
Zergan menghela napas panjang. “Sejak pagi aku tidak melihat barang lain di dirimu. Kau tidak bawa pakaian cadangan, cuma motor lusuh itu ya sudah, mari kita berangkat,” katanya sambil menatap motor Juwita yang parkir di halaman, lalu menggeleng-geleng kepala.
“Hehe iya juga ya, Tuan. Baiklah, sebentar lagi siap,” jawab Juwita sambil mengusap wajahnya. Ia merasa agak konyol, tapi demi uang, semua rasa malu terabaikan.
Zergan membantu membuka stroller, lalu menyerahkan Princess ke Juwita dengan hati-hati. “Aku kira kau pandai,” katanya singkat, seakan menantang.
Juwita tersengir. “Oke siap, kita berangkat, Princess,” ucapnya penuh semangat. Ia mendorong stroller perlahan, memasukkan botol susu, popok cadangan, dan tas kecil ke dalam keranjang stroller.
Saat mereka turun tangga, Zergan keluar duluan, diikuti Juwita yang mengatur langkah stroller. Orang tua Zergan, Herman dan Marlina, sudah menunggu di ruang bawah, memperhatikan tingkah kedua anak asuh mereka atau lebih tepatnya, interaksi Juwita dan boneka yang dianggap anak oleh Zergan.
“Tuan,” panggil Juwita, ragu melihat anak tangga yang cukup tinggi.
“Ya?” Zergan menoleh.
“Ini loh, mana bisa stroller turun tangga ini sendiri. Kecuali ada kuasa ilahi,” ucap Juwita sambil menatap Zergan.
Zergan menatapnya sejenak, lalu naik kembali beberapa anak tangga. “Setidaknya ngomong dulu, jangan cuma diem,” jawabnya dengan nada datar.
“Ya elah, bos bos rumah sendiri pun gak paham. Beda sama saya yang baru sehari, hitungan jam pula,” balas Juwita blak-blakan, menahan rasa kesal bercampur lucu.
Zergan menatap tajam. Juwita langsung menutup mulut, panik. Astaga, Wita, mulutmu ini nggak bisa dikontrol apa?! batinnya.
Herman dan Marlina menahan tawa, tapi Marlina segera menegur. “Haha, hati-hati turunnya, kalian.”
Zergan menggeleng, lalu menatap Juwita dengan nada berbeda.
“Beda banget ya, Mi. Pembantu lain takut-takut, yang satu ini malah cocok sama mulut Mami yang lebar,” canda Herman, membuat Marlina langsung cemberut.
“Mi, dengar ya mungkin kedatangan Juwita ini bukan kebetulan. Tingkahnya yang blak-blakan ini bisa bikin Zergan lebih santai, mana tau anak semata wayang kita bisa sembuh, ” kata Herman agak sedikitserius.
Juwita terus menuruni tangga dengan hati-hati, berpikir, Ya ampun, rumahnya luas, Tuan Zergan super tegas, tapi aku harus tetap santai. Kalau panik, bisa kena omelan pertama. Demi 10 juta, aku siap apapun.
Sesampainya di halaman, Zergan membuka gerbang rumah, dan mereka siap untuk berangkat belanja. Juwita mendorong stroller sambil menahan tawa dan grogi sekaligus. Boneka Princess tampak tenang di dalamnya, seperti benar-benar bayi yang percaya pada pengasuh barunya.
Stroller diletakkan di bagasi, sementara Zergan menyetir dan Juwita menggendong Princess.
Di perjalanan, Juwita mulai membayangkan hari-hari berikutnya. “Setidaknya gaji aman, makanan terjamin, dan aku bisa lari dari dept collector,” gumamnya. “Tapi ini bakal lucu banget kalo Desi lihat aku gendong boneka, pura-pura anak Tuan Zergan. Ahahaha, keplintir deh dia pasti.”
Zergan sesekali menoleh, tatapannya masih serius. Namun ada sedikit senyum tipis, tanda bahwa ia senang dengan cara Juwita menjaga Princess-nya. Bagi Juwita, momen itu lucu sekaligus menegangkan. Ia sadar, pekerjaan ini bukan hanya tentang mengurus boneka, tapi juga menyesuaikan diri dengan karakter Tuan rumah yang sedikit gila menurut standar orang normal.
"Kamu tinggal 24 jam di rumah saya apa gak ada yang marah?" tanya Zergan tiba-tiba yang mengakhiri kesunyian.
Juwita bingung mau menjawab apa, setahu dan se pengalaman yang ia alami, biasanya jika ada pria mengatakan itu ke perempuan berarti pria itu ingin menggoda di perempuan.
"Apa maksudnya ini? Si tampan ini mikir aku punya suami atau belum kali ya. Tampang miskin ini diragukan janda mungkin ya. Tapi aku harus jawab apa nih?" kata Juwita dalam hati.
"Eh, ada yang marah gimana maksudnya ya, Tuan?"
Zergan melihat Juwita sebentar.
"Aku bingung, kau gadis atau janda." Zergan mengatakan itu karena melihat Juwita seperti istri yang tidak dirawat dan dihias suaminya.
Mendengar itu Juwita seakan ingin menyemburkan angin atau api yang ada di mulutnya.
"Pffftt, maksudnya gimana nih? Tuan pikir saya janda gitu?"
"Mana tau kan."
"Saya gadis loh, walau rasa kayak janda." jawab Juwita, ia mengatakan rasa seperti janda itu karena ia sedang mengasuh bayi, walaupun sebenarnya boneka.
"Oh, jadi sudah gak perawan!"
"Eh ..."
Bersambung