Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Nyai Gusti
Drap drap drap…!
Prajurit berseragam biru-biru itu memacu kudanya dengan sangat kencang, sepertinya dia sedang mengejar jam akad nikah yang sudah terlewat satu detik.
“Nyai Gustiii! Nyai Gustiii!” teriak kencang prajurit itu dengan wajah panik pakai serius, seiring kudanya melewati gerbang halaman, melewati dua prajurit jaga yang jadi terbawa panik ekspresinya.
Suara kuda yang kencang dan teriakan si prajurit yang lebih kencang, menciptakan kepanikan bagi orang-orang yang ada di kediaman Adipati Kubis Ganda tersebut. Sebelumnya mereka sudah dalam kondisi tegang karena kondisi Karang Lindur yang genting dengan kedatangan pendekar yang bernama Kentang Kebo.
Belum lagi kuda prajurit itu berhenti, banyak orang yang keluar dari dalam rumah, kebanyakan adalah wanita. Selainnya adalah para prajurit yang menjaga kediaman Adipati dan para karyawan lelaki keluarga tersebut.
Dari semua yang muncul, ada enam wajah dan sosok yang menarik perhatian, yaitu enam gadis muda yang cantik-cantik, meski tidak semua cantik sangat. Usia mereka tidak berselisih jauh, dari 17 tahun hingga 23 tahun. Sekedar bocoran, mereka berenam kakak beradik dari tiga orang ibu satu orang ayah. Jadi mereka kakak beradik kandung dan tiri.
“Apa yang terjadi di sana, Prajurit?” tanya seorang wanita separuh baya dengan wajah khawatir. Wanita berkulit terang dan berpakaian bagus itu setengah berlari dari rumah besar tersebut ke halaman, menyongsong kedatangan kuda. Dia bernama Tiwang Karini, istri pertama Adipati Kubis Ganda.
Prajurit itu berhenti dengan mengerem kencang lari kudanya. Seorang prajurit lain sigap segera datang memegangi tali pada kepala kuda.
“Nyai Gusti, cepat tinggalkan rumah ini sebelum pendekar itu sampai ke sini. Komandan Ulung Gabah dan pasukan kita tidak berdaya di tangan pendekar itu!” seru si prajurit tanpa menunggu dirinya turun dari kuda.
“Ratusan prajurit kita tidak bisa mencegah orang itu?” tanya Tiwang Karini seolah-olah kurang jelas mendengar perkataan prajurit itu.
Si prajurit segera turun dari kudanya.
“Ayo naik ke kuda ini, Nyai Gusti!” kata si prajurit.
Terkesiap Tiwang Karini karena langsung disuruh naik kuda. Dia lalu menengok kepada dua wanita yang sedikit lebih muda darinya. Kedua wanita itu juga memakai pakaian yang bagus dan dandanannya tidak jauh berbeda dengan Tiwang Karini.
Kedua wanita separuh baya itu segera mendatangi Tiwang Karini.
“Bagaimana ini, Kakak?” tanya Jumila, istri kedua Adipati Kubis Ganda.
“Gusti Adipati belum pulang dari Istana,” kata istri ketiga yang bernama Ken Guna. Dia istri yang paling muda, hanya selisih tujuh tahun dari Tiwang Karini.
Ketiga istri itu menunjukkan wajah yang sangat cemas.
Dak dak dak!
Tiba-tiba seorang prajurit muncul berlari dari balik bangunan rumah. Prajurit berbadan kekar tidak berbaju itu berlari sambil memegangi celananya yang belum terkemas rapi.
Melihat kemunculan prajurit itu, wajah ketiga majikan wanita tersebut berubah marah.
“Kumbang Pitak! Dari mana saja kau?!” bentak Tiwang Karini dengan suara yang kencang.
“Hamba usai buang hajat, Nyai Gusti,” jawab prajurit yang bernama Kumbang Pitak. Jabatannya adalah Kepala Keamanan Kediaman Adipati.
“Apa-apaan kau. Kondisi genting seperti ini kau masih sempat-sempatnya melakukan itu!” omel Ken Guna.
Kumbang Pitak tidak menyahut lagi. Dia memilih diam karena sudah disalahkan. Jika sudah disalahkan, tidak akan ada kalimat pembelaan yang dapat berlaku. Dia memilih menyempurnakan sabuknya agar celananya tidak melorot.
“Kakang Pitak, semua harus pergi sekarang juga. Komandan Ulung sudah takluk. Sebentar lagi Kentang Kebo akan ke sini,” ujar si prajurit tadi kepada Kumbang Pitak yang memiliki wewenang.
“Prajurit, ambil semua kuda untuk Nyai Gusti dan Gusti Putri!” teriak Kumbang Pitak.
“Siap!” pekik beberapa prajurit menyahut, lalu segera berlari ke sisi belakang kediaman besar tersebut. Di belakang ada kandang kuda.
“Adik Jumilah, Ken Guna, cepat kemasi perhiasan kita di kamar!” perintah Tiwang Karini.
“Mohon maaf, Nyai Gusti,” ucap Kumbang Pitak seraya menjura hormat, membuat ketiga wanita separuh baya itu menengok kepadanya. Lalu katanya, “Nyawa lebih penting daripada harta dan perhiasan.”
Perkataan Kumbang Pitak hanya membuat ketiga madu itu mendelik, tetapi tidak membantah karena perkataan kepala prajurit itu benar adanya.
Keenam putri mereka yang cantik-cantik datang mendekat dengan wajah yang cemas pula.
“Nyai Gustiii! Cepat pergi selamatkan diri! Penjahat itu sedang menuju ke sini!”
Tiba-tiba ada seorang prajurit yang berteriak dari jauh, dari jalanan di luar area kediaman itu. Prajurit berseragam biru-biru itu datang dengan berlari kencang. Kencang sekencang-kencangnya.
Teriakan dan kedatangan prajurit lain itu kian membuat suasana yang tegang kian tegang setegang-tegangnya.
Pada saat yang sama, sejumlah prajurit datang berlari dari sisi belakang dengan menarik tali kendali kuda.
“Semua prajurit tinggalkan rumah ini dan kawal Nyai Gusti!” teriak Kumbang Pitak memberi perintah.
“Siap!” pekik para prajurit yang jumlahnya hanya belasan orang, tepatnya tiga belas prajurit, belum termasuk Kumbang Pitak.
“Kepala Pitak, kita harus segera pergi! Hah hah hah!” kata prajurit yang baru sampai kepada Kumbang Pitak. Napasnya terengah-engah.
“Nyai Gusti, Gusti Putri, silakan naik ke kuda sekarang juga,” kata Kumbang Pitak tanpa takut dimarahi lagi.
“Ayo, kalian cepat naik ke kuda!” perintah Tiwang Karini kepada keenam putrinya.
Tanpa komentar lagi, keenam gadis itu segera memilih kudanya masing-masing dan mereka naiki dengan dibantu oleh para pelayan yang juga ingin ikut rombongan.
Tiwang Karini, Jumila dan Ken Guna juga segera naik ke kuda. Mereka naik dengan pikiran yang resah karena memikirkan harta benda kepeng emas serta pupur gincu yang harus ditinggalkan.
Satu kuda yang tersisa dinaiki oleh Kumbang Pitak.
Dengan tanpa membawa bekal dan harta benda tambahan, kecuali yang mereka pakai, Tiwang Karini dan keluarganya beramai-ramai meninggalkan kediaman itu.
Rombongan itu hampir sekitar lima puluh orang, dengan rincian sembilan istri dan anak gadis Adipati Kubis Ganda, empat belas prajurit, sisanya adalah pelayan dan karyawan keluarga Adipati.
Hampir semua wanita yang naik ke kuda tidak pandai berkuda, jadi kuda harus dituntun talinya. Mereka yang berjalan kaki harus berlari-lari kecil mengiringi lari kuda.
Ternyata, tidak lama setelah Tiwang Karini dan keluarga serta prajurit meninggalkan kediaman itu buru-buru, rombongan Kentang Kebo yang dikawal oleh satu pasukan kadipaten datang.
Kentang Kebo datang dengan menumpangi kereta kuda terbuka yang ada payung janur kelapanya. Kereta kudanya dikusiri oleh Suoto dengan Marno duduk di sisi sahabatnya.
Di belakang ada pedati kuda yang dikusiri oleh Puyul dengan dua wanita tercinta yang menjadi angkutannya, yakni Indah dan Ampila.
Bedanya kali ini, satu pasukan prajurit yang sebelumnya menjadi musuh di jalanan dekat kebun tebu, berubah jadi pasukan yang mengawal dalam status tunduk kepada Kentang Kebo dan kelima abdinya.
Selain kedua kendaraan beroda itu, ada seekor kuda tanpa penunggang yang berlari santai paling depan. Meski tanpa penunggang, tetapi kuda itu memiliki tali panjang yang menarik seorang prajurit gagah di belakang.
Prajurit gagah berbadan kekar tidak berbaju tersebut berlari seperti orang yang belum sarapan. Wajahnya meringis dengan kedua tangan menyatu di depan oleh ikatan tali yang tersambung kepada kuda. Lelaki itu tidak lain adalah Komandan Ulung Gabah.
Ulung Gabah berlari kecil mengikuti tarikan tali yang dibawa oleh si kuda.
Jika kondisinya sudah seperti itu, jangan ditanya apa yang terjadi! Meski terlihat tersiksa dan terhina, Ulung Gabah masih meraih untung karena tidak dibunuh oleh Kentang Kebo.
Adegan itu hanya menjadi tontonan warga Ibu Kota dari kejauhan.
Dengan kosongnya kediaman Adipati ketika rombongan itu tiba, maka otomatis Kentang Kebo secara resmi telah menduduki dan menguasai Karang Lindur. Itu artinya Kentang Kebo telah menguasai Kadipaten Ombak Lelap secara penuh. (RH)