Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Masa lalu Lily
Di meja makan yang kini mulai sepi, suasana hangat tadi perlahan mereda. Lily masih mengunyah dengan lahap, sementara Arzhel bersandar, menatap gadis kecil itu dalam diam.
Entah mengapa, semakin lama ia mengenalnya, semakin dalam rasa ingin tahu tentang masa lalu Lily tumbuh.
“Lily,” ujar Arzhel tiba-tiba, nadanya datar namun penuh rasa ingin tahu.
“Hmm?” Lily mendongak dengan pipi penuh nasi.
“Apa kau tidak lelah selalu mengurus semuanya sendirian?”
Suapan Lily terhenti. Untuk sesaat, matanya kosong. Lalu, tanpa kehilangan senyumnya, ia meletakkan sendoknya pelan. “Bos Besar… aku sudah terbiasa sendirian.”
Arzhel tersenyum getir ketika mulai mengingat masa lalu Lily yang dia ceritakan beberapa malam sebelumnya...
Sejak bayi, Lily ditinggalkan di panti asuhan. Tidak ada surat, tidak ada nama, hanya sepotong kain lusuh yang membungkus tubuhnya.
Di sana, ia tumbuh sebagai anak yang harus bisa apa saja—mencuci, memasak, menghibur anak-anak kecil, bahkan menghibur pengurus panti dengan lelucon centilnya agar tidak dimarahi.
Suatu ketika, ia sempat merasakan kebahagiaan singkat. Sepasang suami istri yang tampak baik hati mengadopsinya. Sang istri penuh kasih, seperti ibu sejati.
Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Ibu angkatnya meninggal karena penyakit, dan suaminya yang depresi mulai kehilangan arah. Ia menuduh Lily sebagai pembawa sial.
Meski begitu, Lily tetap berusaha berbakti. Ia mencuci, memasak, membersihkan rumah, bahkan membantu pekerjaan ayah angkatnya sebisanya. Semua dilakukan dengan harapan ia bisa dianggap, sekadar dipanggil “anak.”
Tapi setiap usaha Lily berakhir dengan dinginnya penolakan. Hingga suatu hari, di usianya yang ke-9, ia benar-benar dibuang.
Tahun-tahun berikutnya adalah neraka. Lily hidup di jalanan, bertahan dengan sisa makanan, atau mengamen dengan suara falsnya hanya demi sekoin receh. Namun alih-alih putus asa, ia justru menyalakan akalnya.
Ia pernah melamar pekerjaan di sebuah perusahaan ternama sebagai manager. Dengan CV yang ditulis di kertas bekas bungkus roti, ia berdiri tegak di depan pemilik perusahaan.
“Aku tahu usiaku masih kecil,” katanya dengan lantang. “Tapi aku sudah terbiasa mengurus logistik rumah tangga sejak umur tujuh tahun, mengelola pengeluaran tanpa minus, bahkan bisa menekan biaya dapur sampai tiga puluh persen per minggu. Aku membaca buku manajemen bisnis, akutansi dasar, dan strategi pemasaran dari perpustakaan gratis. Aku mungkin bocah, tapi aku bisa lebih teliti daripada sebagian besar pegawai dewasa di sini.”
Pemilik perusahaan menatapnya lama. Lalu, bukannya kagum, ia malah meledak tertawa.
“Dasar bocah iseng! Enyah dari sini!”
Lily diusir, bahkan hampir dilempari sandal oleh satpam.
Tapi Lily tidak menyerah. Ia terus belajar dari buku bekas, perpustakaan gratis, bahkan kadang menguping seminar bisnis hanya dengan berdiri di luar ruangan.
Buku yang ia baca tidak main-main: manajemen, keuangan, psikologi bisnis, hingga strategi negosiasi.
Dengan persiapan matang, ia sadar kesalahannya. Jangan langsung melompat ke perusahaan elit! Jadi ia melamar di sebuah toko kecil sebagai karyawan biasa.
Di sana, pemilik toko melihat skill komunikasinya yang luar biasa—Lily bisa menjual sabun murahan seolah itu sabun ajaib yang bisa membuat kulit bercahaya.
Akhirnya, ia diterima. Tapi tanpa kontrak, tanpa gaji layak.
Setiap hari Lily bekerja lebih keras dari karyawan lain. Sampai ketika gaji yang dijanjikan hanya dibayar dengan segenggam permen.
“Kerja bagus, bocah. Nih, permen buatmu.”
Lily menatap permen itu dengan mata kosong. Esoknya, ketika bos botak itu mencoba untuk mempermainkannya lagi, Lily sudah tak tahan.
Ia mengambil sekop di belakang toko, lalu—PLAK! menghantam kepala botak itu dengan penuh kepuasan.
“Aku kerja untuk hidup, bukan untuk permen, dasar botak licin!” teriaknya sambil kabur.
Lily kembali ke jalanan, hingga akhirnya menemukan rumah kosong. Beberapa bulan tinggal disana, ia berpura-pura jadi hantu untuk menakuti siapa pun yang masuk—tapi malah bertemu dengan Arzhel.
Sejak hari itu, hidupnya berubah...
....
Arzhel masih duduk di kursinya, menatap gadis kecil itu dengan ekspresi rumit. Ia menggeleng pelan sambil tersenyum miring.
“Melamar kerja sebagai manajer diusia kecambah… itu benar-benar gila,” gumamnya. “Pahit, tapi juga… entah kenapa lucu kalau dipikir-pikir.”
Tawa kecil keluar dari bibirnya, namun segera menghilang ketika ia melihat kepala Lily mulai terjatuh pelan. Matanya sayu, suaranya pelan bagai bisikan. “Bos Besar… aku ngantuk...”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, wajah Lily sudah menimpa meja makan, terlelap dalam hitungan detik.
Arzhel menghela napas panjang, berdiri, lalu mendekatinya. “Dasar gadis keras kepala…” katanya lirih.
Ia membungkuk, mengangkat tubuh mungil Lily dengan hati-hati. Berat badannya nyaris tidak terasa, terlalu ringan bagi seorang anak yang sudah bekerja keras melebihi umurnya.
Dalam diam, ia menggendongnya menuju kamar. Lampu ruangan remang, suasana tenang. Ia merebahkan Lily perlahan di atas ranjang, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuh mungilnya.
Arzhel duduk di tepi ranjang, menatap wajah polos yang kini benar-benar damai.
Senyumnya muncul, tapi bukan senyum bahagia—lebih kepada senyum getir, penuh iba. “Kau pasti kelelahan… kau sudah bekerja dengan sangat baik, Lily. Sekarang… tidurlah dengan nyenyak.”
Saat ia hendak berdiri dan beranjak, tiba-tiba tangan kecil itu meraih pergelangan tangannya. Pegangan lemah, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya.
Dengan suara setengah sadar, Lily bergumam lirih, “…jangan tinggalkan aku….”
Arzhel terdiam. Hatinya bergetar. Kalimat sederhana itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya, menyingkap semua luka kesepian yang pernah ia abaikan dari tatapan ceria Lily.
Ia menunduk, lalu meraih tangan kecil itu dengan lembut dan menggenggamnya erat.
“Aku tidak akan meninggalkanmu,” katanya, suaranya pelan namun penuh keteguhan. “Mulai sekarang, kau tidak sendirian. Kita memang bukan keluarga sedarah… tapi tidak masalah kau menganggap ku sebagai keluarga.”
Arzhel menatap wajah tidur Lily, lalu menambahkan dengan nada berbisik, hampir seperti janji pada dirinya sendiri.
“Kita akan melawan dunia yang keras ini… bersama-sama.”
Lily tersenyum samar dalam tidurnya, seakan hatinya mendengar janji itu.
Arzhel duduk lebih lama di sampingnya, menjaga hingga napas Lily benar-benar teratur, sebelum akhirnya ia menyandarkan punggung ke kursi dan menatap langit-langit kamar, hatinya terasa hangat—dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa… benar-benar hidup.