Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Pesta Panen Tallava
Senja menjatuhkan rona keemasannya di atas tanah Acalopsia. Udara mengembuskan wangi manis dari anggur yang dipanen, bercampur dengan harum bunga dan rempah yang dibakar di tungku perjamuan.
Perkebunan keluarga Tallava malam itu berubah wajah—dari ladang kerja menjadi taman surgawi. Lentera-lentera kaca menggantung dari pepohonan, memantulkan cahaya lembut yang menari di dedaunan.
Kursi dan meja berjejer melingkar di bawah kanopi anggur, dengan taplak berenda dan porselen mengilap. Musik harpa, seruling, serta kecapi berdenting dari panggung kayu kecil yang dihias kelopak lili dan untaian kristal.
Di antara tawa dan ucapan selamat, para pelayan sibuk seperti semut. Mereka berjalan cepat dalam diam, membawa baki-baki makanan, kendi-kendi anggur, serta menata ulang karpet di bawah kaki para tamu.
Di sisi lain taman, sebuah kolam buatan berbentuk oval menyimpan pantulan langit malam dan cahaya lentera yang begitu tenang.
Sissel berdiri dengan napas tercekat, memeluk keranjang buah kering yang harus ia antar ke meja utama. Rambut merahnya ia kepang dua agar tidak mengganggu, tapi tetap saja warna itu mencolok. Tatapan penuh tanya tak henti menghujam dari para tamu bangsawan.
Di ujung taman, di bawah pohon kayu tua yang dijadikan titik pusat pesta, Pangeran Nieville berdiri berdampingan dengan seorang wanita.
Nona Zenithia.
Ia seperti lukisan yang dilahirkan dari cahaya dan embun pagi. Rambut pirangnya bergelombang lembut seperti anyaman emas yang disisir angin. Gaunnya biru keperakan, dihiasi sulaman berbentuk bulu-bulu burung merak yang mengembang anggun di bagian belakang. Ia tertawa pelan saat Nieville membisikkan sesuatu. Para tamu yang melihat hanya bisa memandangi dengan kagum… atau iri.
Termasuk Natu.
Nona besar Tallava berdiri di antara kelompok bangsawan muda lainnya. Gaunnya merah terang dengan renda hitam, wajahnya dipoles sempurna, tapi matanya menyimpan kekesalan yang tak bisa disembunyikan. Pandangannya terpaku pada tangan Nieville yang tanpa sadar menyentuh lengan Zenithia. Kepalan jarinya meremas kipas kecil yang ia genggam.
“Dia bahkan belum menjadi seorang putri, tapi tingkahya seperti pemilik kerajaan,” bisik salah satu temannya.
“Seharusnya kau, Natu, yang lebih pantas berdampingan dengan Pangeran Neville,” ujar temannya yang lain.
“Ya, aku juga berpikir demikian. Ayahmu memiliki perkebunan anggur terbaik yang sangat disukai kerajaan. Seharusnya ayahmu bisa merekomendasikanmu sebagai pendamping pangeran. Aku lebih suka itu dirimu dibandingkan dengan nona dari Bangsawan Garya,” imbuh temannya yang lain.
Natu tersenyum miring. “Kita lihat saja siapa yang terakhir bisa berdiri di samping pangeran. Masih panjang waktu untuk mengubah perasaan seseorang.”
Natu tampak percaya diri jika kelak dirinya nanti bisa memikat hati pangeran. Apalagi ia beberapa kali bisa menemani pangeran yang berkunjung ke ladang anggur keluarganya. Bagi Natu, posisi Zenithia hanya sementara saja. Keluarga kerajaan pasti menginginkan pendamping yang lebih baik dari wanita itu.
Sissel kembali dari dapur, melewati taman kecil di sisi kolam, membawa wadah anggur yang nyaris tumpah karena langkahnya tergesa. Belum sempat ia menjauh, suara tawa perempuan menghentikannya.
Tawa para bangsawan muda meledak seperti letupan anggur asam yang membanjiri udara pesta. Musik meriah masih mengalun di kejauhan, tapi di sisi taman kolam, irama itu menjadi latar bagi penghinaan yang tak bersuara sopan.
Sissel berdiri canggung di antara para gadis bangsawan yang memandangnya seolah ia debu di atas meja makan mereka.
“Coba lihat bajunya... Astaga, itu kain atau gorden tua?” bisik salah satu dari mereka, pura-pura menutup mulutnya sambil tertawa.
“Dan rambutnya... merah menyala seperti api di dapur! Kau yakin ini bukan tikus yang nyasar?” sahut yang lain.
Sissel diam. Ia tahu tempatnya. Tapi malam itu ia mencoba berdiri sedikit lebih tegak, mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya untuk melayani mereka. Ternyata, tidak semua orang bisa menerima kehadiran Mestiz di tengah pesta yang dianggap suci oleh kaum bangsawan.
“Ayo kita bantu dia... mandi sekalian! Siapa tahu bisa membersihkan tubuh dan darahnya yang kotor dan terkutuk!” ucap yang lain sambil tersenyum manis.
Sebelum Sissel bisa mundur, dua gadis mendorongnya ke belakang. Kakinya tergelincir di tepi batu yang licin.
Byuur!
Suara air memercik keras. Gaun indah itu membasah seketika. Sissel terjatuh ke kolam, rambut merahnya menjuntai dan menempel di wajah. Udara malam langsung menyergap kulitnya yang menggigil. Semua tawa meledak lebih keras, seperti parade penghinaan yang sah dilakukan.
Di dalam air, dunia terasa beku dan sunyi. Suara tawa yang memekakkan telinga tadi berubah menjadi gema menyakitkan yang menusuk dari dalam kepala. Sissel membuka mata—melihat gelembung-gelembung kecil naik ke permukaan, melihat bayangan para gadis tertawa dari atas air.
Untuk sesaat, ia tidak ingin muncul kembali. Bukan karena tidak bisa berenang, tapi karena malu telah dilahirkan sebagai dirinya sendiri. Tangannya mengepal di bawah air, dan di dalam hati, ia bertanya: Apa salahku menjadi siapa aku? Tapi air tidak menjawab. Dunia tidak pernah peduli pada pertanyaan orang-orang seperti dirinya.
Dari kejauhan, Sion melihatnya.
Tangannya mengepal. Dadanya naik turun. Ia melangkah cepat, hampir berlari, tapi sebuah tangan menahan lengannya. Barja.
“Jangan,” kata Barja tegas, matanya menatap lurus ke depan.
“Sialan...” gumam Sion pelan. “Bangsawan sampah!”
“Biarkan saja… kau tidak boleh membiarkan perhatian mengarah padamu.”
Sion memalingkan wajah, tetapi matanya tetap mengarah pada Sissel. Memperhatikan wanita itu yang berusaha berenang ke tepi kolam sambil menggigil. Beberapa pelayan mulai melihat, tapi tak satu pun berani menghampiri.
Tiba-tiba, suara langkah pelan bergema di antara batu dan kerikil.
Angin malam seakan berhenti bergerak.
Semua mata berbalik… dan tawa meredup.
Nona Zenithia berjalan anggun menuju kolam, gaunnya menjuntai lembut seperti embun pagi. Rambut keemasannya dihiasi mahkota kecil dari kristal air. Sorot matanya tajam namun tenang. Langkahnya tidak terburu, seolah ia membawa waktu bersamanya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menuruni anak tangga kolam. Air menyentuh ujung roknya, lalu selutut, lalu ke pinggang.
Zenithia menghampiri Sissel—yang kini membeku karena malu dan terkejut. Ia mengulurkan tangan, perlahan, dengan sikap penuh wibawa.
Sissel memandangnya dengan mata yang bergetar. Dengan ragu, ia menyambut tangan itu.
Zenithia menariknya keluar dari air dengan hati-hati, lalu melepaskan selendangnya dan menyampirkan ke pundak Sissel yang menggigil. Sang Nona menoleh pada para bangsawan muda yang tadi tertawa.
Sorot matanya berubah dingin—bukan marah membabi buta, tapi tajam seperti hukum yang tak bisa diganggu gugat.
“Aku malu,” ucapnya pelan, namun setiap katanya terdengar jelas. “Bukan karena ada Mestiz di pesta ini. Tapi karena ada wanita-wanita muda... yang merasa cukup mulia untuk menghina yang lain.”
Para gadis terpaku.
“Siapa kalian, hingga merasa pantas memperlakukan orang lain seperti lumpur di telapak kaki?”
Lirenoir tersenyum malu. “Kami hanya—bercanda, Nona Zenithia.”
“Bercanda?” Zenithia menyipitkan mata. “Bercanda dengan merendahkan darah yang setengahnya berasal dari keluarga kerajaan?”
Semua terdiam.
“Kaum Mestiz,” lanjut Zenithia, “Mereka membawa setengah darah agung dari kerajaan yang bahkan tidak kita miliki sebagai kaum bangsawan. Lantas, masih pantaskan kalian untuk menghina mereka?”
Natu yang menonton dari kejauhan tampak menggigit bibir. Kekesalannya semakin membuncah. Wanita itu kembali menarik perhatian dengan menolong salah seorang pelayannya. Seolah wanita itu sedang memamerkan bahwa tak lama lagi akan menjadi bagian dari keluarga kerajaan yang suci dan ia akan memperoleh cahaya elf suci.
“Seorang Mestiz,” katanya sambil menoleh pada Sissel, “Masih mewarisi darah keturunan kerajaan. Siapa pun yang menindasnya, sama saja seperti memperolok nenek moyangnya sendiri.”
Beberapa orang mulai berbisik.
“Kelak, ketika kalian menjadi ibu, apakah kalian ingin anak kalian dihina karena darahnya?”
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti pedang.
Zenithia kemudian membimbing Sissel pergi. Tidak ke dapur, tidak ke bilik pelayan. Tapi ke kamar pribadinya.
Salah satu kamar tamu utama di rumah Tallava disiapkan khusus untuk Zenithia. Tirai tipis berwarna gading menari di tiupan angin malam. Di dalamnya, Sissel duduk di bangku bundar, mengenakan jubah kering yang dibawakan pelayan. Rambutnya sudah dikeringkan, tetapi wajahnya masih menyimpan semburat malu.
Zenithia duduk di sisinya, memegang sisir perak.
“Aku minta maaf atas apa yang baru saja menimpamu. Aku tahu permintaan maaf dari seorang bangsawan mungkin terasa... Omong kosong. Tapi, aku tidak bisa membiarkanmu dihina di depan umum.”
Sissel menggeleng cepat. “Tidak... Tidak, Nona. Saya bahkan pernah membayangkan … tidak pernah menyangka seorang seperti Anda ... Akan menolong elf rendahan seperti saya.”
Zenithia tersenyum. “Aku tidak menyukai keangkuhan yang lahir dari garis darah.”
Ia mengambil kotak kecil dari meja rias. Dibukanya kotak itu, di dalamnya terdapat sebuah hiasan rambut berwarna emas dengan ornament burung merak yang sedang membuka sayap, dihiasi batu kecil berkilau di bagian matanya.
“Ini... Untukmu.”
Sissel memandang benda itu seperti melihat mimpi. Benda itu sangat indah. Hiasan rambut yang biasa dipakai oleh para nona bangsawan.
“Nona … saya tidak layak menerimanya,” tolaknya. Ia merasa sudah bersyukur telah ditolong dan dibela di hadapan banyak orang. Pemberian itu baginya terasa sangat berlebihan.
“Setiap wanita layak merasa cantik,” kata Zenithia seraya menyematkan hiasan itu di rambut Sissel. “Setiap wanita menyimpan daya tarik yang tak selalu tampak dari luar.”
“Kadang, yang paling berkilau justru datang dari hati yang terdalam.”
Sissel menunduk, air mata jatuh perlahan. “Terima kasih... Terima kasih, Nona.”
Zenithia memeluknya singkat. “Kau tidak perlu menjadi siapa pun selain dirimu sendiri. Jangan menyerah sekalipun semua orang menginginkanmu kalah.”
Dari balik dinding samping jendela, Sion mendengarkan percakapan mereka. Ia merasa lega ada yang memperlakukan Sessil dengan baik. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia bisa mengkhawatirkan wanita itu sampai sejauh ini. Padahal, biasanya ia tak peduli dengan apa yang menimpa orang lain.