jhos pria sukses yang di kenal sebagai seorang mafia, mempunya kebiasaan buruk setelah di selingkuhi kekasih hatinya, perubahan demi perubahan terjadi dia berubah menjadi lebih kejam dan dingin, sampai akhirnya dia tanpa sengaja membantu seorang gadis mungil yang akan menjadi penerang hidupnya. seperti apakah kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
"Tuan, saya belum menemukan keberadaan mereka," lapor salah satu anak buah Jonson dengan wajah penuh ketakutan. "Tapi saya punya kabar bagus, Tuan," lanjutnya hati-hati, mencoba mencari celah untuk menyenangkan atasannya.
Jonson, yang sudah nyaris hilang kesabaran akibat kegagalan demi kegagalan, menatap tajam dengan mata menyala penuh ancaman. "Katakan sekarang juga! Jika kabar ini tak memuaskan, kamu akan mati hari ini juga," bentaknya dingin.
Anak buahnya menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Tenang, Tuan. Saya punya rencana yang dijamin berhasil. Tuan masih ingat dengan Anita, kan? Sejauh yang saya tahu, dia adalah wanita yang sangat disayangi oleh Jhos. Nah, besok dia akan pulang. Kita bisa menjadikannya sandera, memaksa Jhos untuk melepaskan Nisa demi keselamatannya. Bagaimana menurut Tuan?"
Mendengar nama Anita, Jonson terdiam sejenak. Kemudian ia tersenyum licik, matanya memancarkan rasa puas. "Hmm... ada benarnya juga ucapanmu. Baik. Besok pagi jemput gadis itu, bawa ke hadapanku. Aku akan membuat Jhos menderita… dan mungkin sedikit hiburan juga," katanya sambil tertawa kecil. "Kau mungkin mengenalku, Jhos… tapi kau belum tahu siapa aku sebenarnya. Dalam urusan wanita, jangan pernah coba bersaing denganku."
Sementara itu, di sebuah apartemen mewah dengan lampu terang yang elegan, suasana begitu senyap. Tapi di dalam salah satu kamar, keheningan itu dipatahkan oleh suara jeritan kenikmatan yang menggema pelan.
Jhos dan Nisa tengah larut dalam gairah mereka. Namun, setelah malam panjang yang melelahkan, Nisa merasa tubuhnya belum pulih.
"Jhos, hentikan. Aku masih sakit. Bukankah tadi malam kamu sudah mendapatkannya?" protes Nisa dengan nada emosi, saat Jhos tiba-tiba memeluknya dari belakang di kamar mandi.
Nisa baru saja menyiapkan air hangat untuk berendam. Ketika ia melepas pakaiannya, tubuh Jhos langsung mendekapnya dari belakang. Terkejut, Nisa menepis tangan itu dan membalikkan badan, tapi sebelum sempat bicara, bibirnya sudah dicium oleh Jhos.
"Hemm... Jhos! Apa yang kamu lakukan?" pekiknya.
"Menikmatimu, Sayang. Aku ingin merasakannya lagi," bisik Jhos lembut di telinganya. Nafas hangatnya membuat tubuh Nisa bergidik.
"Paman, aku tak mau. Aku capek. Aku ingin mandi lalu tidur," tolak Nisa keras, berusaha menghindar dari ciuman panas itu.
"Bagaimana kalau kita mandi dulu, lalu kamu tidur? Aku jamin kamu lebih rileks," Jhos tetap tak menyerah.
"Paman, tolong jauhkan tanganmu! Aku tidak ingin ini! Aku tidak mau mati!" Nisa panik dan berusaha meronta.
"Kenapa kamu bicara soal mati? Malam tadi kamu juga bersemangat, dan kamu tetap hidup, kan?" balas Jhos santai, tersenyum puas melihat reaksi polos gadis itu.
"Tapi paman… sakit. Kamu terlalu besar, dan terlalu lama. Aku tak bisa menandingimu," keluh Nisa polos, membuat Jhos makin tergoda.
"Kamu itu polos sekali, Nisa. Tapi justru itu yang membuatku semakin tergila-gila. Percuma kamu meminta aku berhenti… karena dengan cara kamu ini, aku justru semakin ingin melakukannya," ujar Jhos sambil tertawa kecil.
Astaga… kenapa kamu begitu polos, Nisa? Kejujuranmu itu… membuatku makin sulit menahan diri. Jhos perlahan memainkan jemarinya di tubuh Nisa, membangkitkan kembali gairah yang mulai padam.
Namun tiba-tiba— "Drett… Drett…" Ponsel Jhos bergetar di saku celananya. Dengan kesal, ia berhenti dan berjalan keluar kamar mandi untuk mengangkatnya. Nisa ditinggalkan dalam diam, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena sensasi yang belum tuntas.
Seharusnya Nisa merasa lega—telepon itu menyelamatkannya dari "kebuasan" Jhos. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya: hampa… Seperti hidangan yang siap disajikan, tapi ditinggalkan begitu saja.
"Ada apa denganku? Kenapa sekarang aku malah menginginkannya? Seharusnya aku senang terbebas, tapi tubuhku terasa panas dan gelisah… tidak… aku harus bagaimana?"
Nisa berjalan mondar-mandir di kamar mandi, lalu akhirnya masuk ke bathtub, berharap air hangat bisa menenangkan gejolak dalam dirinya.
Jhos sebenarnya sengaja meninggalkan Nisa. Telepon itu hanyalah alat untuk mempermainkannya. Dia tahu bagaimana cara membangkitkan gairah wanita, lalu meninggalkannya dalam keadaan tak berdaya. Itu adalah permainan yang dia nikmati.
Di layar ponsel, nama Anita tertera jelas. Gadis itu menelepon untuk memberitahu bahwa dia akan tiba di Kota Hua besok.
"Benarkah kamu akan datang besok? Astaga, aku sangat senang mendengarnya! Aku akan menjemputmu lusa. Kamu tiba jam berapa?" tanya Jhos dengan nada antusias yang dibuat-buat.
"Aku sampai lusa jam 7 pagi. Jemput aku ya. Aku rindu padamu, Jhos. Aku harus istirahat sekarang, besok pagi penerbangan pertama," jawab Anita riang.
"Baiklah, aku akan menunggumu di bandara. Sampai jumpa, Tuan Putri," balas Jhos sambil tersenyum kecil sebelum menutup panggilan.
Jhos tahu Anita bukan gadis biasa. Sebagai putri tunggal bos mafia besar di Amerika, gadis itu sangat dilindungi. Tapi karena cintanya pada Jhos, Anita rela menentang ayahnya. Meski Jhos hanya menganggapnya sebagai adik, Anita yakin suatu hari Jhos akan melihatnya sebagai seorang wanita yang pantas menjadi pendamping hidupnya.
Setelah menutup telepon, Jhos kembali masuk ke kamar mandi. Di sana, ia mendapati Nisa masih berendam di bathtub dengan mata terpejam, tubuhnya tenggelam dalam air hangat. Tanpa suara, Jhos mendekat, membungkuk, lalu mengecup lembut lehernya dari belakang.
"Maaf, sayang… Tadi aku hanya mengangkat panggilan, kamu sendiri lihat, kan?" ujar Jhos sambil tersenyum. Tangannya kembali menyusuri tubuh Nisa, kali ini menuju dadanya yang penuh menggoda.
"Alasan. Bilang saja aku sudah nggak penting buat kamu," balas Nisa kesal, tak mau mengalah dan terus menyalahkan Jhos.
"Ooh… jadi tadi ada yang merasa ditinggalkan, ya? Hehe… Baiklah, mulai sekarang aku nggak akan meninggalkan kamu lagi. Yuk, kita lanjut," ujar Jhos sambil mengangkat tubuh Nisa keluar dari kamar mandi.
Dengan gerakan ringan namun penuh tenaga, Jhos mengangkat tubuh telanjang Nisa dan membaringkannya di atas tempat tidur. Wajah Nisa memerah, malu karena dirinya kini sepenuhnya terbuka di hadapan Jhos.
"Kenapa kamu bawa aku ke sini? Aku belum selesai mandi," protes Nisa lirih.
"Nanti kita mandi bareng, setelah aku menyantapmu dulu, sayang," bisik Jhos sambil membuka seluruh pakaiannya.
Nisa langsung menutup wajahnya dengan tangan ketika melihat kejantanan Jhos yang sudah tegak sempurna.
"Kenapa ditutup, sayang? Ini sekarang milik kamu. Nikmatilah," ucap Jhos sambil menarik pinggang Nisa, melebarkan kakinya, dan mengarahkan dirinya ke bagian paling sensitif Nisa.
Nisa memejamkan mata saat Jhos mulai memasuki dirinya. Lima detik kemudian, rasa sakit menyergapnya.
"Akh…," ia mengerang pelan, tubuhnya menegang.
‘Bukankah dia bilang tidak akan sakit lagi? Tapi kenapa masih begini rasanya?’ pikir Nisa.
"Sabar, sayang… Sebentar lagi akan terasa enak," ucap Jhos lembut sambil mencium bibirnya, tangan besarnya menggenggam dada Nisa yang penuh dan hangat.
Gerakannya perlahan, tak ingin menyakiti. Wajah Jhos dipenuhi kesabaran dan perhatian.
"Masih sakit?" tanyanya saat melihat Nisa masih menahan napas dan memejamkan mata.
Nisa membuka matanya, menatap wajah Jhos lekat-lekat. Detik itu juga, pikirannya mulai kacau. Dia mulai menikmati semuanya. Rasa nikmat mulai menyalip rasa malu. Dia ingin lebih. Tapi gengsi menahannya.
Jhos yang melihat wajah kosong Nisa langsung menghentakkan pinggulnya ke depan dengan kuat.
"Aukh…!" Nisa terkejut. Refleks, ia menarik leher Jhos, membisikkan sesuatu ke telinganya.
"Jhos… lebih cepat. Aku menikmatinya," bisiknya dalam suara yang terdengar lirih namun penuh hasrat.
Senyum lebar menghiasi wajah Jhos. Tanpa banyak bicara, ia melumat bibir Nisa dan mempercepat gerakannya.
"Akh… Jhos… lebih cepat…"
"Tenang, sayang. Aku milikmu. Semuanya milikmu. Aku mencintaimu…"
Mereka tenggelam dalam gairah. Jhos menggiring tubuh Nisa ke dalam berbagai posisi, membangkitkan desahan yang sesekali berubah menjadi jeritan kenikmatan.
Tiga jam kemudian, akhirnya Jhos menghentikan gerakannya. Nafasnya terengah, tubuhnya gemetar setelah mencapai puncaknya. Nisa merasakan cairan hangat membanjiri bagian dalam tubuhnya. Ia pun tertidur lemas di pelukannya.
Keesokan harinya, Jhos bangun lebih dulu. Ia segera mandi dan berpakaian, lalu bergegas ke bandara untuk menjemput Anita.
Tak lama setelah itu, Nisa pun terbangun. Ia merentangkan tangan, mencari kehangatan tubuh Jhos, namun hanya mendapati tempat kosong di sisinya. Dengan cepat, ia duduk. Rasa pegal menjalar di seluruh tubuhnya.
“Sepertinya tadi malam aku terlalu posesif... Tapi, kenapa rasanya begitu nikmat sampai aku lupa diri?” gumamnya.
Ia membuka laci dan mengambil sekotak pil. Dengan cepat, ia menelan satu untuk mencegah kemungkinan kehamilan—mengingat malam tadi Jhos tak mengenakan pengaman.
Setelah itu, Nisa berjalan ke kamar mandi. Di depan cermin, matanya menangkap bekas-bekas gigitan dan ciuman di tubuhnya, terutama di dada dan leher.
“Dasar galak,” katanya pelan sambil tersenyum, mengingat ucapan Jhos semalam. Tapi senyumnya perlahan pudar. Ia menunduk.
“Mungkin dia cuma terbawa suasana…” ucapnya, mencoba menepis perasaan yang mulai tumbuh.
Di bandara, Jhos duduk gelisah di dalam mobil. Ia memikirkan Anita—wanita yang pernah mempertaruhkan nyawa demi dirinya. Sudah tiga jam berlalu, namun belum ada tanda-tanda kehadirannya.
Merasa khawatir, Jhos mengirim salah satu anak buahnya untuk mengecek jadwal pesawat dari Amerika.
Tak lama kemudian, pria itu kembali dengan wajah cemas.
“Maaf, Tuan. Pesawat dari Amerika telah mendarat empat jam yang lalu.”
“Apa? Empat jam?! Kenapa dia belum menghubungi?” gumam Jhos, mulai curiga.
‘Jangan-jangan ini ulah Jonson…’
Ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang, Jhos mengangkatnya.
“Halo?”
“Hai, Jhos. Kudengar kau sedang menunggu Anita?” suara Jonson terdengar santai, namun penuh kepalsuan.
“Aku tahu ini ulahmu! Di mana dia sekarang?!” bentak Jhos, emosinya memuncak.
“Haha, tenang saja. Aku tidak akan menyakitinya… asalkan kau menyerahkan Nisa padaku.”
“Jangan mimpi, Jonson! Aku tidak akan pernah menyerahkannya padamu!”
“Kalau begitu, jangan berharap bisa melihat Anita dalam keadaan baik-baik saja.”
“Kau berani menyentuhnya, Jonson?! Aku akan memburumu ke ujung dunia sekalipun!”
“Haha, aku tunggu, Jhos. Bawakan aku Nisa,” ucap Jonson sebelum memutus sambungan.
Sementara itu, Anita duduk di kursi, tepat di samping Jonson. Ia mendengarkan percakapan itu dengan mata yang berkaca-kaca, penuh kemarahan dan kebingungan.
“Kau dengar, kan? Jhos sekarang punya wanita lain. Dia merebutnya dariku,” ujar Jonson dengan suara licik.
Anita mengepalkan tangan, matanya menatap tajam ke depan.
“Siapa wanita itu? Apa hebatnya sampai Jhos berpaling dariku?” pikirnya geram.
Jonson menatap Anita dengan senyum licik. “Tenang saja, setelah Jhos menyerahkan wanita itu, kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau dengannya. Sekarang kamu hanya perlu diam di sini, sebagai jaminan.”
Anita masih terlihat ragu. “Apa kamu yakin dia akan menyerahkan gadis itu? Dari caranya bicara tadi, dia terlihat sangat… melindunginya.”
"Siapa sebenarnya wanita itu? Apa istimewanya sampai Jhos sekeras itu mempertahankannya, bahkan saat aku jadi sandera?" pikir Anita, hatinya membara karena cemburu.