Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DEEP TALK MUNGKIN
Sebuah Jawaban untuk Voni
Aku terdiam. Di hadapanku, seorang gadis duduk dengan wajah menunggu. Gadis yang sejak kecil ada di sisiku, yang selalu menjadi tempat pulang dan tempat cerita. Tapi sekarang, dia sedang bertanya sesuatu yang tidak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya: pertanyaan tentang cinta.
Aku bingung harus berkata apa. Apakah aku terlihat menyukainya? Atau lebih dari itu—jatuh cinta padanya?
Aku menarik napas dalam-dalam. Hatiku berdegup tak karuan. Aku harus menjawab, dan jawabanku harus bisa menenangkan dia... atau paling tidak menyakinkan bahwa aku tidak punya perasaan lebih dari sekadar sahabat. Aku tidak ingin persahabatan kami menjadi canggung hanya karena salah paham.
“Sebenarnya... jatuh cinta itu boleh-boleh saja, sama siapa pun. Bahkan sama sahabat sekalipun. Selama bukan saudara kandung, agama tidak melarangnya,” ujarku perlahan, berusaha tenang. “Tapi kalau tujuannya untuk menjaga persahabatan agar tetap berjalan lama, rasanya... lebih baik jangan jatuh cinta dengan sahabat sendiri.”
Aku berharap Voni bisa menangkap maksud dari ucapanku. Aku berharap dia tahu bahwa rasa sayangku padanya adalah rasa sayang tulus seorang sahabat. Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku tidak ingin hubungan kami berubah.
“Berarti kamu lebih memilih sahabat tetap jadi sahabat, tanpa perasaan lebih gitu, ya?” tanyanya lagi, memastikan.
Aku mengangguk. “Iya... benar,” jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepala, menegaskan jawabanku.
Namun, wajah Voni terlihat bingung. Matanya seolah berkata bahwa ada pertentangan di hatinya. Apakah kata-kataku dan perlakuanku selama ini bertolak belakang hingga membuatnya ragu? Aku tak tahu.
“Kenapa wajahmu terlihat sangat bingung, Von?” tanyaku, berusaha menyelami isi hatinya. Aku memang pintar dalam pelajaran, tapi tidak berarti aku bisa membaca pikiran dan perasaan orang lain, apalagi seorang perempuan.
Voni hanya menggeleng pelan, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi sorot matanya masih seperti seseorang yang sedang mengerjakan analisis data SPSS, namun datanya tidak valid. Ia tampak kesulitan menarik kesimpulan dari perasaannya sendiri.
“Sudahlah,” kataku mencoba mengalihkan. “Kayaknya membahas perasaan bikin kita makin bingung. Lebih baik kita bahas soal masa depan aja. Setelah lulus SMA, kamu mau lanjut ke mana? Kan habis liburan nanti kita harus isi Buku Sukses Cita-cita.”
Buku Sukses Cita-cita adalah program dari sekolah kami. Di dalamnya, setiap siswa harus menuliskan jurusan dan kampus yang akan dituju. Buku ini membantu guru pendamping untuk memantau apakah jurusan yang kami pilih sesuai dengan kemampuan dan minat kami.
“Aku udah mikir, kayaknya aku bakalan ambil jurusan Hukum,” jawab Voni antusias. “Sesuai keinginanku sejak lama.”
Aku tersenyum mendengarnya. Sejujurnya, Voni memang lebih suka pelajaran Sejarah dan PPKn. Tapi karena kami berada di sekolah dengan hanya satu jurusan—IPA—dia harus menekan minatnya selama tiga tahun. Dan semua itu... karena aku.
Dia pernah bilang, dia tidak mau bersekolah terpisah denganku. Jadi dia rela masuk IPA meskipun bukan minatnya. Sungguh, aku merasa bersalah sekaligus terharu. Sekarang mendengar dia sudah menentukan pilihan sendiri, aku merasa bangga.
“Wah, keren banget, Von! Aku janji bakal dukung kamu terus. Semangat ya, Voniiiiii!” seruku sambil mengangkat tangan untuk memberi semangat. Voni tersenyum senang.
“Kalau kamu sendiri? Kan kamu bilang mau ambil Agribisnis. Mau di mana?” tanyanya.
“Aku mau ambil di IPB. Itu kampus terbaik untuk jurusan Agribisnis,” jawabku santai.
Namun, tiba-tiba ekspresi wajah Voni berubah. Keceriaannya sirna. Ia menunduk. Rambut pirangnya menutupi sebagian wajahnya. Ada sesuatu yang ditahan.
“Hiks... kenapa sih kamu jahat banget, Ion?” katanya tiba-tiba, suaranya bergetar.
Aku kaget. “Lho, kenapa?”
“Kenapa kamu selalu ingin menjauh dariku? Aku kan pengin satu kampus sama kamu. Kenapa kamu nggak pilih kampus yang sama denganku?” ucapnya sambil menangis.
Air matanya mengalir deras, membasahi celananya. Aku panik. Aku tidak menyangka ucapanku akan menyakitinya sejauh itu. Aku langsung mendekat, mengangkat wajahnya yang tertunduk dan menyeka air matanya dengan tanganku. Perlahan, aku mengelus kepalanya untuk menenangkannya.
“Memangnya kamu mau masuk ke mana, Von?” tanyaku lembut.
Voni tidak langsung menjawab. Dia malah menyandarkan wajahnya ke dadaku. Tubuhnya bergetar karena tangis. Aku memeluknya erat dan terus mengelus rambutnya yang lembut.
“Aku mau masuk Unpad... Masuk Unpad aja, ya, Ion?” katanya di sela isak tangis. “Aku nggak bisa jauh dari kamu. Di sana kita bisa kos dekat-dekatan. Kalau aku sedih, aku bisa ke tempat kamu. Kalau aku bingung, aku bisa nanya ke kamu.”
Hatiku mencelos. Aku tidak tega melihatnya seperti ini. Aku melepaskan wajahnya dari dadaku perlahan dan menatap matanya. Matanya sembab, tapi tetap indah.
“Ion... jangan lihat wajah Voni kayak gitu. Voni malu... Voni jelek,” katanya sambil terisak dan menarik ingusnya.
Aku tertawa kecil. Tanganku menuntun wajahnya lebih dekat ke wajahku, mungkin hanya berjarak dua sentimeter.
“Kamu cantik, Von. Bagi aku, kamu selalu cantik. Kamu nomor dua tercantik setelah Mama di mataku,” ucapku lembut. “Dan kalau kamu mau masuk ke Unpad, aku akan ikut kamu, cantikku.”
Voni menatapku dengan mata berkaca-kaca. Lalu ia memelukku lagi, erat dan penuh rasa.
“Terima kasih, Ion...” bisiknya.
Mungkin ini saatnya aku mengikuti dia, seperti dulu dia rela mengikuti langkahku. Lagipula, Agribisnis di Unpad juga memiliki akreditasi A. Tidak ada alasan untuk menolak. Keputusan itu terasa benar... dan hati kecilku pun sepakat.
Jumlah kata: ±1.515 kata