NovelToon NovelToon
Malam Saat Ayahku Mati

Malam Saat Ayahku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.

Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.

Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dekat Jauh

Izara duduk di pinggir kasur, matanya menatap kosong ke arah jendela yang terbuka sedikit. Angin sore masuk pelan, mengibaskan ujung tirai. Sudah beberapa hari ia tinggal di rumah ini, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya… tidak ada yang menyuruhnya apa-apa.

Tapi justru itu membuatnya gelisah.

Ia menghela napas, lalu bergumam lirih pada dirinya sendiri, “Kenapa malah terasa kosong, ya…”

Pintu kamar diketuk perlahan. Suara Kai terdengar dari balik pintu.

“Kau baik-baik saja, Izara?”

Izara sedikit terlonjak, lalu menjawab, “Iya… saya baik.”

Kai masuk beberapa detik kemudian, memperhatikan wajah gadis itu. “Kau terlihat bosan.”

Izara tersenyum kecil, canggung.

“Mungkin… saya memang sedikit bosan. Biasanya di rumah saya banyak melakukan pekerjaan. Menyapu, mengepel, memasak…”

Kai mengangguk pelan, berjalan mendekat.

“Kau bisa melakukan semua itu di sini juga, kalau kau mau. Tapi bukan karena kau harus.”

Izara menunduk. “Saya… terbiasa tidak duduk diam. Kalau saya duduk lama tanpa melakukan apa pun… rasanya seperti akan dimarahi.”

Kai menatapnya lembut. “Kau tidak akan dimarahi di sini, Izara. Tidak ada yang akan berteriak hanya karena kau diam.”

“Sulit dipercaya,” gumam Izara, nyaris tak terdengar. “Tubuh saya bahkan merasa bersalah kalau tidak bergerak.”

Kai duduk di kursi dekat ranjang, menghela napas. “Itu karena kau hidup terlalu lama di bawah tekanan. Tapi di sini, kau bebas. Jika ingin membantu, silakan. Tapi jangan pernah merasa harus. Apalagi karena takut.”

Izara tersenyum kecil, lalu menatap Kai. “Kalau begitu… bolehkah saya bantu menyiapkan makan malam?”

Kai tertawa pelan, menatapnya dengan tatapan yang hangat. “Tentu. Tapi kali ini, aku yang akan jadi asistennya.”

Izara tersenyum lebih lebar.

Langkah Izara terasa ringan saat ia melangkah ke dapur untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah itu. Aroma rempah dan wajan yang hangat menyambutnya—sesuatu yang terasa akrab, seperti rumah, meski tempat ini masih asing.

Izara tersenyum sopan. “Apa saya boleh bantu memasak?”

Salah satu pelayan, seorang wanita paruh baya bernama Marsha, mengangguk ramah.

“Tentu, nona. Tapi… apakah Anda yakin? Anda tamu di sini.”

Saya lebih nyaman saat tangan saya sibuk,” jawab Izara lembut. “Dan saya suka memasak.”

Marsha menatap Kai yang hanya tersenyum tipis, lalu menyerahkan celemek pada Izara.

“Baiklah. Ayo kita lihat keahlianmu.”

Tanpa canggung, Izara mulai bekerja. Gerakannya luwes, cekatan, dan sangat terlatih. Ia memotong bawang tanpa berkedip, mengatur api dengan tepat, bahkan memberi instruksi kecil pada salah satu pelayan yang keliru menakar garam.

Kai menyandarkan bahunya di dinding dekat pintu, kedua tangan bersedekap, memperhatikan dengan saksama. Ada sesuatu yang tenang dalam caranya memandangi Izara—kekaguman yang diam-diam muncul dari balik tatapan tenangnya.

“Kau sering masak sendiri di rumah?” tanya Kai pelan, cukup keras agar Izara bisa mendengar.

“Sangat sering,” jawab Izara sambil menuangkan kuah ke dalam panci. “Ayah saya… tidak suka makanan buatan orang lain. Jadi saya harus bisa memasak apa saja.”

Kai mengangguk pelan, menyimpan komentar yang seharusnya pedas, tapi memilih diam.

Setelah beberapa saat, dapur itu berubah suasana. Pelayan yang awalnya ragu kini mulai bicara ringan dengan Izara, kagum akan keahliannya. Bahkan Marsha terkekeh saat mencicipi sup yang dibuat Izara.

“Ini lebih enak dari masakan saya sendiri!”

Izara hanya tersenyum, pipinya sedikit memerah.

Kai mendekat, lalu berkata lembut, “Kau membuat dapur ini terasa hidup lagi.”

Izara menoleh, menatapnya. “Terima kasih… sudah izinkan saya masuk ke sini.”

Izara tertawa kecil, walau terdengar getir. “Saya harap tidak.”

Kai tersenyum tipis. “Ya… mungkin belum saatnya.”

Dan di antara panci mendidih dan tawa pelan, sore itu terasa berbeda—seolah luka bisa sedikit dijeda oleh aroma bawang, suara pisau, dan masakan hangat yang perlahan menyatukan mereka.

Kael berdiri di balkon lantai atas, pandangannya jatuh lurus ke halaman belakang yang terhubung langsung ke dapur kaca. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bayangan Izara—tertawa kecil di antara para pelayan, sibuk mengaduk panci dengan gerakan cekatan. Di sampingnya, Kai berdiri terlalu dekat. Terlalu nyaman.

Senyuman itu.

Kael mendengus pelan. Senyuman Izara terasa asing, berbeda dari wajah penuh takut yang selalu ditunjukkannya setiap kali mereka bertemu. Dan itu mengganggunya.

Dia menyipitkan mata, melihat Kai yang mencondongkan tubuhnya, berbicara dengan nada yang hanya mereka berdua mengerti. Kael mengepalkan tangannya di atas pagar besi balkon, buku-bukunya memutih menahan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Marah? Bukan.

Cemburu?

Dia tak tahu. Atau tidak ingin tahu.

Baginya, Izara adalah bayang-bayang dari kesalahan masa lalu. Darah dari pria yang membuat hidupnya hancur, yang membuat Karina—calon istrinya—hilang untuk selamanya. Namun kini, perempuan itu berdiri di dapurnya, tertawa, seperti semua luka itu bukan apa-apa.

Dan Kai... Kai, seperti biasa, bersikap seolah dia bisa menyembuhkan semua orang, seolah dia tahu segalanya.

Kael memalingkan wajah, berjalan menjauh dari balkon dengan rahang mengeras. Ia tidak sanggup melihat lebih lama. Karena yang paling menyesakkan bukanlah kebersamaan mereka, melainkan kenyataan bahwa di lubuk hatinya yang terdalam… Kael tidak tahu apakah ia ingin menghancurkan Izara.

Atau justru, diam-diam… melindunginya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!