Aleena terpaksa harus menolak perjodohan karena dirinya sama sekali tidak menyukai laki-laki pilihan orang tuanya, justru malah tertarik dengan sekretaris Ayahnya.
Berbagai konflik harus dijalaninya karena sama sekali tidak mendapatkan restu dari orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6#Di Klinik
Aleena yang tengah mendapat penanganan dari seorang Dokter, belum juga sadarkan diri. Devan terus mondar-mandir penuh kekhawatiran, dan juga takut kenapa-kenapa.
Saat mendengar suara pintu dibuka, Devan langsung memutarbalikkan badan.
"Gimana keadaannya, Dok?" tanya Devan dengan khawatir.
"Keadaan pasien baik-baik saja, Tuan, silakan kalau ingin masuk," jawab Dokter.
"Terima kasih, Dok," ucap Devan dan segera masuk.
Saat membuka pintu, Devan mengarahkan pandangannya tepat pada Aleena yang juga kebetulan menoleh. Kemudian, Devan mendekatinya.
"Duduk," perintah Aleena kepada Devan.
"Baik, Nona," jawab Devan sambil menarik kursi dan segera duduk.
Plak!
Sebuah tamparan yang cukup kuat, kini tengah mendarat di pipinya Devan. Sakit, terasa panas sudah pasti.
Aleena menatap sendu kepada Devan, bulir-bulir air matanya lolos begitu saja.
"Maafkan saya yang sudah lancang membawa Nona ke klinik, bukan ke-"
Plak!
Lagi-lagi Aleena kembali menamparnya hingga membekas merah di pipinya Devan.
"Aleena, kamu tidak apa-apa, Nak? mana yang sakit, mana?"
Aleena menggelengkan kepalanya, bukannya menjawab, Aleena fokus pada Devan. Karena tidak ingin masalah bertambah, akhirnya Devan segera berpindah posisi, dan berdiri didekatnya Tuan Arvian.
Nyonya Meli yang begitu khawatir dengan kondisi putrinya, langsung memeluknya erat.
"Kamu ada masalah apa, Nak? kenapa kamu sampai pingsan?"
"Aw! aaaw! dada Papa sakit banget, Aleena, Papa,"
"Tuan,"
"Pap-Papa,"
"Pa, Papa,"
Saat itu juga, Tuan Arvian jatuh pingsan. Devan langsung meminta pertolongan agar Tuan Arvian langsung mendapat pertolongan.
"Papa kenapa, Ma? Papa-"
Nyonya Meli berusaha menenangkan putrinya, karena memang dari awal sudah mengetahui kondisi suaminya yang sakit-sakitan, dan sering kambuh.
"Ma, Papa kenapa pingsan? Papa baik-baik saja 'kan, Ma?"
"Kamu itu ya, bisanya cuma merepotkan saja. Sudah tau Papa kamu itu sakit-sakitan, seharusnya kamu tuh gak usah banyak drama." Timpal Veriando selaku suami sahnya Aleena yang merasa kesal atas kejadian dihari pernikahannya.
Aleena cuma bisa menangis sesenggukan ketika mendapati ayahnya yang jatuh pingsan.
"Nak Veri, tolong jagain Aleena ya, Mama mau lihat kondisi Papa, tolong gantiin Mama sebentar."
Veriando tidak menjawab sama sekali, hanya saja ia kini duduk disebelah istrinya.
"Ma, katanya Papa baru aja dibawa ke rumah sakit sama Devan, Aleena gimana keadaannya, Ma?"
"Aleena baik-baik saja, Veriando sudah datang. Sekarang anterin Mama ke rumah sakit, Mama khawatir sama kondisi Papa, soalnya semalam Papa kamu mengeluh sakit, ayo buruan, ayo, Nak,"
"I-iya, Ma, tapi beneran 'kan, Aleena gak kenapa-kenapa?"
"Udah gak apa-apa, mungkin adik kamu belum bisa menerima pernikahannya, udah ayo kita ke rumah sakit."
"Ayo, Ma,"
Setelah itu, Bernio bersama ibunya segera ke rumah sakit. Sedangkan Aleena yang tengah kepikiran keadaan ayahnya, pun tidak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri karena telah gagal menjaga kesehatan orang tuanya.
"Ini makan lah, biar kamu tidak menjadi beban untuk keluargamu."
"Aku tidak lapar, juga tidak butuh perhatian darimu."
"Siapa juga yang mau kasih perhatian ke kamu. Kalau bukan karena sebuah transaksi, aku gak sudi menikah dengan perempuan seperti mu."
"Ya sudah, ceraikan aja aku, beres, 'kan?"
"Menceraikan kamu, katamu? kamu pikir setelah aku mendapatkan kerugian, aku tidak mau mendapatkan keuntungan dari keluargamu, gitu? sayang sekali kalau cuma menceraikan mu, sedangkan aku tidak mendapatkan imbal balik dari keluargamu."
Aleena yang hendak memukul pakai bantal, rupanya Veriando menoleh padanya.
Seringainya yang terlihat begitu sinis, Veriando segera bangkit dari posisi duduknya, dan mondar mandir didalam ruangan. Karena merasa membosankan di ruang rawat pasien, akhirnya langsung menemui Dokter untuk membawa istrinya pulang ke rumah. Dengan berbagai alasan, akhirnya Aleena diizinkan pulang.
Sedangkan ditempat lain, tepatnya di rumah sakit yang dimana Tuan Arvian tengah mendapatkan penanganan dari Dokter karena mengalami kondisi yang benar-benar sangat drop, Bernio dan Nyonya Meli begitu khawatir akan keselamatan Tuan Arvian.
"Permisi, Nyonya, Tuan Arvian memanggil Nyonya, juga putranya, juga orang kepercayaannya untuk dimintai masuk kedalam, mari silakan,"
Mendengar ucapan dari Dokter, Nyonya Meli langsung masuk kedalam, dan disusul Bernio juga Devan. Didalam ruangan tersebut terasa sangat mencekam, dan benar-benar sunyi suasananya.
"Papa,"
"Tuan,"
Tuan Arvian begitu berat untuk menarik napasnya sambil memandangi putranya, juga istrinya, dan ke arah Devan.
"Papa pesan sama kalian, jaga Aleena, maafin Papa yang egois ini. Bernio, Papa serahkan tanggung jawab Papa sama kamu, juga adik perempuan mu, juga Mama, Papa serahkan sama kamu," ucap Tuan Arvian sambil menahan sesak di bagian dadanya saat hendak bernapas.
"Pa, jangan bicara seperti itu, Pa, Papa pasti sembuh, Papa pasti baik-baik saja," ucap Bernio sambil menangis sesenggukan ketika mendapati ayahnya berbaring lemas dan terlihat pucat.
"Pa, jangan bicara seperti itu dihadapannya Mama, Papa pasti sembuh, Papa jangan bicara yang enggak enggak," timpal Nyonya Meli yang tidak ingin suaminya kenapa-kenapa.
Tuan Arvian berusaha tersenyum di hadapan putranya maupun istrinya. Kemudian, arah pandangannya tertuju pada Devan.
"Devan, kemarilah, Nak, sini,"
Devan yang tengah dipanggil oleh Tuan Arvian, ia maju mendekat.
"Saya titipkan putriku sama kamu untuk diawasi ketika tinggal di rumah suaminya, pastikan kalau Aleena baik-baik saja. Mulai sekarang kamu tidak perlu menjadi orangku, tapi menjadi orangnya Bernio. Kamu sudah menjadi orang kepercayaan keluarga Hamuangka."
"Baik, Tuan, saya akan bekerja keras untuk memenuhi permintaan dari Tuan, semoga saya tidak mengecewakan keluarga Hamuangka."
Perlahan, Tuan Arvian memejamkan kedua matanya setelah tidak ada beban lagi yang menjadi beban pikirannya. Bernio, Nyonya Meli, juga Devan, pun dibuatnya bengong saat melihat dengan jelas kalau Tuan Arvian perlahan memejamkan kedua matanya, dan kedua tangannya membuka tak ada kekuatan lagi.
"Paaaaaaaa!" teriak Bernio juga Nyonya Meli sambil mengguncangkan tubuhnya.
Devan langsung memeriksa denyut nadinya, dan menekannya.
"Tuan telah berpulang,"
"Apa? tidak! tidak mungkin, Papa masih hidup, Papa! Pa, bangun, Pa, bangun,"
Nyonya Meli yang mendengar perkataan dari Devan pun serasa tidak percaya.
"Tidak, tidak mungkin, Papa jangan tinggalin Mama, Pa, Papa!"
Tangis pun pecah di dalam ruangan. Kemudian, Dokter dan asisten lainnya segera masuk kedalam dan menerima keadaan Tuan Arvian.
"Tuan telah meninggal dunia, dan tidak dapat tertolong," ucap Dokter.
Nyonya Meli dan Bernio begitu shock ketika mendengar ucapn dari Dokter yang menyatakan kalau Tuan Arvian telah meninggal dunia.
"Papaaaa!"