Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andreas Yang Menyedihkan
Fajar telah menyapa bumi dengan sinar lembut yang mengintip malu-malu dari balik tirai awan kelabu. Namun di mansion Andreas, pagi tetap terasa seperti lanjutan dari malam—sunyi, dingin, dan penuh bayang-bayang kelam. Suara burung pun enggan singgah di pepohonan kering di pekarangan luas itu. Hanya desir angin yang sesekali melintas, menyapu dedaunan kering yang berserakan seperti bekas kenangan yang tak ingin dikenang.
Andreas berdiri di depan cermin, merapikan dasi hitamnya dengan jemari yang tenang. Setelan jas abu-abu gelap melekat sempurna pada tubuhnya yang tegap. Di wajah tampannya, tidak terlihat ekspresi apa pun selain ketenangan dingin yang hampir menyerupai ketidakpedulian. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi sebelum akhirnya meraih jas panjang dan kunci mobil dari atas meja.
Para mafia sepertinya memang memiliki dua bisnis yang berbeda, yang pertama Andreas memiliki perusahaan legal berupa bisnis yang berjalan di bidang baja dan besi yang tercatat resmi di badan pemerintahan. Sementara yang satunya bisnis ilegal yang bergerak di bidang jual beli persenjataan haram yang paling menguntungkan dibanding bisnisnya yang lain.
Namun sebelum meninggalkan rumah menuju perusahaannya, ia melangkah ke arah lorong belakang. Pikirannya tidak bisa melepaskan satu bayangan yang sempat mengganggunya sejak semalam—Mistiza. Bukan karena rasa iba, bukan pula karena khawatir. Justru sebaliknya. Ia penasaran sejauh mana gadis itu mampu bertahan. Dan dalam diam, ia ingin melihat apakah api yang menyala di mata wanita itu telah padam sepenuhnya atau masih menyala—meski hanya seperti bara yang tersisa di tengah dinginnya abu.
Langkahnya terdengar mantap, berdentum ringan di lantai kayu tua yang lapuk. Ketika ia tiba di depan pintu gudang, ia berhenti sejenak, memandangi besi tua yang mengunci salah satu rahasia dari mansion itu. Ia mengeluarkan kunci dari sakunya, memasukkannya ke dalam lubang gembok, lalu memutar dengan satu gerakan ringan. "Klik"—suara kecil namun tajam itu menandai dibukanya kembali tirai penderitaan yang tertutup semalaman.
Dengan dorongan pelan, pintu besi bergeser dan memperdengarkan erangan berkarat yang seperti keluhan dari masa lalu. Andreas melangkah masuk, menambah aura menyeramkan di dalam sana.
Mistiza tergeletak di lantai dingin, tubuhnya melingkar dalam posisi yang tak nyaman. Rambut panjangnya berserakan seperti tirai gelap yang menutupi sebagian wajahnya. Gaun pengantin putih itu kini semakin lusuh, bernoda tanah dan bekas darah yang mengering. Di dekatnya, mangkuk bubur yang kemarin disajikan masih utuh, isinya berubah warna, memucat dan mulai berjamur di beberapa titik. Botol air pun belum tersentuh, seolah gadis itu benar-benar menolak hidup.
Andreas mendekat perlahan, suara langkah sepatunya menggema di ruangan kosong. Ketika ia berhenti hanya beberapa langkah dari tubuh Mistiza, mata wanita itu terbuka perlahan, merespons suara. Namun tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Nafasnya terdengar lemah, nyaris tak terdeteksi, dan tubuhnya tampak bergetar pelan akibat suhu yang menusuk.
Andreas menatap wajah itu tanpa perubahan ekspresi. Bola matanya lalu melirik ke arah mangkuk bubur yang masih utuh. Ia mendengus pelan.
"Jadi, kau lebih memilih mati daripada makan sesuatu yang kuberikan?" tanyanya dingin, nadanya mengandung ejekan yang tajam.
Ia berjongkok, menyamakan tinggi matanya dengan Mistiza yang terbaring lemah. Senyum miring muncul di wajahnya—bukan karena rasa kasihan, melainkan karena rasa puas yang aneh melihat penderitaan orang lain. Seolah kegigihan Mistiza untuk tidak menyerah justru semakin membangkitkan sisi gelap dalam dirinya.
"Aku harus mengaku," katanya sambil menyentuh mangkuk itu dengan ujung jarinya. "Aku tidak menyangka kau akan sekeras kepala ini. Tapi sejujurnya… ini menghiburku."
Mistiza tidak menjawab. Hanya bola matanya yang menatap kosong ke arah langit-langit yang kusam. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk memberontak. Bahkan, untuk bernapas pun, rasanya seperti tugas berat yang menguras seluruh tenaga terakhirnya.
Andreas mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Tatapannya semakin tajam, seperti pisau yang perlahan menusuk ke dalam batin orang lain. "Apa kau tahu…," ujarnya lirih, "aku sangat ingin tahu bagaimana wajah Ryan ketika melihatmu dalam kondisi seperti ini."
Nama itu—Ryan—masih mampu menggetarkan hati Mistiza, meskipun hanya dalam sekejap. Ia menutup matanya pelan, seolah ingin menghapus bayangan lelaki yang selama ini menjadi tempatnya berpulang. Andreas melihat reaksi itu dan tertawa kecil.
"Ah, jadi kau masih menyimpan harapan," katanya sinis. "Masih membayangkan pangeran kecilmu akan datang menyelamatkanmu seperti dalam dongeng-dongeng murahan?"
Lalu, nada suaranya berubah menjadi dingin dan kasar. "Kau terlalu tinggi hati untuk sekadar makan. Terlalu angkuh untuk menerima kenyataan. Tapi… ingat ini, Mistiza—dalam tempat ini, di rumah ini, akulah Tuhan-mu."
Mata Mistiza terbuka kembali, kali ini menatap langsung ke arah pria itu. Walau tubuhnya lunglai, ada kilatan dalam matanya—tipis, lemah, namun nyata. Ia membuka bibirnya perlahan, dan dari sana keluar suara serak, nyaris tak terdengar.
"Aku… lebih baik matii… daripada hidup… seperti ini."
Kata-kata itu membuat Andreas terdiam sesaat. Bukan karena terkejut, tapi karena hatinya yang gelap merasa tertantang. Ia menatap wanita itu dengan tatapan dingin, lalu tiba-tiba tangannya terulur, meraih rambut Mistiza dan menjambaknya dengan keras.
Mistiza meringis, tubuhnya sedikit terangkat oleh tarikan itu. Ia tidak menangis, tidak menjerit—hanya desisan pelan yang keluar dari bibirnya karena beberapa helai rambutnya tercabut. Sakitnya nyata, namun jauh di bawah rasa lelah dan luka yang telah tertanam selama dua hari terakhir.
Andreas memandangi wajah Mistiza yang kini sedikit terangkat karena jambakannya. Matanya menyipit, geram, seolah tersinggung oleh keteguhan hati seorang wanita yang bahkan sudah di ambang kematian.
"Jangan kau bicara soal mati seolah itu kemenangan," gumamnya tajam. "Kematian adalah kemewahan. Dan aku belum mengizinkanmu menikmatinya."
Ia melepaskan jambakannya dengan kasar, membuat kepala Mistiza terhempas pelan ke lantai. Gadis itu tidak bergerak, hanya bernapas pelan, matanya masih menatap ke arah Andreas seakan ingin mengutuknya dalam diam.
Andreas berdiri. Ia merapikan dasinya yang sedikit bergeser, lalu memandang ruangan itu satu kali lagi sebelum berbalik.
"Kalau kau masih hidup saat aku pulang nanti… mungkin aku akan menghiburmu dengan cerita tentang bagaimana perusahaan Wilton terjun bebas," katanya dengan nada ringan, seperti membahas cuaca. "Tapi kalau kau mati… yah, kurasa itu hanya akhir yang membosankan."
Saat Andreas hendak berbalik untuk keluar tiba-tiba saja Mistiza kembali bersuara, yang mana berhasil membuat Andreas terhenti saat itu juga.
"Kau tidak akan menang jika membalas dengan kejahatan.... Kau.... Kau akan selalu terlihat menyedihkan jika bergelut dengan yang namanya kekejaman... Karena tidak akan ada yang bisa mencintaimu dan senang melihatmu bahagia, makanya kau mencari kebahagiaan mu dengan membuat orang menderita"
Seketika Andreas kembali menarik rambut Mistiza sampai wanita itu dalam keadaan setengah berdiri.
"Kau bilang aku menyedihkan?? Kau berani mengatai ku seperti itu??"
Namun Mistiza hanya mengeranng karena rasa sakit yang dia dapatkan kembali.
"Biarku perlihatkan siapa yang menyedihkan disini! Kau atau aku"
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu