kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Lidah yang Tidak Bisa Dibohongi
Pagi baru saja menjamah Desa Tirnawati. Embun belum habis dari ujung rumput, tapi berita tentang “anak-anak ronda” yang semalam ketahuan masuk rumah Nenek Sanem bersama si Ratna sudah menyebar ke warung kopi, pos ronda, bahkan sampai ke masjid kecil dekat balai desa.
“Lha, katanya si Udin kabur lewat jendela sambil nangis-nangis, terus pulang ke rumah Pak RW tanpa celana?” tanya salah satu warga di warung sambil cekikikan.
“Bukan cuma itu, si Pedot katanya pingsan dua jam. Bangunnya sambil meluk tiang listrik!” timpal yang lain.
Namun di balik gelak tawa itu, ketegangan tersembunyi. Rumah tua di pinggiran kebun itu kembali menjadi pusat bisik-bisik. Dan pagi itu juga, dua tokoh yang jarang terlihat dalam satu tempat, berdiri di pelataran rumah Bu Sarti—menunggu kedatangan Ratna.
Yang satu mengenakan baju koko putih dan sarung abu-abu, janggutnya tipis, suaranya tenang namun tegas. Pak Lutfi. Ustaz dan pengajar mengaji, sosok yang disegani namun ramah.
Yang satu lagi, mengenakan kain lurik tua, rambutnya kusut, gigi tinggal empat, matanya sipit tajam penuh rahasia. Ia membawa tongkat dari akar pohon jati. Mbah Tejo. Dukun kampung, teman arwah dan peminum kopi pahit tanpa gula.
“Assalamu’alaikum,” ucap Pak Lutfi saat Ratna membuka pintu.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Ratna kaget, menunduk sopan. “Maaf, saya… belum sempat pamit atau lapor.”
Pak Lutfi menatapnya lekat, matanya menyiratkan kekhawatiran. “Kami dengar semalam kamu dan dua pemuda ronda masuk ke rumah Nenek Sanem. Apa yang kalian temukan, Nak Ratna?”
Sebelum Ratna menjawab, Mbah Tejo bersuara, suaranya parau.
“Kalian telah menyentuh segel yang seharusnya tetap dikunci. Lidah itu bukan sekadar potongan daging. Itu jimat—penyegel suara roh yang tak boleh bicara lagi.”
Ratna menelan ludah. “Saya… saya nggak tahu kalau itu akan membangunkan sesuatu. Tapi saya harus mencari tahu. Semua ini ada kaitannya dengan ibu saya.”
Pak Lutfi menoleh cepat. “Ibumu? Sanem adalah—”
“Bukan,” potong Ratna. “Sanem bukan ibuku. Tapi dia pernah mengasuh ibuku. Mereka sangat dekat. Ibu saya mengidap kelainan... sejak kecil dia sering bicara dalam bahasa aneh. Dokter menyebutnya halusinasi. Tapi semua itu mulai setelah dia datang ke desa ini waktu kecil.”
Pak Lutfi menghela napas panjang. “Mungkin ini waktunya kami ceritakan padamu... tentang malam itu.”
Ratna menatap mereka, serius. “Saya mohon, ceritakan semuanya.”
Mereka duduk di ruang tamu Bu Sarti. Pedot duduk dengan kaki naik ke kursi, masih trauma. Udin, lengkap dengan jaket tebal dan dua sajadah, duduk sambil memegangi cangkir teh yang gemetar.
“Kalau ada suara-suara aneh, kasih tahu gue duluan ya. Gue tuh medium sensitif,” bisik Udin ke Pedot.
“Lu medium penakut, iya!” balas Pedot pelan.
Mbah Tejo melirik mereka sekilas. “Dua bocah ini emang kaya lele nyangkut di ember. Nggak guna, tapi bikin rame.”
Udin membalas lirih, “Lele bisa nyetrum lho, Mbah…”
Pak Lutfi mulai bicara dengan suara tenang. “Dulu, sebelum desa ini terbentuk seperti sekarang, wilayah di sekitar kebun itu adalah tempat orang buangan. Para penderita penyakit, orang-orang dengan kelainan mental, bahkan para dukun yang dianggap sesat.”
Mbah Tejo menyambung, “Nenek Sanem tinggal di sana sejak muda. Ia tidak bisu sejak lahir. Tapi memilih diam setelah satu kejadian di waktu muda.”
Pak Lutfi mengangguk. “Konon, ia melihat sesuatu. Sesuatu yang membuatnya kehilangan keinginan untuk bicara.”
“Mereka bilang ia melihat lelakon,” Mbah Tejo menambahkan. “Penglihatan tentang apa yang akan terjadi. Tapi ia menolak bicara, bahkan untuk memperingatkan. Maka dia dihukum… oleh para leluhur.”
“Hukuman apa?” tanya Ratna.
“Lidahnya diambil secara spiritual. Hanya segel yang bisa menahan suaranya agar tak muncul lewat orang lain,” jelas Mbah Tejo.
“Lalu… lidah itu… yang saya temukan…”
“Adalah segel terakhir. Ketika kau buka... maka ia bebas bicara. Tapi bukan lewat suaranya sendiri. Melainkan melalui mulut manusia yang terpilih.”
Semua hening. Kecuali Udin, yang mulai menggigil.
“Lu... lu pikir... yang dimaksud itu gue?” bisiknya panik ke Pedot.
“Kalau iya, gue dukung lu Din. Jangan sampai kesurupan sendirian!”
Ratna menatap kedua tokoh itu serius. “Lalu... apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Pak Lutfi menatapnya dalam. “Tutup segelnya kembali. Tapi untuk itu, kamu harus tahu seluruh kisahnya. Dan mungkin… kamu harus menghadapi arwah Sanem.”
Mbah Tejo berdiri. “Tapi jangan lakukan itu tanpa pendamping. Malam ini, kita ke rumah itu. Bawa aku. Bawa Pak Lutfi. Dan anak-anak ronda ini, kalau mereka nggak kabur duluan.”
“Duh!” Udin langsung limbung. “Kenapa harus kita sih? Kan bisa yang lain!”
“Karena kalian sudah melihat. Sudah mendengar. Sudah disentuh oleh roh itu,” ucap Mbah Tejo datar.
Pedot mengangkat tangan, “Saya ikut kalau Udin ikut!”
Udin menoleh, wajahnya panik. “Kenapa harus gue duluan?!”
Malam hari. Angin tak lagi hangat. Rumah Nenek Sanem tampak lebih kelam dari biasanya. Pohon pisang di halaman belakang bergoyang pelan, daunnya bersentuhan seperti bisik-bisik.
Mereka berdelapan: Ratna, Pak Lutfi, Mbah Tejo, Udin, Pedot, Bu Sarti, dan dua warga desa lainnya membawa lampu petromaks. Mereka berdiri di halaman, menatap rumah seperti menatap makam yang belum digali.
“Begitu kita masuk, jangan bicara sembarangan,” perintah Pak Lutfi.
“Jangan sebut nama ‘Sanem’ terlalu sering,” tambah Mbah Tejo. “Dan jangan pernah bertanya ‘siapa di sana?’ Itu undangan bagi roh untuk menampakkan diri.”
Udin menelan ludah. “Gue udah nyesel hidup…”
“Lu baru nyesel sekarang? Gue udah dari kemarin,” timpal Pedot.
Mereka masuk. Langkah pertama serasa menembus kabut dingin tak kasat mata. Ruangan tak berubah, tapi terasa... lain. Udara lebih tebal. Cahaya petromaks menari di dinding seperti bayangan api neraka.
Ratna memimpin ke kamar belakang. Tempat cermin itu pecah.
“Di sini... semua dimulai,” bisiknya.
Pak Lutfi membacakan doa-doa pelindung. Mbah Tejo menggambar simbol di lantai dari bunga kenanga dan darah ayam hitam. Udin dan Pedot berdiri kaku memegang lilin, tangan gemetar.
Tiba-tiba, lampu petromaks berkedip.
Dari dalam dinding, suara ketukan terdengar lagi.
Tok... tok... tok...
Disusul bisikan samar.
“…Dia belum selesai…”
Pak Lutfi terus membaca doa dengan suara yang makin keras. Mbah Tejo mulai membakar dupa dan daun kemenyan.
Ratna menatap dinding, lalu bergumam:
“Ibu… kalau kau di sana… bantu aku mengerti…”
Dinding tiba-tiba memucat. Sebuah bayangan muncul perlahan—siluet perempuan berambut panjang dengan mulut robek... lidahnya menghilang… darah menetes dari rahangnya.
Udin jatuh terduduk.
Pedot langsung berkata, “Gue… gue mendadak pengin masuk pesantren!”
Mbah Tejo menatap roh itu. “Katakan kebenaranmu, tapi jangan masuk ke dalam kami!”
Roh itu menunjuk Ratna… lalu ke lantai. Tepat di bawah tempat mereka berdiri.
Pak Lutfi terdiam sejenak. “Di bawah sini... ada sesuatu.”
Mereka menggali—dan menemukan sebuah kotak kayu besar… penuh ukiran, serupa dengan kotak lidah… namun lebih besar.
Dan di atasnya tertulis dalam aksara kuno:
"Satu mulut untuk seribu lidah yang tak sempat bicara."