NovelToon NovelToon
AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Spiritual / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.

Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah yang Kehilangan Dindingnya

Sore itu, rumah keluarga besar Azam di Gresik dipenuhi keheningan. Sang Abi, duduk di kursi kayu tua di teras, menatap langit yang mulai menggelap. Ketika Azam datang dari arah halaman, membawa raut lelah, Abi tidak menyambutnya seperti biasa.

Azam menyapa pelan, “Abi…”

“Duduk,” jawab Abi, datar. “Kita perlu bicara.”

Azam duduk, merapikan posisi. Suasana canggung membungkus mereka.

“Aku baru saja dikunjungi Pak Kiai dari pondok Al-Furqan,” ucap Abi pelan. “Kau tahu apa yang beliau ceritakan?”

Azam diam.

Abi melanjutkan, “Tentang seorang wanita muda… yang datang ke sana dengan mata bengkak, langkah ragu, dan dosa yang ingin ditinggalkan. Dia ingin berubah, Azam. Tapi dia datang karena terbuang. Oleh siapa?”

Azam menunduk, rahangnya mengeras. “Abi, saya—”

“Kau menghukumnya dengan dingin. Bukan dengan bimbingan. Kau biarkan dia merangkak sendirian, sementara kau menuntutnya menjadi suci seperti lembaran putih. Azam... sejak kapan kau menjadi hakim? Sejak kapan kau berhak merasa lebih mulia dari orang lain hanya karena dosamu tak terlihat?”

Suara Abi mulai bergetar. “Kau tahu apa amanah sahabat Abi sebelum meninggal? Titipkan anak gadisku pada orang yang bisa melindungi imannya, bukan menghakimi masa lalunya. Dan saat itu, aku percaya… orang itu adalah kamu.”

Azam terdiam. Kata-kata Abi seperti cambuk yang menghantam dadanya.

Abi menatap Azam tajam. “Kau lelaki cerdas, Azam. Tapi jangan biarkan logikamu membunuh hatimu. Jangan sampai kesempurnaanmu yang semu menutup matamu dari kasih sayang yang sejati.”

Lalu dengan suara pelan namun menghunjam, Abi berkata,

“Kalau semua orang yang pernah jatuh harus dijauhi, lalu apa gunanya Islam diturunkan sebagai rahmat?”

Azam menutup wajahnya dengan tangan. Dada sesak. Tak ada pembelaan. Hanya penyesalan yang menumpuk.

Abi bangkit dari duduknya, menepuk bahu Azam.

“Kau belum terlambat, Nak. Tapi jangan tunggu sampai dia benar-benar merasa tidak layak lagi untuk dicintai olehmu.”

Abi masuk ke dalam, meninggalkan Azam sendirian di teras—di bawah langit yang mulai menggelap, seperti jiwanya yang mendadak terasa kosong.

Azam berdiri mematung di depan gerbang pondok pesantren Al-Furqan. Angin sore membawa bau tanah basah dan daun kering. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat ini—tempat yang selama ini hanya ia dengar dari mulut orang lain. Tempat yang menjadi saksi diam perjalanan Nayla mencari Tuhannya.

Seorang santri putri yang ditugasi bagian tamu memandunya ke ruang tamu pondok. Tak lama kemudian, datang seorang ibu paruh baya dengan senyum lembut, berjilbab lebar dan berwibawa.

“Ustazah Salma?” tanya Azam dengan nada penuh harap.

“Saya sendiri. Antum suami dari Ukhti Nayla, bukan?” tanya Ustazah, meski wajah Azam jelas menunjukkan jawabannya.

Azam mengangguk. “Saya… saya ingin menjemputnya pulang.”

Ustazah Salma menatap Azam dalam diam. Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya berkata, “Maaf, Ustaz Azam… Nayla sudah tidak di sini.”

Dunia seperti berhenti sesaat.

“Sudah sebulan lebih, ia pamit baik-baik. Tanpa konflik. Tapi juga tanpa banyak cerita. Kami juga tak tahu ke mana ia pergi.”

Azam mencengkeram jemarinya sendiri. “Tidak meninggalkan alamat? Kontak? Siapa pun yang tahu keberadaannya?”

Ustazah menggeleng perlahan. “Dia bilang… ingin benar-benar memulai dari awal. Meninggalkan masa lalu, termasuk masa pernikahannya yang belum selesai.”

Azam menunduk. Ada rasa sesak yang tak bisa dijelaskan. Rasa kehilangan yang nyata. Ia datang membawa harapan untuk memperbaiki segalanya, tapi Nayla sudah jauh berjalan di depan… mungkin sudah tak ingin lagi menoleh ke belakang.

Ustazah memandangnya dengan penuh iba. “Nayla bukan pergi karena benci. Tapi karena ia merasa tak pantas terus berharap pada seseorang yang membencinya diam-diam.”

Kata-kata itu menusuk.

Azam terdiam cukup lama sebelum akhirnya bertanya dengan suara lirih, “Apa dia… baik-baik saja?”

Ustazah Salma tersenyum tipis. “Lebih dari itu. Dia tumbuh.”

Azam menunduk lebih dalam. Tak sanggup menjawab apa pun.

Hari itu, Azam kembali ke mobilnya dengan dada sesak dan pikiran kosong. Ia menatap setir, lalu menutup matanya.

Dalam hening, ia hanya mampu berdoa dalam hati,

Ya Allah… jika dia memang bukan takdirku, jangan cabut namanya dari doa-doaku…

Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak Nayla pergi, air mata Azam jatuh begitu saja.

Sejak kunjungannya ke pondok Al-Furqan, hidup Azam tak lagi sama.

Hari-hari berlalu seperti biasa di luar—mengajar, mengisi seminar, menyusun jurnal penelitian—namun di dalam dirinya, ada pergolakan yang tak kunjung usai. Ia semakin banyak diam, semakin sering merenung. Sesekali ia membuka mushaf di ruang kerja rumahnya, memandangi huruf-huruf Al-Qur'an dengan hati yang mulai bergetar.

Setiap malam, ia duduk di ruang makan yang dulu sering ditemani Nayla. Ada bayangan samar yang tak bisa hilang: seorang perempuan yang dulu bangun pagi menyiapkan sarapan, yang diam-diam menangis saat ia acuhkan, yang meski dihukum dengan dingin tetap menjalankan kewajiban tanpa keluhan.

Azam teringat surat yang ditinggalkan Nayla. Surat itu sudah entah berapa kali ia baca. Tapi bagian ini selalu membuat dadanya terasa ditusuk:

“Aku pergi bukan karena menyerah, Azam. Tapi karena aku tahu… seseorang yang ingin dicintai juga berhak dicintai dengan utuh. Dan jika aku belum mampu membuatmu memandangku sebagai istrimu, setidaknya aku bisa berjuang menjadi hamba-Nya yang lebih baik.”

Azam pernah berpikir bahwa menjadi suami baik adalah soal memberi nafkah, menjaga rumah tangga, dan menjadi imam dalam salat. Tapi ia lupa satu hal: menjadi suami juga berarti menjadi rumah—tempat pulang yang nyaman. Bukan pengadil yang menuntut tanpa memberi ruang untuk bertumbuh.

Suatu malam, Azam duduk di hadapan Abi. Kali ini tanpa bicara. Ia hanya menyodorkan satu benda: mushaf yang dulu sering dibacakan Nayla.

Abi mengangguk perlahan. “Sudah mulai bisa berdamai dengan luka sendiri?”

Azam menatap kosong. “Aku kira aku lelaki bijak, Abi. Tapi ternyata aku hanya laki-laki yang belum sembuh dari standar kesempurnaan.”

Abi tersenyum tipis. “Sembuh itu bukan soal waktu, Azam. Tapi soal keberanian mengakui bahwa kita pun tak sempurna. Dan saat kita menyadari itu, kita akan lebih mudah memeluk orang lain dengan utuh.”

Azam menunduk. “Tapi Nayla sudah pergi…”

“Kalau dia ditakdirkan untukmu, Allah akan membawanya pulang. Tapi sebelum itu, pastikan kau jadi lelaki yang bisa mencintai tanpa syarat—dengan lapang, bukan dengan luka.”

Azam mengangguk, pelan… seolah hatinya mulai terbuka.

Malam itu, ia menyalakan lampu kamar yang dulu ditempati Nayla. Ia duduk di pinggir ranjang, membuka mushaf dan mulai membaca… pelan, terbata, tapi dari lubuk hati.

Bismillahirrahmanirrahim…

Dan di sela-sela ayat itu, ia mengingat suara lembut Nayla saat melafalkan huruf demi huruf. Suara yang dulu ia kagumi… tapi tak sempat ia syukuri.

Azam tak lagi mencari Nayla karena rasa bersalah. Tapi karena ia mulai merindukan kehadiran seseorang… yang mampu membuatnya merasa lengkap sebagai manusia.

Bukan karena Nayla sempurna. Tapi karena bersamanya, Azam belajar menjadi hamba yang lebih jujur di hadapan Allah.

1
Julicsjuni Juni
buat Nayla hamil thorr...buat teman hidupnya.. kasian dia
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan
Julicsjuni Juni
hati ku,ikhlas ku belum bisa seperti Nayla... astaghfirullah
Iis Megawati
maaf mungkin ada cerita yg kelewat,merekakan dah berpisah berbulan" ga ada nafkah lahir batin dong,dan bukankah itu sudah trmasuk talak 1,yg dmn mereka hrs rujuk/ nikah ulang maaf klo salah/Pray/
Zizi Pedi: Tidak, secara otomatis tidak terhitung cerai dalam hukum Islam hanya karena suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, karena istri yg pergi dari rumah. Perkawinan tetap berlaku hingga ada putusan cerai dari Pengadilan Agama atau jika suami secara sah menceraikan istrinya. Namun, suami yang melalaikan kewajibannya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi dalam kasus Azam dan Nayla berbeda, mereka saling mencintai dan tak ada niat untuk bercerai jadi mereka masih sah sebagai suami istri. Dan talak itu yg punya laki2. untuk pertanyaan kk tentang talak 1. Mereka bahkan tidak terhitung talak kk, karena Azan g pernah mengucapkan kata talak. dan untuk rujuk talak 1 Setelah jatuh talak satu, suami dan istri masih bisa rujuk kembali tanpa harus akad ulang selama istri masih dalam masa iddah. Talak satu disebut talak raj'i, yang berarti suami masih berhak merujuk istrinya selama masa iddah. Jika masa iddah telah habis, maka untuk kembali bersama, mereka harus melakukan akad nikah ulang. TAPI SEBAGAI CATATAN (Azam tidak pernah mengucap talak untuk Nayla, jadi mereka masih sah suami istri meski tanpa menikah ulang.)
total 1 replies
R I R I F A
good... semangat up date ny
Zizi Pedi: terima kasih Kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!