Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Rudi kembali duduk setelah mengambil minuman. Tatapannya tajam, namun penuh keraguan.
"Ayah hanya ingin tahu satu hal, Kaila. Apa kamu benar-benar yakin akan menjalani ini?"
Kaila menatap map cokelat di pangkuannya, lalu kembali menatap ayahnya. "Aku tidak yakin, Ayah. Tapi aku juga tidak punya banyak pilihan."
Rudi menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Itu bukan jawaban yang ingin Ayah dengar. Hidupmu tidak boleh bergantung pada pilihan yang setengah-setengah."
"Aku sudah mencoba segala cara. Kerja sambilan, tahan lapar, bertahan dari ejekan. Tapi tetap saja, kita tidak ke mana-mana."
"Ayah tahu itu. Tapi menikah hanya karena keadaan, itu keputusan besar, Kaila."
Kaila menggigit bibirnya. "Aku tahu. Tapi ini bukan tentang menyerah. Aku hanya tidak ingin terus merasa dikendalikan oleh hidup."
Rudi memandang putrinya lama. "Kalau begitu, kamu harus pastikan satu hal."
"Apa itu?"
"Jangan biarkan dirimu kehilangan harga diri. Apapun yang terjadi nanti, jangan sampai kamu menyesal karena merasa menjual diri sendiri."
Kaila menarik napas panjang. "Aku tidak menjual diriku, Ayah. Aku membuat keputusan. Dan aku ingin Ayah mendukungku."
Hening sejenak. Rudi menatap Kaila dengan sorot mata yang berubah lebih lembut, namun tetap tegas.
"Baik. Kalau itu keputusanmu, Ayah tidak akan menghalangi. Tapi Ayah minta satu hal."
"Apa?"
"Kalau dia menyakitimu, kamu harus berjanji akan meninggalkannya. Jangan tahan apa pun hanya karena sudah terlanjur masuk terlalu dalam."
Kaila mengangguk pelan. "Aku janji."
Rudi berdiri, menghampiri Kaila, dan menepuk bahunya. "Kamu anak yang kuat, Kaila. Tapi bahkan orang kuat pun butuh tempat bersandar. Ingat, rumah ini selalu ada untukmu."
Kaila tersenyum tipis. "Terima kasih, Ayah."
Di luar rumah, malam sudah turun sepenuhnya. Lampu-lampu jalan menyala temaram, menciptakan bayangan panjang di dinding. Sementara di dalam rumah itu, seorang ayah dan anak duduk berdampingan, diam dalam pengertian yang tidak butuh banyak kata.
Kaila menyembunyikan masalah yang sebenarnya kepada Rudi,ia tak mau Rudi yang begitu percaya dengan dirinya mengetahui bahwa Kaila telah kehilangan kehormatan nya.
.....
Pagi itu langit tampak cerah, meski hati Kaila justru terasa sebaliknya. Ia berdiri di depan gedung megah bertuliskan Satya Group.
Mengenakan kemeja putih sederhana yang telah ia setrika dengan saksama sejak subuh. Rambutnya dikuncir rapi, dan wajahnya tampak bersih tanpa riasan.
Di tangannya, map cokelat berisi berkas perjanjian pernikahan kontrak terasa berat bukan karena isinya, melainkan karena makna di baliknya.
Kaila menatap gedung itu dengan napas tertahan, mencoba meredakan kegugupan yang menggerogoti hatinya.
Setelah beberapa detik berdiri mematung, ia melangkah masuk ke lobi dengan langkah mantap, meski jantungnya berdetak tak menentu.
"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis ramah di balik meja marmer.
"Saya... saya ingin bertemu dengan Tuan Arya Satya. Saya sudah membuat janji sebelumnya melalui asisten beliau, Nona Laras." ucap Kaila sesuai dengan petunjuk Dion kemarin.
Resepsionis itu mengetik cepat di komputernya, lalu tersenyum sopan. "Benar, Nona Kaila. Silakan tunggu sebentar, saya akan konfirmasi pada pihak atas."
Kaila mengangguk singkat dan berdiri di samping sofa yang terletak tidak jauh dari meja resepsionis. Matanya melirik sekeliling, memperhatikan karyawan yang berlalu-lalang dengan tampilan profesional dan langkah yang pasti. Ia merasa asing, seolah berada di dunia yang bukan miliknya.
Tak lama, seorang wanita berpakaian elegan datang menghampiri. Wajahnya serius namun profesional.
"Nona Kaila, saya Laras, asisten pribadi Tuan Arya. Silakan ikuti saya."
Kaila mengangguk dan berjalan di belakang Laras menuju lift. Tak satu pun dari mereka berbicara selama perjalanan ke lantai tertinggi. Hanya suara dentingan lift yang mengiringi keheningan itu.
Ketika pintu lift terbuka, Kaila disambut oleh interior kantor yang lebih menyerupai ruang rapat para direktur daripada tempat kerja biasa.
Dinding kaca memberikan pemandangan kota yang luas, sementara di tengah ruangan, Arya duduk di balik meja kerjanya yang besar, memeriksa layar laptop dengan serius.
Tanpa menoleh, Arya berkata, “Tinggalkan kami, Laras.”
“tentu saja, Pak.” Laras membungkuk ringan dan segera keluar, meninggalkan mereka berdua dalam kesunyian yang tegang.
Kaila melangkah maju pelan, lalu berdiri di hadapan meja Arya. Ia mengeluarkan map cokelat dari tasnya dan meletakkannya di atas meja.
"Aku sudah membaca semuanya," ucap Kaila pelan.
“Dan aku setuju.”
Arya mengangkat kepalanya, menatapnya dengan pandangan yang sulit diterka. “Kau yakin?”
“Aku tidak akan datang ke sini jika tidak.”
Arya menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada. “Kau bisa saja menuntutku atas kejadian kemarin. Tapi kau memilih jalan ini. Apa alasannya?”
“Karena aku ingin mengendalikan hidupku sendiri,” jawab Kaila tegas. “Kalau aku akan jatuh, setidaknya karena pilihanku sendiri, bukan karena keadaan.”
Arya mengangguk pelan. “Baik. Kalau begitu, kita akan segera mengatur jadwal pernikahan. Akan ada pengacara, dan semuanya dilakukan secara legal.”
“Bagaimana dengan istri Anda?” tanya Kaila tanpa ragu, menatap langsung ke matanya.
Sekilas, mata Arya menyipit. “Itu urusan saya.”
“Bukankah saya akan menjadi bagian dari hidup Anda, meskipun hanya sementara? Saya rasa saya berhak tahu batas peran saya.”
Arya berdiri perlahan, menatapnya dari balik meja. “Kau tidak akan mencampuri urusan rumah tangga saya. Tapi kau akan memerankan istri saya dengan sempurna di hadapan publik, jika saatnya tiba.”
Kaila menatapnya tajam. “Saya bukan boneka.”
Arya tersenyum tipis, dingin. “Dan saya bukan pria yang terbiasa bernegosiasi. Jadi pastikan Anda siap.”
Kaila menghela napas pelan, lalu mengambil map yang belum ia tanda tangani. “Saya akan mengembalikannya besok. Setelah saya tanda tangani di hadapan Ayah saya.”
“Lakukan sesukamu,” jawab Arya santai, lalu kembali duduk.
Kaila menatapnya sejenak, lalu berbalik dan melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Kali ini, langkahnya lebih mantap daripada saat ia masuk.
.....
Rudi sedang duduk di bangku kayu depan rumah, menyalakan rokok murahan dengan tangan gemetar.
Saat mendengar langkah kaki mendekat, ia menoleh dan melihat Kaila datang dengan wajah tenang namun penuh tekanan.
"Kamu dari kantor laki-laki itu?" tanyanya tanpa basa-basi.
Kaila mengangguk dan duduk di sebelahnya. Ia menyerahkan map cokelat yang sejak pagi ia genggam erat.
"Aku belum menandatanganinya. Aku ingin Ayah melihatnya dulu."
Rudi mengambil map itu dengan ragu. Ia membuka lembar demi lembar, membaca dengan seksama meski kerutan di dahinya makin dalam.
"Hidup setahun sebagai istrinya, berpura-pura di depan publik, tidak ada hubungan fisik tanpa persetujuan... semua serba terikat."
"Aku tidak bodoh, Ayah. Aku tahu risikonya," kata Kaila pelan. "Tapi aku juga tidak mau selamanya hidup dalam ketakutan dan kemiskinan. Setidaknya dengan ini, kita bisa bernapas sedikit lebih lega."
Rudi menutup map itu, lalu menatap putrinya dengan mata yang mulai basah.
"Ayah tidak bangga dengan keputusan ini, Kaila. Tapi Ayah bangga kamu mengambil keputusan sendiri."
Kaila menunduk, suaranya bergetar. "Aku hanya ingin Ayah tahu, aku tidak melakukannya karena terpaksa. Aku ingin bertahan, meski caranya tidak sempurna."
Rudi mengangguk pelan, lalu mengusap kepala putrinya. "Kalau begitu, Ayah akan ada di sini, apapun yang terjadi."